Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 26 Maret 2011

Bung Karno Membuat Amerika Serikat Bertekuk Lutut

Bung Karno geram. Ike mencoba merayunya, “Tolong bebaskan pilotku”. Tapi Bung Karno tetap saja geram. Mungkin juga karena yang merayu Soekarno adalah Ike, seorang pria tua. Ike itu adalah nama panggilan D. Dwight Eisenhower, presiden AS di masa itu. Kali ini Amerika memang kena batunya.

Negara digdaya itu dibikin malu Indonesia ketika pilotnya, Allen Pope ditembak jatuh di pulau Morotai. Lebih malu lagi, karena dengan tertangkapnya pilot itu, kedok AS dan CIA akhirnya terbuka. Kedok yang membuktikan AS melalui CIA sudah main api dengan petualangannya di balik pemberontakan separatisme di Indonesia. Termasuk juga infiltrasi AS yang mempersenjatai para pemberontak itu. Ini yang bikin Bung Karno geram, dan mulai memainkan kartu trufnya.
Bung Karno yang tadinya dikerjai Amerika, sekarang balas mengerjai Amerika. Bung Karno sadar, tertangkapnya Allen Pope mendongkrak posisi tawar Indonesia di hadapan Amerika. Cerita selanjutnya adalah bagaimana Ike dan John F. Kennedy jadi repot dibuatnya.
Inilah moment bersejarah ketika Indonesia yang miskin untuk pertama kalinya punya posisi tawar tinggi di hadapan “juragan kaya”, Amerika.


Bung Karno tidak cuma menuntut Amerika mesti minta maaf. Tapi masih ada sederet permintaan lain yang bikin Amerika “maju kena mundur kena”. Eisenhower minta Indonesia melepaskan pilot Allen Pope. Tapi Bung Karno tidak mau melepas begitu saja dengan gratis. 
Buat Bung Karno, pilot itu dibebaskan atau tidak dibebaskan, hasilnya sama saja. Yaitu tidak membuat korban-korban bom si pilot bisa hidup kembali. Jadi kenapa tidak memanfaatkan saja ketakutan Amerika yang ciut kalau pilot itu buka mulut?
Bung Karno memainkan kartu trufnya atas dasar apa yang dibutuhkan bangsa Indonesia pada waktu itu. Indonesia betul-betul sengsara dan kelaparan, jadi butuh uang dan nasi. Indonesia sedang bertempur melawan Belanda untuk merebut Irian Barat. Jadi butuh senjata, sejumlah perangkat perang dan armada tempur.


Permintaan Bung Karno itu tentu saja tidak disampaikan dengan cara mengemis. Tapi dengan cara yang menyeret Amerika untuk membuat interpretasi diplomatik. Mau tidak mau, isyarat diplomatik Soekarno bikin Amerika harus bisa membaca yang tersirat di balik yang tersurat.
Dibanding Ike alias Eisenhower, John Kennedy lebih peka membaca isyarat itu. Itulah yang dimaksud Bung Karno bahwa John Kennedy mengerti dirinya. Kennedy tidak cuma sekedar mengundang Bung Karno ke Amerika untuk plesiran. Tapi juga ada tindak lanjut nyata di balik undangan diplomatik itu.


John paham Indonesia butuh perangkat perang untuk merebut Irian Barat. Di antaranya armada tempur. Karena itu diajaknya Bung Karno mengunjungi pabrik pesawat Lockheed di Burbank, California. Di sana Bung Karno dbantu dalam pembelian 10 pesawat hercules tipe B, terdiri dari 8 kargo dan 2 tanker.

Negosiasi pembebasan Allen Pope antara Ike dan Bung Karno tadinya alot. Tapi jadi licin jalannya dengan John. Dia tidak pelit membalas "kebaikan" Bung Karno yang memenuhi permintaan AS untuk membebaskan Allen Pope.

Hasilnya? Hercules dari Amerika, menjadi cikal bakal lahirnya armada Hercules bagi AURI (armada yang kelak ikut bertempur merebut Irian Barat). Bung Karno bisa membuat Amerika menghentikan embargo. Lalu menyuntik dana ke Indonesia. Juga beras 37.000 ton dan ratusan persenjataan perangkat perang. Kebutuhan itu semua memang sesuai dengan kondisi Indonesia saat itu.

Ternyata begini ini yang namanya negosiasi tingkat tinggi. Akhirnya Allen Pope dibebaskan secara diam-diam oleh suatu misi rahasia di suatu subuh, Februari 1962. Negosiasi itu seluruhnya tentu makan biaya yang tidak sedikit. Siapa yang mesti membayar semua itu? Konon rekening Permesta yang harus membayar ganti rugi akibat negosiasi itu. Sempat terdengar selentingan bahwa jalan by pass Cawang-Tanjung Priok dan Hotel Indonesia lama di Bundaran HI Thamrin, adalah wujud dari ganti rugi itu. Benarkah demikian? Wallahualam.
Sayang hubungan mesra Bung Karno dengan Amerika berakhir setelah Kennedy terbunuh tahun 1963. Terbunuhnya Kennedy membuat CIA kembali leluasa mewujudkan mimpi lama yang sempat terhenti. Yaitu terus mengguncang kursi Bung Karno, hingga Putra Sang Fajar itu akhirnya benar-benar terbenam. Kita semua tahu bagaimana akhir episode itu.

Allen Lawrence Pope adalah seorang tentara bayaran yang ditugasi CIA dalam berbagai misi. Beberapa misinya dilakukan di Asia Tenggara di antaranya saat pertempuran di Dien Bien Phu, Vietnam dan pada saat pemberontakan PRRI/Permesta di Indonesia. Dia tertangkap oleh tentara Indonesia ketika usahanya mengebom armada gabungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan pesawat pembom B-26 Invader AUREV gagal dan tertembak jatuh. Diduga dia tertembak jatuh oleh pesawat P-51 Mustang Angkatan Udara Republik Indonesia yang diterbangkan olehIgnatius Dewanto namun kesaksian lain mengatakan dia tertembak jatuh oleh tembakan gencar yang dilakukan armada laut Angkatan Laut Republik Indonesia. Buku-buku yang menuliskan sepak terjang CIA di berbagai kancah konflik tidak lupa menyebut-nyebut nama Allen Pope.

Lawrence Allen Pope sendiri adalah seorang pemuda putus kuliah di Universitas Florida, kelahiranMiami, Oktober 1928. Setelah berhenti kuliah, dia belajar terbang di Texas kemudian bekerja sebagai ko-pilot pesawat angkut. Pada tahun 1953, dia ikut nekad terjun menjadi sukarelawan dalam Perang Korea. Dalam peperangan itu, Pope mendapat pengalaman dalam melaksanakan misi terbang malam hari ke belakang garis pertahanan lawan. Lepas perang Korea, Pope kembali ke Amerika Serikat, bekerja pada perusahaan penerbangan kecil dan berumah tangga. Namun pekerjaan ini ternyata membuat dirinya merasa bosan.
Pada saat inilah agen CIA mendekati dirinya. Setelah menceraikan istrinya, Pope kemudian bergabung dengan Civil Air Transport (CAT) yang merupakan perusahaan kamuflase CIA dalam melaksanakan berbagai misinya di berbagai belahan dunia, seperti halnya perusahaanIntermountainSouthern Air Transport dan Air America.

Setelah bergabung ke CAT, Allen Pope kemudian berangkat ke Taiwan, pusat perusahaan itu namun kemudian diberangkatkan ke Vietnam. Di Vietnam, ia menjadi kapten untuk pesawat C-47 Dakota (DC-3 Dakota versi Militer). Setelah memilih bertempat tinggal di Saigon, dia menikah dengan wanita setempat. Kemudia dia melaksanakan misinya melakukan serangkaian penerbangan berbahaya di Vietnam danLaos. Misinya antara lain adalah mengangkut senjata dan kebutuhan logistik atau bahkan melakukan penerjunan secara rahasia. Waktu luang dan cutinya digunakannya untuk berburu.
Allen Pope sendiri tampaknya adalah orang yang suka menyendiri namun menurut penuturan teman-temannya dia dikenal sebagai seorang yang sangat pemberani untuk memasuki kawasan yang ditebari senjata penangkis serangan udara. Ia tidak ragu-ragu masuk kawasan Dien Bien Phu ketika benteng Perancis tersebut dikepung ketat pasukan Viet Minh di bawah pimpinan Ho Chi Minh dan Jenderal Vo Nguyen Giapdalam Perang Indochina I, di tengah hujan peluru untuk menerjunkan suplai makanan. Ini adalah ciri khas tentara bayaran. Penerbang-penerbang militer profesional, seperti misalnya penerbang Korps Marinir Amerika Serikat (USMC/United States Marine Corps) yang palinggila sekalipun masih berpikir sepuluh kali untuk melakukannya. Hal inilah yang kemudian dijadikannya alasan saat persidangan di Jakartakepada para hakim dengan mengatakan bahwa dirinya telah bertempur melawan komunis sejak berusia 22 tahun dari perang Korea hingga Dien Bien Phu. Ketika di Vietnam, Allen Pope kemudian dibujuk CIA untuk membantu PERMESTA.

Dalam misinya untuk membantu PERMESTA, Pope kemudian ditugasi sebagai pilot AUREV (Angkatan Udara Revolusioner) yang berpangkalan utama di Mapanget, Sulawesi Utara (sekarang Bandara Sam Ratulangi) di bawah pimpinan Mayor Petit Muharto. AUREV sendiri berkekuatan tidak kurang sekitar 10 pesawat pengebom-tempur di antaranya adalah pesawat pengebom sedang/ringan B-26 Invaderdan P-51Mustang.
CIA sendiri sebenarnya sudah menyediakan 15 pesawat pengebom B-26 untuk PRRI/PERMESTA dari sisa-sisa Perang Korea, setelah dipergunakan di berbagai konflik di KongoKuba dan Vietnam. Pesawat-pesawat itu disiagakan di sebuah lapangan terbang di Filipina, tempat yang juga digunakan untuk melatih para awak sebelum dikirim ke wilayah PERMESTA. Sejumlah modifikasi dilakukan agar tidak terlalu kelihatan bahwa mereka disiapkan oleh Amerika Serikat yang memiliki teknologi maju. Di antara modifikasi yang dilakukan adalah mengubah jumlah senapan mesin yang semula memiliki enam laras pada hidung pesawat, menjadi delapan laras.
Sejak saat itu, kekuatan udara AUREV menjadi momok yang menakutkan di wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur. Berbagai misi dilakukan AUREV, di antaranya serangan udara pada tanggal 13 April 1958 terhadap lapangan terbang Mandai (sekarang Bandara Hassanuddin), Makassar. Yang lainnya adalah pelabuhan DonggalaAmbonBalikpapanTernate dan tempat lainnya menjadi target serangan yang cukup mematikan. Kapal perang Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), RI Hang Toeah (satu dari empat kapal perangkorvet yang dihibahkan Belanda atas perjanjian Konferensi Meja Bundar) yang sedang membuang jangkar di pelabuhan Balikpapan dibom hingga tenggelam. Kondisi inilah yang membuat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia segera menuntaskan operasi PRRI dan langsung juga menuntaskan operasi PERMESTA dengan pemusatan perebutan keunggulan di udara yang saat itu masih dikuasai AUREV.
Di Mapanget sendiri banyak penerbang asing selain penerbang kulit putih. Ada pula penerbang lain yang berkebangsaan Filipina dan jugaTaiwan. Taiwan sendiri sudah banyak membantu dan sudah siap-siap akan mengikuti Amerika Serikat untuk mengakui negara baru yang akan disebut-sebut akan didirikan PERMESTA bila mereka berhasil.

Pada tanggal 18 Mei 1958, Gugus Tugas amfibi (Amphibius task force) ATF-21 Angkatan Laut Republik Indonesia yang berkekuatan dua kapal angkut dan lima kapal pelindung type penyapu ranjau cepat, dipimpin oleh Letnan Kolonel (KKO/sekarang Korps MarinirHunholzdengan Kepala Staf Mayor Soedomo berlayar dengan posisi dekat Pulau Tiga lepas Ambon guna melaksanakan Operasi Mena II dalam rangka menuntaskan konflik PERMESTA dengan sasaran Morotai guna merebut lapangan terbang, operasi itu didukung oleh P-51 Mustang dan B-26 Angkatan Udara Republik Indonesia serta Pasukan Gerak Tjepat (PGT, sekarang Kopaskhas TNI AU). Pasukan yang turun antara lain gabungan Marinir, Pasukan Angkatan Darat KODAM BRAWIJAYA dan Brigade Mobil (BRIMOB). Di atas kapal disiagakan senjata penangkis udara berbagai type.
Harry Rantung saat itu bersama Allen Pope, menyamar sebagai seorang berkebangsaan Filipina bernama Pedro. Setelah ia bersama Allen Pope menyerang Ambon dari Mapanget, ia melihat konvoi kapal perang Republik Indonesia. Setelah melapor ke Manado untuk mendapatkan instruksi lebih lanjut dan perintah untuk menyerang, Allen Pope mengarahkan pesawat B-26 Invader menukik dan menyerang konvoi kapal perang dengan menjatuhkan bom dengan sasaran KRI Sawega, namun meleset hanya beberapa meter dari buritan kapal.
Awak kapal yang siaga setelah melihat dan mendapatkan tanda bahaya udara itu, langsung menembak balas atas perintah Soedomo. Tidak hanya senjata penangkis udara dan anti serangan udara yang dimiliki kelima kapal itu, tetapi juga semua pasukan yang ada di atas kapal mengarahkan senjatanya ke udara mulai dari senapan serbu, senapan otomatis, senapan infantri hingga pistol mereka.
Peristiwa itu terjadi sekitar enam sampai tujuh mil lepas pantai Tanjung Alang, tak jauh dari kota Ambon, tempat yang sebelumnya diserang Pope dengan pesawat B-26-nya itu. Kabar serangan itu disampaikan kepada Kapten Penerbang AURI Ignatius Dewanto yang sudah siap di kokpit P-51 Mustangnya di apron Liang, karena pagi itu ditugaskan untuk menyerang Sulawesi Utara. Dewanto langsung memacu pesawatnya dan lepas landas. Dia tidak menemukan B-26 AUREV buruannya tetapi melihat Ambon dengan tanda-tanda terkena serangan udara. Sesuai petunjuk P-51 Mustang dia arahkan ke barat. Ferry Tank (Tangki bahan bakar cadangan) dilepas, di laut terlihat konvoi kawan yang diserang B-26 AUREV buruannya. Dengan cepat dikejar Dewanto dengan mengambil posisi di belakang lawan. Roket ditembakkan berkali-kali tetapi lolos, disusul dengan tembakan 6 meriam 12,7 yang tersedia pada pesawat dengan rentetan penuh, karena jaraknya lebih dekat kemungkinannya kenanya lebih besar. Dewanto yakin tembakannya mengenai sasaran.
Sementara itu, pasukan yang menembak balas dari seluruh armada laut juga melihat pesawat B-26 AUREV terbakar terkena tembakan. Masih tidak jelas tembakan siapa yang mengena namun berkat prestasi itu, Kapten Penerbang Dewanto mendapat gelar ace angkatan udara. Mereka juga melihat pesawat P-51 Mustang yang dianggap tidak jelas kawan atau lawan karena setelah pesawat B-26 AUREV terbakar dan jatuh, P-51 Mustang itu lepas dari perhatian dan terbang menjauh.
Dua awak B-26 AUREV kemudian berhasil menyelamatkan diri dengan parasut. Allen Pope tersangkut pohon dan jatuh luka-luka terhempas karang. Sementara seorang lagi, operator radio Harry Rantung yang menyamar sebagai seorang warga Filipina bernama Pedro kelahiranDavao namun identitas sebenarnya mudah diketahui karena diatas kapal KRI Sawega terdapat seorang sersan AURI yang mengenalinya karena pernah satu angkatan dalam pendidikan tentara. Sebenarnya Allen Pope berusaha membunuh dirinya dengan menyerahkan pistol kepada Rantung untuk menembaknya. Namun permintaan ini ditolak Rantung.
Tertangkapnya Allen Pope kemudian dilaporkan ke Jakarta. Namun hal ini tetap dirahasiakan karena Operasi Morotai sendiri harus dijaga kerahasiaannya sampai semuanya tuntas. Sejak tertangkapnya Allen Pope, bisa dikatakan AUREV lumpuh dan keunggulan di udara di wilayah Indonesia Timur berangsur-angsur dikuasai oleh AURI. Operasi-operasi pendaratan-pendaratan yang dilakukan ABRI berhasil dilakukan di berbagai tempat yang sebelumnya dikuasai PERMESTA.

Tiga minggu sebelum Allen Pope ditembak jatuh, sebagai upaya cuci tangan Amerika Serikat (AS), maka Menteri Luar Negeri AS , John Foster Dulles lantang menyatakan bahwa apa yang terjadi di Sumatera adalah urusan dalam negeri Indonesia. AS tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Mengenai senjata-senjata yang terbilang mutakhir di tangan PRRI dan di Pekanbaru, Presiden AS, Dwight David Eisenhower mengadakan jumpa pers dengan memberi keterangan bahwa AS akan tetap netral dan tidak akan berpihak selama tidak ada urusannya dengan AS. Dikatakannya bahwa senjata-senjata yang ditemukan oleh ABRI adalah senjata-senjata yang mudah ditemukan di pasar gelap dunia. Di samping itu, sudah biasa di mana ada konflik pasti akan ditemukan tentara bayaran. Apa yang dikatakan Eisenhower kemudian jadi arahan. Ketika kemudian terdengar ada penerbang AS tertangkap di Ambon dan bagaimana ia tertangkap, Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta cepat-cepat menimpali bahwa orang itu tentara bayaran.

AS yakin karena Allen Pope pasti tertangkap dalam keadaan bersih. Walaupun bukti-bukti pesawat sudah jelas, AS masih berdalih bahwa itu serdadu bayaran. Namun ketika ABRI mencari dan berusaha mendapatkan barang bukti yang lebih banyak, hasilnya bukan sekedar nama-nama sejumlah pedagang yang ikut mengail di air keruh dan peranan Korea Selatan, namun membuat pemerintah AS terperangah dan mengutuk Pope mengapa dia tidak sekalian ikut mati saja di dasar laut dengan pesawatnya. Washington kehilangan muka. Bukti-bukti mengarahkan tuduhan ke lembaga yang dipimpin saudara kandung Menteri Luar Negeri AS yang merupakan pimpinan CIA, Allen Dullesmeski CIA sendiri tidak disebut-sebut sementara Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF/United States Air Force) dinilai terlibat.
Prosedur CIA sendiri sebenarnya mengharuskan tiap awak pesawat yang akan melaksanakan misinya harus dipastikan bersih dan diperiksa dengan teliti dan disediakan pakaian khusus yang akan digunakan dalam penerbangan misinya itu yang bersifat rahasia sehingga mereka tidak memiliki identitas apapun. Namun Allen Pope cukup cerdik. Mungkin karena dianggap sudah berpengalaman sehingga dia tidak diperiksa, padahal pada saat sebelum diberangkatkan ke Mapanget, dia menyelipkan beberapa keterangan mengenai dirinya di pesawat. Ia tahu kalau sampai dia ditangkap dalam keadaan bersih, maka negaranya bisa saja mengatakan bahwa dia bukan warga negaranya atau serdadu bayaran atau apa saja dengan demikian dia bisa mati konyol. Barangkali Pope merasa semua itu hanya menguntungkan satu pihak sementara CIA merasa hal tersebut adalah bagian dari kontrak. Kenyataannya semua identitas Pope ditemukan di badannya. Di antaranya adalah surat keterangan yang mengizinkan Pope memasuki semua fasilitas militer di Clark Field (Pangkalan udara AS, Clark di Filipina). Juga ada kartu klub perwira di pangkalan itu. Pope berharap agar identitas itu mengangkat dirinya dari semacam petualang murahan menjadi pion politik yang punya harga. Kenyataannya, ini mengangkat namanya ke permukaan dunia khususnya yang berhubungan dengan spionase. Banyak buku yang menceritakan ulah CIA tidak lupa mengisahkan Lawrence Allen Pope, dan Amerika Serikat terpojok dibuatnya.
Peristiwa ini memaksa pemerintah Amerika Serikat merubah sikapnya terhadap Presiden Sukarno. Washington menjadi ramah dengan harapan Presiden Indonesia itu akan diam. Soekarno sendiri sudah menyebutkan adanya kemungkinan bantuan dari seukarelawan-sukarelawan penerbang China dan sudah menyebut-nyebutkan Perang Dunia III. Dalam waktu lima hari disetujui permintaan Indonesia agar dapat mengimpor beras dengan pembayaran rupiahBola politik benar-benar dimainkan oleh Presiden Soekarno. Penahanan Pope diulur untuk mendapatkan manfaat keramahtamahan diplomasi Amerika Serikat. Embargo senjata terhadap Republik Indonesia dicabut. Pemerintah Amerika Serikat segera menyetujui pembelian senjata juga berbagai suku cadang yang dibutuhkan ABRI termasuk suku cadang persawat terbang AURI. Dukungan terhadap pemberontak dihapuskan.

Allen Pope kemudian dihadapkan ke pengadilan militer dan disana sempat berdebat dengan para saksi yang dihadirkan oleh oditur militer. Allen Pope kemudian dijatuhi hukuman mati namun naik banding sedangkan Harry Rantung diganjar hukuman 15 tahun. Kabarnya ia ditahan di sebuah villa di Kaliurang dekat Yogyakarta dan penerbang ini sempat mengajari para penjaganya dengan teknik bela diri judo.

Setelah John F. Kennedy menjadi Presiden Amerika Serikat, hubungan Amerika Serikat dengan Presiden Soekarno mengalami perbaikan. Presiden Soekarno sendiri mengatakan bahwa hanya dialah presiden AS yang mengerti jalan pikirannya. Pemerintah Amerika Serikat berusaha juga untuk membebaskan Allen Pope. Jaksa Agung Amerika Serikat Robert Kennedy diutus ke Jakarta untuk menemui Presiden Soekarno dengan membawa surat Kepresidenan yang isinya agar Allen Pope dibebaskan. Di samping itu, istri Allen Pope yang cantik juga diterbangkan secara khusus dari Amerika Serikat untuk menghadap Soekarno. Konon, Presiden Soekarno menerima dengan penuh keramahan. Rupanya kekaguman Presiden Soekarno kepada wanita dimanfaatkan Amerika Serikat untuk membujuk Presiden.

Menurut Harry Rantung, suatu hari menjelang subuh pada Februari 1962, dia dan Pope yang berstatus sebagai terpidana didatangi beberapa anggota Corps Polisi Militer (CPM) bersenjata lengkap. Keduanya diminta ikut. Pope diminta mengemasi milik pribadinya, sedangkan Rantung diperintahkan ikut saja tanpa perlu membawa apa-apa. Diluar penjara ternyata sudah menunggu sebuah panser dan kemudian setelah mereka naik, mereka bergerak kencang menuju arah yang mereka tidak tahu. Anggota CPM tidak berbicara sepatah katapun. Rantung bicara kepada Pope tentang situasi yang akan mereka alami. Dengan tenang Allen Pope menjawab bahwa dirinya tidak tahu, namun dia mengira bahwa mereka tidak akan berani berbuat apa-apa kepada kita, karena mengetahui bahwa pemerintahnya sudah mengirimkan utusan khusus.
Setelah setengah jam perjalanan, kemudian panser berhenti dan mereka dipersilahkan turun. Ternyata mereka dibawa ke Bandara Kemayoran. Di pintu masuk ruang tunggu VIP, beberapa orang asing menunggu diantaranya terlihat Duta Besar Amerika Serikat dan stafnya di Jakarta. Sebuah pesawat Lockheed Constellation sudah siap. Dalam perpisahannya, Allen Pope memeluk Rantung dan dengan mata berkaca-kaca dia mengatakan pasti kita akan berjumpa lagi. Beberapa tahun kemudian, Rantung mengaku pernah menerima undangan dari Allen Pope yang saat itu bekerja di sebuah perusahaan penerbangan di California, semuanya gratis. Harry Rantung sendiri, setelah pembebasan bekerja di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan mendapat pensiun dari kedutaan. Konon, untuk itu pemerintah Indonesia mendapat kompensasi di antaranya proyek jalan raya by pass di Jakarta.
Selama beberapa bulan Allen Pope disembunyikan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan kemudian pulang ke Miami serta hidup dengan istri dan keluarganya namun tidak lama kemudian istrinya meminta cerai. Alasan istrinya adalah kekejaman yang keterlaluan, Pope dikatakan "ringan tangan". Pihak berwenang menekan istrinya agar tidak membawa-bawa CIA di depan hakim dalam sidang perceraian mereka. Perempuan yang mengisi hidup Lawrence Allen Pope di Saigon itu hanya bisa mengatakan bahwa suaminya berubah. Sejak pulang dari Indonesia, setiap malam Allen Pope selalu meletakkan pistol siap tembak dibawah bantalnya. Ia mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan anak-anaknya.
Kembali Pope bertualang, kembali Allen Pope dikabarkan jatuh ke tangan CIA dengan menandatangani kontrak di perusahaan penerbangan Southern Air Transport. Tidak jelas kabar Lawrence Allen Pope sekarang setelah semua perusahaan penerbangan CIA dikabarkan dilikuidasi dan dijual. Tetapi kehadiran Allen Pope di Indonesia telah memberikan pengalaman betapa masalah keamanan dalam negeri juga dapat menimbulkan "kerepotan" bagi Angkatan Udara.

Membongkar Misteri Mayat Tujuh Korban G30S

Sangat menarik acara di Metro TV, Mata Najwa, yang membahas mengenai Hasil Visum et Repertum dari ketujuh Pahlawan Revolusi, yang menyatakan sama sekali tidak menemukan tanda-tanda pencungkilan bola mata, atau apalagi, pemotongan alat kelamin yang selama ini digembar-gemborkan mulai dari buku sejarah sampai film G 30S/PKI.

Berikut tulisan dari Teguh Santosa yang saya ambil dari beberapa postingan di berbagai media.
4 Oktober 1965. Pukul 4.30 sore saat itu. Lima dokter yang diperintahkan Pangkostrad dan Pangkopkamtib Mayor Jenderal Soeharto memulai tugas mereka.
Jenazah tujuh korban penculikan dan pembunuhnan yang dilakukan kelompok Letkol Untung pada dinihari 1 Oktober mereka periksa satu persatu.
Ketujuh korban itu adalah Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani, Deputi II Menpangad Mayor Jenderal R. Soeprapto, Deputi III Menpangad Mayor Jenderal MT. Harjono, Deputi IV Menpangad Brigardir Jenderal DI. Panjaitan, Asisten I Menpangad Mayjen S. Parman, Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigardir Jenderal Soetojo Siswomihardjo dan Letnan Satu P. Tendean (Ajudan Menko Hankam/KASAB Jenderal AH Nasution).
Mayat enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya, Pondokgede, Jakarta Timur.

dr. Liem Joe Thay

Dari lima anggota tim dokter yang mengautopsi ketujuh mayat itu dua di antaranya adalah dokter Angkatan Darat, yakni dr. Brigardir Jenderal Roebiono Kertopati dan dr. Kolonel Frans Pattiasina. Sementara tiga lainnya adalah dokter Kehakiman, masing-masing Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro, dr. Liauw Yan Siang, dan dr. Liem Joe Thay.

Lewat tengah malam, pukul 12.30 atau dinihari 5 Oktober, dr. Roebiono dkk menyelesaikan tugas mereka. Beberapa jam kemudian, saat matahari sudah cukup tinggi, ketujuh jenazah korban penculikan dan pembunuhan yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi ini dimakamkan di TMP Kalibata. 


Hasil Visum et Repertum
Ketika diperiksa ketujuh mayat telah dalam keadaan membusuk dan diperkirakan tewas empat hari sebelumnya. Dapat dipastikan ketujuh perwira tinggi dan pertama Angkatan Darat ini tewas mengenaskan dengan tubuh dihujani peluru dan tusukan.

Jenazah Letjen Ahmad Yani diidentifikasi oleh Ajudan Menpangad Mayor CPM Soedarto dan dokter pribadinya, Kolonel CDM Abdullah Hassan, dengan penanda utama parut pada punggung tangan kiri dan pakaian yang dikenakannya serta kelebihan gigi berbentuk kerucut pada garis pertengahan rahang atas diantara gigi-gigi seri pertama.
Tim dokter menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Sementara di bagian perut terdapat dua buah luka tembak yang tembus dan sebuah luka tembak yang tembus di bagian punggung.



Jenazah Mayjen R. Soeprapto diidentifikasi oleh dokter gigi RSPAD Kho Oe Thian dari susunan gigi geligi sang jenderal.

Pada jenazah R. Soeprapto ditemukan (a) tiga luka tembak masuk di bagian depan, (b) delapan luka tembak masuk di bagian belakang, (c) tiga luka tembak keluar di bagian depan, (d) dua luka tembak keluar di bagian belakang, (e) tiga luka tusuk, (f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasaan tumpul di bagian kepala dan muka, (g) satu luka karena kekesaran tumpul di betis kanan, dan (h) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat sekali di daerah panggul dan bagian atas paha kanan.


Di bagian perut Mayjen MT. Harjono ditemukan sebuah luka tusuk benda tajam yang menembus sampai ke rongga perut. Luka tusuk benda tajam juga ditemukan di punggung, namun tidak menembus rongga dada. Dan di tangan kiri dan pergelangan tangan kanan terdapat luka karena kekerasan tumpul yang berat. Jenazah Mayjen MT. Harjono diidentifikasi oleh saudara kandungnya, MT. Moeljono, pegawai Perusahaan Negara Gaya Motor. Salah satu tanda pengenal jenazah ini adalah cincin kawin bertuliskan “Mariatna”, nama sang istri.
Cincin kawin, bertuliskan “SPM” juga menjadi salah satu penanda jenazah Mayjen S. Parman, selain kartu tanda anggota AD dan surat izin mengemudi serta foto di dalam dompetnya.


Jenazah S. Parman diidentifikasi oleh dr. Kolenel CDM Abdullah Hasan.
Pada mayat S. Parman ditemukan (a) tiga luka tembak masuk di kepala bagian depan, (b) satu luka tembak masuk di paha bagian depan, (c) satu luka tembak masuk di pantat sebelah kiri, (d) dua luka tembak keluar di kepala, (e) satu luka tembak keluar di paha kanan bagian belakang, dan (f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat di kepala, rahang dan tungkai bawah kiri.




Mayat Brigjen DI. Panjaitan diidentifikasi oleh adiknya, Copar Panjaitan dan Samuel Panjaitan, dan dikenali dari pakaian dinas yang dikenakannya serta cincin mas di tangan kiri yang bertuliskan “DI. Panjaitan”.
Tim dokter menemukan luka tembak masuk di bagian depan kepala, juga sebuah luka tembak masuk di bagian belakang kepala. Sementara itu di bagian kiri kepala terdapat dua luka tembak keluar. Terakhir, di punggung tangan kiri terdapat luka iris.




Mayat berikutnya adalah Brigjen Soetojo Siswomihardjo yang diidentifikasi oleh adiknya, dokter hewan Soetopo. Jenazah Brigjen Soetojo dikenali dari kaki kanannya yang tidak ber-ibujari, pakaian yang dikenakannya, arloji merek Omega dan dua cincin emas masing-masing bertuliskan “SR” dan “SS”.
Pada mayat Brigjen Soetojo ditemukan (a) dua luka tembak masuk di tungkai bawah kanan bagian depan, (b) sebuah luka tembak masuk di kepala sebelah kanan yang menuju ke depan, (c) sebuah luka tembak keluar di betis kanan sebagian tengah, (d) sebuah luka tembak keluar di kepala sebelah depan, dan (e) tangan kanan dan tengkorak retak karena kekerasan tumpul yang keras atau yang berat.



Selanjutnya adalah mayat Lettu P. Tendean yang dikenali perwira kesehatan Dirkes AD CDM Amoro Gondoutomo yang menjadi dokter pribadi Menko Hankam/KASAB. Mayat P. Tendean dikenali dari pakaian yang dikenakannya, gigi geligi dan sebuah cincin logam dengan batu cincin berwarna biru.
Pada mayat P. Tendean tim dokter menemukan (a) empat luka tembak masuk di bagian belakang, (b) dua luka tembak keluar bagian depan, (c) luka-luka lecet di dahi dan tangan kiri, dan (d) tiga luka ternganga karena kekerasan tumpul di bagian kepala.


Format Visum et Repertum
Dokumen visum et repertum ketujuh korban yang saya peroleh dituliskan dalam format yang sama. Di pojok kanan atas halaman depan terdapat tulisan “Departmen Angkatan Darat, Direktortat Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, Pro Justicia”.
Sementara di pojok kiri halaman depan tertulis “Salinan dari salinan.”
Bagian kepala laporan bertuliskan “Visum et Repertum” diikuti nomor laporan pada baris bawah yang dimulai dari H.103 (Letjen Ahmad Yani) hingga H.109 (Lettu P. Tendean).
Bagian awal laporan adalah mengenai dasar hukum tim dokter tersebut. Pada bagian ini tertulis rangkaian kalimat sebagai berikut:
“Atas perintah Panglima Kostrad selau Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, dengan surat perintah tanggal empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima, nomor PRIN-03/10/1965 yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal TNI Soeharto, yang oleh Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat diteruskan kepada kami yang bertandatangan di bawah ini.”
Diikuti nama dan jabatan kelima dokter anggota tim.
Setelah itu adalah bagian yang menjelaskan kapan dan dimana visum et repertum dilakukan. Pada bagian ini tertulis kalimat:
“maka kami, pada tanggal empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu limam mulai jam setengah lima sore sampai tanggal lima Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima jam setengah satu pagi, di Kamar Seksi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta, telah melakukan pemeriksaan luar atas jenazah yang menurut surat perintah tersebut di atas adalah jenazah dari pada.”
Bagian ini diikuti oleh bagian berikutnya yang menjelaskan jati diri jenazah dimulai dari nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, bangsa, agama, pangkat, dan terakhir jabatan.
Selanjutnya ada sebuah paragraph yang menjelaskan kondisi terakhir jenazah sebelum ditemukan dan diperiksa. Pada bagian ini tertulis:
“Korban tembakan dan/atau penganiayaan pada tanggal satu Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu lima pada peristiwa apa yang dinamakan Gerakan 30 September.”

Bagian ini dikuti oleh penjelasan identifikasi; siapa yang mengidentifikasi dan apa-apa saja tanda utama yang dijadikan patokan dalam identifikasi itu.
Setelah bagian indentifikasi, barulah tim dokter memaparkan temuan mereka dari “hasil pemeriksaan luar” yang dilakukan terhadap jenazah sebelum mengkahirinya dengan “kesimpulan”.
Bagian penutup diawali dengan tulisan “Dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah jabatan” pada bagian kanan. Diikuti nama dan tanda tangan serta cap kelima dokter anggota tim.
Bagian paling akhir dari dokumen-dokumen yang saya peroleh ini mengenai autentifikasi dokumen.
Karena dokumen ini merupakan “salinan dari salinan” maka ada dua penanda autentifikasi dokumen ini.
Bagian pertama bertuliskan “Disalin sesuai aslinya” dan ditandatangani oleh “Yang menyalin” yakni Kapten CKU Hamzil Rusli Bc. Hk. (Nrp. 303840) selaku panitera. Bagian kedua autentifikasi bertuliskan “Disalin sesuai dengan salinan” dan ditandatangani oleh “Panitera dalam Perkara Ex LKU” Letnan Udara Satu Soedarjo Bc. Hk. (Nrp. 473726).
Tidak ditemukan petunjuk waktu kapan dokumen ini disalin dan disalin ulang.

Begitulah. Sejarah, kata sementara orang, adalah catatan para pemenang. Dus arti sebaliknya adalah: orang yang kalah tak punya hak untuk ikut menuliskan sejarah. Di bawah rezim otoriter, pemerintah pusat adalah satu-satunya pihak yang punya hak untuk menentukan mana yang dapat disebut sebagai fakta sejarah dan mana yang tidak. Dengan menggunakan stabilitas politik sebagai dalih pembangunan nasional, pemerintahan Orde Baru mempabrikasi versi mereka tentang konstruksi sejarah nasional, termasuk dalam hal ini, sejarah mengenai peristiwa G30S yang menjadi pondasi rezim berusia tiga dasawarsa itu. Pokoknya, sejarah versi penguasa adalah satu-satunya dogma yang harus diingat dan dipercaya.

Bagi pemerintahan otoriter, cerita dan interpretasi yang berbeda dari versi penguasa mengenai apa yang terjadi di masa lalu adalah upaya untuk mensabotase kedaulatan negara dan proses pembangunan nasional. Karena itu, cerita-cerita yang tak dikehendaki penguasa ini diharamkan, dan pihak-pihak yang membawa dan menyebarkannya dinyatakan sebagai musuh negara. Sensor pun adalah aksi yang biasa dilakukan pemerintahan Orde Baru untuk mengontrol informasi publik dan dunia akademi yang berpotensi menggugat kebenaran versi penguasa.

Tidak boleh ada fakta yang bertentangan dengan “fakta” yang diproduksi penguasa mengenai peristiwa G30S dan tidak boleh ada penjelasan lain yang berbeda dari penjelasan versi pemerintah yang boleh hidup di ruang publik. Kalau pun ada, selama Soeharto berkuasa, ia hanya hidup dalam ruang bisik-bisik. Bagi pemerintahan Soeharto, cerita dan sejarah mengenai peristiwa itu datar dan sederhana: ia diotaki oleh PKI dan klik kiri yang berada di dalam tubuh Angkatan Darat, serta G30S dinyatakan sebagai gerakan yang berusaha untuk menggantikan Pancasila yang pro-Tuhan dengan komunisme yang anti-Tuhan. 



Kecerdasan Bung Karno dalam berstrategi

Ketika itu sedang berlangsung Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Presiden Soekarno termasuk kepala negara yang hadir dalam sidang dengan agenda mendengarkan pandangan umum tiap negara anggota PBB itu. Silang pendapat terus terjadi di antara wakil negara yang hadir dan tak kunjung menunjukkan titik temu. Sebelum tiba giliran wakil Indonesia untuk menyampaikan pandangannya, Bung Karno dengan enteng berjalan ke kursi utusan negara India.
Ini jelas bukan pemandangan yang biasa terjadi dalam ruang sidang di markas PBB sehingga langsung menjadi pusat perhatian. Ditatap oleh puluhan wakil dari negara lain, Bung Karno berbisik pada Jawaharlal Nehru. Entah apa yang dibisikkan, hanya mereka berdua yang tahu. Yang jelas, Nehru kemudian mengangguk-angguk sembari tersenyum kepada koleganya itu.
Dalam jeda tidak terlalu lama, dari kursinya Bung Karno kemudian berjalan ke arah Gamal Abdul Nasser, wakil dari Mesir. Lagi-lagi “ulah” Proklamator RI ini menjadi pusat perhatian. Sama seperti sebelumnya, kembali Bung Karno berbisik yang disambut anggukan senang Nasser.
Tak pelak aksi lalu-lalang Bung Karno ini menimbulkan bisik-bisik di kalangan wakil-wakil negara Asia dan Afrika yang hadir. Seperti kita ketahui, ketika itu tiga orang ini, Nehru, Nasser, dan Soekarno adalah pemimpin bangsa Asia dan Afrika yang sangat berpengaruh. Ucapan, pandangan, dan gagasan mereka biasanya juga menjadi ide bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
Dan ketika Bung Karno menyampaikan pandangannya dengan mengusulkan diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika, hampir seluruh perwakilan dari Asia dan Afrika melakukan standing ovation memberikan aplaus tanda setuju atas gagasan Bung Karno. Pasalnya, mereka menganggap usulan tersebut telah diamini oleh Nehru dan Nasser. Buktinya, ketika Bung Karno berbisik, kedua tokoh besar itu mengangguk tanda setuju.
Di kamar hotel tempat delegasi Indonesia menginap, Muhammad Guntur Soekarno Putra, putra sulung Presiden RI pertama ini dengan rasa penasaran bertanya tentang apa gerangan yang dibisikkan ayahnya kepada kedua tokoh besar itu. Guntur memang paling sering diajak Bung Karno jika melawat ke luar negeri, termasuk saat berpidato di Markas Besar PBB. Rupanya Bung Karno mengatakan hal yang sama kepada Nehru dan Nasser.
Seperti dituliskan oleh Guntur dalam bukunya yang kini terbilang langka, Bung Karno Bapakku-Kawanku-Guruku, dia berbisik seperti ini: Yang Mulia, sepertinya sidang hari ini sangat melelahkan, bagaimana kalau nanti kita bertemu untuk makan malam bersama? Tentu saja kedua tokoh yang dibisiki tidak berani menolak dan akhirnya mengangguk, yang oleh wakil dari negara lain ditafsirkan sebagai sikap setuju atas gagasan Bung Karno.
Jujur, saya betul-betul terkesima dengan kecerdasan Bung Karno dalam berpolitik. Selain memang dikenal pintar berpidato, beliau ternyata juga lihai dalam berdiplomasi. Tak heran kalau di masanya Bung Karno begitu disegani oleh pemimpin-pemimpin negara besar di dunia. Dia tahu kapan harus “keras” dan kapan harus “lembut”. Mungkin situasinya jauh berbeda dengan sekarang, ketika negara tetangga tak malu-malu lagi menantang harga diri kita.
Saya sangat bisa mengerti dengan kemarahan yang muncul di tengah masyarakat dengan kasus terakhir, ditangkapnya tiga orang pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan oleh pemerintah Malaysia. Saya juga bisa memaklumi munculnya keinginan untuk berperang dengan negara tetangga itu ketika pejabat negara tersebut mengeluarkan pernyataan yang kurang santun. Sudah tak terhitung masalah muncul di antara kedua negara, yang sebagian besar menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai inferior. Ini jelas sangat mengganggu sentimen kebanggaan berbangsa dan bernegara.
Kendati demikian, saya tidak pernah percaya akan terjadinya perang antara Indonesia dan Malaysia. Terlalu banyak ikatan yang saling membutuhkan, baik dari segi ekonomi, sejarah, dan budaya. Selain itu, perang tak pernah menjadi solusi yang populer karena kerugian yang ditimbulkan, tidak peduli bagi mereka yang menang, apalagi bagi pihak yang kalah. Lantas, kenapa gairah untuk berperang itu begitu meledak-ledak, sementara di negeri seberang konflik yang ada ditanggapi dingin?
Saya merasa ini lebih kepada suasana batin masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah negara yang disebut-sebut kaya akan hasil bumi, wilayahnya luas tak terkira, dan penduduknya yang besar tak terhitung, ternyata kita belum apa-apa. Dengan semua kekayaan itu, sebagian masyarakat kita sulit untuk beranjak dari kemiskinan ketika sebagian lainnya sibuk menumpuk kekayaan. Begitu juga ketika pencuri mangga dihukum lebih lama ketimbang koruptor. Semuanya menimbulkan frustrasi.
Ketika suasana batin masyarakat sedang tak bagus, tiba-tiba Malaysia melakukan manuver politik yang tak perlu. Mereka yang tadinya jengkel dengan kondisi ekonomi, hukum, dan politik, menemukan musuh bersama untuk penyaluran akan kejengkelan itu. Marah-marah atau berunjuk rasa menuding pemerintah sendiri bisa jadi Anda akan berhadapan dengan pentungan polisi, tapi kalau memaki-maki pemerintah negara lain, siapa yang peduli? Maka jadilah sumpah serapah, membakar bendera, bahkan genderang perang ditabuh terhadap negara serumpun kita itu.
Dari literatur-literatur yang saya baca, tak sekalipun Indonesia dikenal sebagai negara yang haus perang. Alih-alih menjadi “jagoan”, Indonesia adalah negara bekas jajahan yang berhasil bangkit dari kekejaman bangsa lain. Jadi, sejatinya bangsa kita paham betul betapa perang tak akan pernah membawa kemaslahatan, sebagaimana negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia II juga tak pernah lagi memunculkan opsi perang dalam penyelesaian konflik politik luar negerinya.
Saya tidak mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang lemah, karena sejarah telah membuktikan kita tak pernah surut di gelanggang pertempuran saat mengusir pendudukan bangsa lain. Tapi, mestinya kita tak boleh gelap mata, emosional, dan gegabah dalam mengambil sikap untuk berperang atau tidak. Bagaimanapun, dunia sudah berubah, perang sudah tak lagi menjadi bukti kehandalan suatu bangsa. Tolok ukur kehebatan dan kebesaran sebuah bangsa kini tak lagi dinilai oleh semangat perang, kekuatan fisik, atau mutakhirnya mesin tempur.
Lihat saja negara-negara maju di Eropa dan di Asia, tak lagi memiliki sinyal untuk berperang. Sebaliknya, peperangan justru menjadi trend di negara-negara miskin di Afrika, Asia dan Amerika. Jadi, kalau perang saat ini menjadi prioritas kita, itu sama saja dengan langkah mundur. Sama dengan langkah mundur yang dilakukan Amerika Serikat saat menyerang Irak dengan segala keunggulannya. Kini, ketika Barack Obama memutuskan untuk keluar secara permanen dari Negeri 1001 Malam itu, tak ada yang berani mengatakan bahwa mereka telah memenangkan perang. Ribuan tentara yang tewas dan kemerosotan ekonomi menjadi ganjaran atas semangat perang Sang Adidaya.
Di lain sisi, membiarkan negara tetangga merendahkan kehormatan kita jelas tak bisa diterima. Pemerintah harus punya sikap dan bahasa yang jelas menyikapi masalah ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di Mabes TNI di Cilangkap mengatakan bahwa pemerintah menginginkan penyelesaian yang cepat, tegas dan tepat. Tapi, kita tidak berharap itu hanya ada tertulis di teks pidato, melainkan berada pada tataran tindakan. Bukti inilah yang belum dilihat oleh masyarakat.
Cukup sudah pemerintah terlihat lemah selama ini. Tak berdaya pada koruptor, takluk dengan pengemplang pajak, dan menutup mata terhadap pembalak hutan. Saatnya pemerintah memperlihatkan bahwa mereka berdaulat dan memegang amanat Konstitusi untuk menjaga kedaulatan serta kehormatan bangsa ini. Kita tentu tak mau harga diri bangsa menjadi tergadai hanya karena rakyat kita banyak mencari makan di negara lain lantaran ketidakberdayaan pemerintah menyediakan lapangan kerja di negeri sendiri.
Pada konteks inilah ketegasan itu diperlukan. Kita tak harus mengajak negara lain untuk berperang sebagai bentuk ketegasan itu. Kita hanya perlu menjelaskan tanpa harus berputar-putar tentang apa yang kita mau secara terukur dan masuk akal. Setelah itu biarlah diplomasi berjalan sembari melihat sejauh mana kedekatan dua bangsa serumpun yang diagung-agungkan itu bisa menyelesaikan masalahnya tanpa harus menarik picu bedil.
Kembali kepada Bung Karno, sebagai seorang pemimpin besar bukannya dia tak pernah gagal. Ketika menentang penggabungan Kalimantan Utara (Sabah, Serawak dan Brunei) dengan Kerajaan Malaysia, Soekarno langsung mengobarkan semangat “Ganyang Malaysia” dan menyatakan perang. Namun, perang itu sendiri tak begitu serius dan pertempuran skala kecil itu akhirnya terhenti setelah banyak pasukan Indonesia yang tertangkap atau tewas dalam penyusupan ke Kalimantan utara. Yang jelas, ini membuktikan bahwa perang tetap dimungkinan, meski itu adalah pilihan yang berat.
Seorang teman mengatakan kepada saya, bagaimana mungkin kita mampu berperang dengan bangsa lain kalau menghadapi kelompok kecil seperti Gerakan Aceh Merdeka atau pemberontak Timor Timur saja kita sudah kewalahan. Saya yakin, teman ini tak bermaksud untuk mengecilkan kemampuan kita, tapi lebih kepada harapan untuk mengedepankan otak sebelum otot, mendahulukan logika ketimbang perasaan.
Contohnya, saat baru tiba di AS dalam sebuah lawatan kenegaraan, Presiden Kennedy memperkenalkan tim pengawal khusus yang akan mendampingi Presiden Soekarno selama berada di negara itu. Ketika berada di kamar hotel, Bung Karno memanggil komandan pengawalnya. Sang pengawal ditanya tentang senjata yang mereka gunakan. Tak pelak Bung Karno pun terkagum-kagum melihat senjata sang pengawal. “Kalah jauh pengawal presiden di Indonesia soal kecanggihan senjatanya,” ujar Bung Karno. Perbincangan terus berlanjut.
Saat Bung Karno menanyakan apakah sang komandan pengawal itu pernah membunuh orang selama berdinas, yang bersangkutan mengatakan belum pernah. Jawaban itu kontan membuat Proklamator RI ini terkekeh. “Kalau untuk yang ini pengawal Presiden Indonesia lebih hebat, rata-rata mereka sudah pernah membunuh belasan tentara Belanda,” ucap Bung Karno. Kita memang harus tahu kapan saatnya merendah dan kapan membusungkan dada.

Tulisan oleh Rinaldo
Sumber: Liputan6 Blog