Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kamis, 12 Juni 2014

Manuver Hendropriyono Ancam Kedaulatan Indonesia

Manuver Hendropriyono Ancam Kedaulatan Indonesia  

Hendropriyono (Foto: Okezone) JAKARTA - Sekretaris Jenderal Centre for Democracy and Sosial Justive Studies (CeDSoS) Umar Abduh, menilai manuver Hendropriyono dan menantunya Brigjend Andika Perkasa, dapat mengancam kedaulatan Indonesia.

Umar menjelaskan, sejak menjabat Ketua Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono sudah menggunakan menantunya yang masih berstatus sebagai perwira pasukan elite Sandhi Yudha Kopassus untuk memenuhi tujuan dan kepentingan operasi politik asing.

Hal tersebut diungkapkannya dalam sebuah buku berjudul Konspirasi Intelijen & Gerakan Islam Radikal (KIGIR). Buku tersebut juga menyuguhkan tentang dugaan adanya sandiwara dan berbagai manipulasi alur cerita, manipulasi aktor, viguran dalam drama kekerasan dan terorisme di Indonesia dengan target pemberangusan Jamaah Islamiyah.

"Saat itu Resolusi DK PBB (Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa) Nomor 1373 tentang pemberantasan terorisme global yang ditandatangani Presiden Megawati pada 24 Oktober 2001," jelas Umar dalam sebuah diskusi di Dapur Selera, Jakarta, Selasa (10/6/2014).

Dalam operasi tersebut, Jamaah Islamiyah yang dikomandoi Omar Farouq, Yassin Syawwal, Seyam Reda, dan Tengku Fauzi Hasbi Geudong diberi lebel pentolan teroris yang harus diburu, ditangkap dan dieksekusi.

Penyalahgunaan kekuasaan Hendro lainnya adalah operasi eliminasi Tengku Fauzi dan seluruh dokumen yang dimilikinya di Ambon pada 22 Februari 2003. "Dua bulan kemudian Hendro dengan deomstratif memamerkan dukungannya terhadap Pesantren Ma'had Al Zaytun, yang merupakan pesatren sesat," terang Umar.

Di akhir Jabatannya sebagai Kepala BIN, Hendro meninggalkan jabatan tanpa pamit sebulan menjelang pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada Oktober 2004.

"Pada momen itu dia juga mengevakuasi Kolonel AU Abdul Haris Doinny Brasco from Ciputat dengan menugaskannya sebagai sekretaris Kedubes RI di Yordania, sebelumnya dia mengevakuasi Andika Perkasa ke Amerika Serikat dengan cover cuti dinas untuk kuliah di Harvard Amerika hingga merai gelar MA MSc Phd," paparnya.

"Lima tahun cuti dinas dari Kopassus dan tanpa kabar tiba-tiba Andika Prakasa nongkrong di Suad Mabes AD dan empat tahun kemudian menjadi Danrem Kawal Sibolga Sumatera Utara dengan pangkat Kolonel. Dan dua bulan setelah itu diangkat menjadi Kadispenad dengan pangkat Brigjend," lanjutnya.

Menurut Umar, jika Hendro masih bermanuver politik artinya hal itu mengindikasi bahwa bisa saja posisi, peran dan manuver Andika Perkasa masih dalam jangkauanya selaku mertua.

Sehingga, wajar jika seorang Kadispenad berpangkat Brigjend berani menelikung keterangan seniornya yang Mayor Jenderal atas perintah Panglima TNI Jenderal Moeldoko.

"Saya memperingatkan tentang adanya potensi bahaya pada dua orang berbahaya ini, Hendro dan Andika, serta jaringan masyarakat, partai politik dan institusi yang mendukung serta memanfaatkannya," tegas Umar.

Pria yang berprofesi sebagai peneliti intelijen ini beranggapan, Hendro dan Andika memiliki nafsu jahat dengan cara mengadu domba dan merugikan agama dan bangsa. "Saya meyakini adanya bahaya besar atas keutuhan bangsa Indonesia, dengan membonceng momen Pilpres," katanya.

"Jika Umat Islam bersatu dengan TNI, maka bangsa Indonesia akan kuat menghadapi setiap ancaman para ekstrimis anti Islam, serta berdaulatnya Indonesia sebagai bangsa dan sebagai negara dari mereka yang mengatasnamakan pejuang Demokrasi, HAM dan pejuang Liberalisme yang terbukti maling dan korup," tuntasnya.

(sus)

Minggu, 08 Juni 2014

Melacak Tim Mawar

Ke manakah para perwira yang dulu terlibat dalam penculikan aktivis?
Apakah mereka masih memiliki karier militer setelah menjadi terpidana?
Apakah mereka masih terkait dengan gerakan politik mantan komandan mereka, Prabowo Subianto?
 
KONTROVERSI tentang Tim Mawar seakan tidak pernah lekang. Nama tim dari Kopassus yang melakukan penculikan para aktivis tahun 1997-1998 ini kembali mencuat terutama karena dikaitkan dengan sosok Prabowo Subianto, mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus yang kini menjadi calon kuat dalam pemilihan presiden RI. Prabowo adalah garis depan dan pusat dari kontroversi ini. Lawan-lawan politiknya menuduh bahwa dialah yang memerintahkan penculikan itu. Namun, Prabowo dan apparatchicks-nya di Partai Gerindra, dengan keras membantah hal tersebut. Mereka berusaha membangun ‘narasi’ bahwa mantan menantu Suharto itu tidak bersalah karena dia hanya menjalankan perintah atasannya.

Menariknya, di sisi lain, komandan tim penculik yang menjadi tersangka, mengaku di depan sidang pengadilan bahwa penculikan itu adalah inisiatif pribadinya. Komandan itu, Mayor Inf. Bambang Kristiono, dihukum 22 bulan penjara dan dipecat dari dinas militer. Bambang Kristiono juga mengaku bahwa timnya hanya menculik sembilan aktivis dan semua aktivis itu sudah dibebaskan. Ada tiga belas orang aktivis lain yang hilang sampai saat ini. Baik Prabowo Subianto maupun Tim Mawar, menolak bertanggung jawab atas nasib ketiga belas orang yang hilang ini. Cerita yang berkembang, ada ‘tim’ lain yang ikut menculik. Hingga saat ini, tidak ada kejelasan soal tiga belas yang hilang tersebut.

Para pelaku penculikan sudah diadili di pengadilan militer dan dihukum. Selama proses peradilan, terlihat banyak sekali kejanggalan selain juga tidak transparan. Awalnya, masyarakat diberitahu bahwa lima perwira dihukum dan dipecat dari dinas militer, sementara sisanya hanya dihukum dan tidak dipecat dari dinas militer. Namun, sekitar tahun 2006, masyarakat dikejutkan karena beberapa perwira yang diberitakan telah dipecat ini justru menjadi komandan Kodim (komando distrik militer) di beberapa daerah di Jawa dan di Ambon, Maluku. Kemudian, diketahui bahwa para perwira ini telah mengajukan banding atas keputusan pengadilan tingkat pertama. Di tingkat Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti), hakim memutuskan menambah hukuman tetapi tidak memecat mereka dari dinas militer, kecuali untuk Mayor Inf. Bambang Kristiono yang tetap dihukum 22 bulan penjara.1

Hampir tujuh belas tahun kemudian, ke manakah perwira-perwira Kopassus itu? Apakah karier militer mereka berhenti karena telah tercela melakukan suatu tindak pidana? Apakah mereka masih menjalin hubungan dengan bekas-bekas komandan mereka, terutama dengan Prabowo Subianto?

Penyelidikan mendalam atas beberapa perwira yang terlibat langsung dalam kasus penculikan itu menemukan fakta bahwa sebagian besar dari perwira-perwira ini menjalani karier militer dengan normal. Bahkan, beberapa di antara mereka memiliki karier yang menanjak di atas rata-rata dibandingkan rekan-rekan satu angkatannya di Akmil (akademi militer). Sementara, untuk perwira yang lebih senior, seperti Mayjen TNI (Pur) Muchdi Purwoprandjono-yang saat penculikan terbongkar menjabat sebagai Danjen Kopassus dan dicopot dari jabatannya-juga tidak mengalami hambatan berarti, baik dalam karier militernya maupun dalam kehidupan sipilnya setelah pensiun dari dinas militer. Demikian juga dengan Kol. Inf. Chairawan Kadarsyah Nusyirwan yang saat itu menjabat sebagai Komandan Grup-4 Kopassus. Dia memang diberhentikan dari kedudukan sebagai komandan Grup -4. tetapi dia kemudian berhasil menyelesaikan karier militernya dengan pangkat Mayor Jenderal.

Tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan tentang satuan tugas intelijen, yang oleh masyarakat dikenal dengan nama ‘Tim Mawar’ itu. Apakah sebenarnya Tim Mawar itu? Pertanyaan yang lebih penting: apakah ia benar-benar ada? Ada beberapa pihak yang meragukan bahwa tim ini sungguh pernah ada. Kemungkinannya adalah tim ini dinamakan ex post facto (setelah kejadian) dan ada lebih banyak perwira dan prajurit yang terlibat, tetapi tidak tersentuh oleh hukum.

Kemudian, kita akan membahas masing-masing perwira yang terlibat dalam kasus penculikan ini. Perjalanan karier mereka akan diteliti secara saksama. Ke mana mereka sesudah menjalani ‘hukuman’2 hingga saat ini? Tidak semua perwira-perwira ini bisa dilacak. Perwira-perwira yang bertugas di dunia intelijen terbukti lebih sulit untuk dilacak.

Penyelidikan untuk tulisan ini sebagian besar dilakukan lewat pencarian berita di media massa. Ada juga beberapa informan yang dihubungi baik lewat telepon maupun e-mail. Seluruh informan menolak diidentifikasikan karena mengkhawatirkan keselamatan mereka. Kekhawatiran itu menjadi bukti bahwa Indonesia masih merupakan wilayah berbahaya untuk melakukan kerja jurnalistik investigatif.
 
Tim Mawar: Apakah Sungguh Ada?
Hingga saat ini tidak ada yang tahu pasti apa itu Tim Mawar. Sebenarnya, keberadaan tim ini di luar kebiasaan operasi Kopassus. Berbagai studi militer Indonesia menunjukkan bahwa satuan Kopassus, yakni Grup-3 Sandi Yudha, mengemban fungsi sebagai intelijen tempur. Biasanya, dalam operasi, satuan intelijen Kopasssus diorganisasikan di dalam Satuan Tugas (Satgas). Satgas yang umum dikenal adalah Satgas Tribuana, yang pernah beroperasi di Timor Timur, Aceh dan Papua.3 Dari Satgas ini kemudian dibentuk satuan-satuan taktis (sattis) yang menangani satu tugas khusus seperti mengawasi satu kelompok, satu wilayah, melakukan penggalangan, atau inflitrasi.

Tidak terlalu jelas apakah ketika itu Tim Mawar adalah salah satu sattis di bawah komando Grup-4/Sandi Yudha. Di pengadilan militer, komandan Tim Mawar, Mayor Inf. Bambang Kristiono mengaku membentuk tim untuk melakukan penculikan atas inisiatif pribadi. Sulit untuk dimengerti bahwa satuan taktis dengan pola operasi dalam skala ini dan dilakukan di Markas Kopassus, Cijantung, dilakukan atas inisiatif seorang perwira menengah tanpa sepengetahuan atasannya.

Namun, ada hal-hal yang menarik dari Tim Mawar. Beberapa sumber yang dihubungi untuk tulisan ini mengatakan bahwa mereka sempat melihat beberapa perwira yang terlibat dalam penculikan 1998 perna bertugas di Dili, Timor-Timur, sebelum Pemilu 1997 dan pemilihan presiden 1998. Mereka tahu bahwa perwira-perwira tersebut adalah perwira-perwira Kopassus. Yang juga diketahui adalah beberapa perwira ini berkantor di kantor SGI.4

Sudah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat Timor-Timur bahwa penculikan dan penghilangan paksa merupakan metode kerja intelijen Indonesia di sana. Mungkinkah para perwira yang terlibat dalam penculikan ini sengaja ditarik dari tempat tugasnya di Timor-Timur, lalu ditugaskan di Jakarta? Jika benar ini adalah sebuah sattis di bawah Kopassus, pertanyaannya adalah: siapa yang membentuk? Kepada siapa tim ini bertanggungjawab? Bagaimana aliran komandonya?

Pertanyaan kedua yang sama pentingnya adalah seberapa besarkah tim ini? Yang kita ketahui dari proses peradilan adalah bahwa hanya ada delapan perwira pertama dan tiga bintara yang terlibat dalam penculikan. Komposisi terlihat sangat janggal mengingat banyaknya perwira dan sedikitnya prajurit yang terlibat. Ada juga spekulasi yang mengatakan bahwa sebenarnya jumlah anggota tim ini sebenarnya lebih besar daripada yang diungkap di pengadilan.

Terlalu banyak misteri yang meliputi tim ini. Namun, satu hal yang jelas, pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan dan perbuatan yang dilakukan tim ini tidak pernah dijawab dengan jelas.
 
Perwira-Perwira Terkait
Seperti yang kita ketahui, beberapa perwira yang terkait dengan Tim Mawar sudah menjalani hukuman. Mereka yang menanggung hukuman paling berat adalah para perwira pertama. Sementara, di level perwira tinggi dan menengah, hukuman maksimal yang dijatuhkan adalah pemberhentian dari dinas militer, ini dilakukan terhadap Prabowo Subianto. Atasan langsung dari tim penculik-Muchdi Pr. Dan Chairawan-hanya dibebaskan dari jabatannya. Muchdi Pr. dibebaskan dari jabatannya sebagai Komandan Jendral (Danjen) Kopassus dan Chairawan dibebastugaskan dari jabatannya sebagai komandan Grup-4/Sandi Yudha. Sementara itu, pelaku langsung di lapangan, Mayor Inf. Bambang Kristiono, dihukum dua puluh dua bulan penjara dan dipecat dari dinas militer.

Selain Prabowo Subianto, yang saat ini menjadi calon presiden RI 2014-2019, ke manakah perwira-perwira itu sekarang?
 1. Muchdi Purwopranjono(Akmil 1970)
Muchdi menamatkan kariernya dengan pangkat mayor Jenderal. Lulusan Akmil 1970 ini kembali ke dunia intelijen setelah diberhentikan sebagai komandan Kopassus. Muchdi dikenal sebagai Direktur V Badan Intelijen Nasional (BIN) yang membawahi keamanan dalam negeri. Pada masa jabatan itulah, Muchdi kembali terkenal karena diduga mendalangi pembunuhan aktivis HAM Munir bin Thalib. Muchdi sempat ditahan, tetapi lewat proses pengadilan yang sangat kontroversial, dia dibebaskan dari semua tuduhan.5

Bersama Prabowo Subianto, Muchdi terlibat dalam mendirikan partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), pada tahun 2006. Namun, dia meninggalkan Gerindra pada awal 2012, lalu memilih bergabung dengan PPP. Langkahnya meninggalkan Gerindra ini mengejutkan banyak pihak, karena tidak terlihat adanya konflik atau perselisihan antara Muchdi dengan Prabowo. Spekulasi yang menguar di banyak orang adalah Muchdi meninggalkan Gerindra agar dapat ‘menggarap PPP’ guna kepentingan Prabowo di dalam pemilihan presiden 2014.6 Muchdi juga bermanuver agar bisa duduk sebagai ketua umum PPP, tetapi gagal. Di dalam PPP sendiri, sebenarnya juga sudah ada Kivlan Zen, yang menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad semasa Prabowo menjadi Pangkostrad. Kivlan juga dikenal sebagai loyalis Prabowo.

Selain di PPP, Muchdi juga aktif di Muhammadiyah. Pada saat Muktamar Muhammadiyah 2010, ia berusaha untuk duduk dalam susunan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Namun dia gagal lagi. Di dalam Muhammadiyah, Muchdi menjadi ketua organisasi silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Dia bergabung dengan organisasi ini sejak 1963, sebelum terjun ke dunia militer. Menariknya, Tapak Suci juga bergabung di dalam Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), yang di dalamnya memuat Prabowo Subianto sebagai anggotanya. Keterlibatan Muchdi di dalam organisasi-organisasi Islam membuat orang menduga bahwa dia sebenarnya adalah ‘kaki Prabowo’ di dalam ormas-ormas Islam.

Selain aktif sebagai politisi, Muchdi juga menjadi komisaris perusahaan kehutanan, yakni PT. Rizki Kacida Reana. Perusahan ini memiliki beberapa konsesi hutan sebesar kurang lebih tiga puluh ribu hektare di beberapa wilayah di Kalimantan Timur.7 Perusahan ini dimiliki oleh Epi S. Daskian yang sekaligus menjadi CEO. Muchdi dan Epi S. Daskian sama-sama duduk dalam organisasi alumni PII (Pelajar Islam Indonesia)
 
2. Chairawan Kadarsyah Nusyirwan (Akmil 1980)
Ketika kasus penculikan pecah ke permukaan, Kol. Inf. Chairawan menjabat sebagai komandan Grup-4/ Sandi Yudha Kopassus. Akibatnya, Chairawan dicopot dari kedudukannya sebagai komandan. Dia ‘diparkir’ di Mabes AD, namun itu tidak berlangsung lama. Dia kemudian menjadi perwira di Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.

Chairawan besar di lingkungan Kopassus, khususnya Sandi Yudha. Sandi Yudha adalah bagian dari Kopassus yang bertugas untuk mengumpulkan data intelijen tempur (combat-intelligence). Namun, dalam pelaksanaannya, Sandi Yudha juga melakukan tugas-tugas penggalangan (mobilization) dan perang urat-syaraf (psychological warfare). Narasumber yang diwawancarai untuk tulisan ini menginformasikan bahwa Chairawan bertugas sebagai komandan SGI (Satuan Gugus Intelijen) di Timor Timur, sebelum dia menjadi Komandan Grup-4. Sebagai komandan SGI, dia mengendalikan semua operasi intelijen Kopassus di wilayah itu. Namun, sebagaimana yang terjadi dalam operasi-operasi militer di Indonesia, Kopassus memiliki keistimewaan sebagai pasukan elite. Mereka kerap beroperasi sendiri tanpa pengetahuan dan kendali dari komandan-komandan militer tingkat lokal. Itulah yang membuat SGI, kadang-kadang, melakukan tindakan tanpa sepengetahuan komandan lokal.

Di BAIS, Chairawan banyak menangani Aceh. Pada tahun 2004, dia terlihat mendampingi delegasi Uni Eropa yang memantau gencatan senjata antara Republik Indonesia dan pihak Gerakan Aceh Merdeka.9 Namanya muncul lagi ke permukaan ketika diangkat menjadi komandan Korem 011/Lilawangsa, yang dijabatnya lebih dari setahun (30 Januari 2005 hingga 29 Mei 2006. Setelah itu, Chairawan kemudian mendapat promosi ke pangkat Brigadir Jenderal dan dipindah menjadi Kepala Pos Wilayah (Kaposwil) Badan Intelijen Nasional di Aceh.10 Jabatan sebagai orang intelijen nomor satu di Aceh dipegangnya kira-kira selama dua tahun sebelum dia dimutasi ke Mabes TNI. Namanya muncul kembali dalam pusaran perpindahan jabatan di TNI pada bulan Mei 2010. Kali ini ia diangkat menjadi Kepala Dinas Jasmani TNI-AD (Kadisjasad). Karier selanjutnya ia menjabat sebagai staf ahli BIN.11 Chairawan pensiun dengan pangkat mayor jenderal.

Segera setelah pensiun, Chairawan menjabat sebagai Komisaris PT Cowell Development Tbk, sebuah perusahan pengembang (real estate) yang dimiliki publik dan terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI). PT Cowell banyak membangun perumahan di pinggiran Jakarta, Tangerang, dan saat ini melebarkan sayap hingga ke Kalimantan Timur.12

Tidak terlalu sulit diduga ke mana orientasi politik Chairawan disalurkan sesudah pensiun dari tentara. Tanpa menunggu terlalu lama, ia bergabung ke Gerindra dan langsung diangkat menjadi anggota Dewan Pembina partai.13 Dia juga menjadi ketua dewan pembina sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bernama Solidaritas Rakyat Peduli Indonesia (Sorpindo).14 Dalam kampanye Pemilihan Umum legislatif 2014, Chairawan sangat aktif berkampanye untuk Gerindra di daerah yang telah lama menjadi spesialisasinya, Aceh.
 
3. Bambang Kristiono (Akmil 1985)
Bambang Kristiono adalah bekas komandan Batalion 42, Grup-4/Sandi Yudha Kopassus pada 1998. Dia juga salah satu komandan ‘Tim Mawar.’ Setidaknya, itulah yang diakuinya di depan pengadilan militer. Kristiono mengambilalih semua tanggung jawab penculikan aktivis, dan dengan demikian, ia membebaskan semua komandan yang waktu itu menjadi atasannya dari tuntutan hukum. Bambang Kristiono menanggung beban ini sendirian. Dia satu-satunya yang dipecat dari kesatuan militer ditambah hukuman penjara selama dua puluh dua bulan.

Seandainya Bambang Kristiono tidak terlibat dalam penculikan itu, dia mungkin sudah menjadi jenderal. Rekan-rekan seangkatannya, yang juga berkarier di Kopasus, seperti Doni Munardo dan (alm.) I Made Agra Sudiantara, saat ini sudah menyandang pangkat Mayor Jenderal. Saat ini Mayjen Doni Munardo kini adalah Komandan Pasukan Pengawal Presiden (Paspamres) dan alm. Mayjen I Made Agra Sudiantara sebelum meninggal menjabat sebagai komandan Pusat Persenjataan Infantri (Pussenif).

Setelah dipecat, hidup Bambang Kristiono tergantung pada belas kasihan Prabowo Subianto. Dia diberi pekerjaan sebagai direktur utama PT Tribuana Antar Nusa.15 Awalnya Perusahan ini adalah milik Yayasan Kobame (Korps Baret Merah) yang didirikan pada tahun 1993.16 Kini, ia menjadi anak perusahan dari Nusantara Energy Group milik Prabowo Subianto, yang bergerak di bidang transportasi. Perusahan ini memiliki kapal feri yang melayani penyeberangan Merak-Bakauheni dan melayani jasa transportasi untuk pengeboran minyak.

Bambang Kristiono juga bekerja sebagai operator politik Prabowo. Dialah yang menghubungi Pius Lustrilanang, seorang korban penculikan Tim Mawar , lalu mengajaknya bergabung ke Gerindra.17 Pada 2009, Bambang juga aktif dalam tim kampanye Megawati-Prabowo. Saat itu, dia bertugas sebagai tim kunjungan dan penyelenggara event.
 
4. Fausani Syahrial Multhazar18 [Akmil 1988]
Dalam kasus penculikan, Multhazar mengaku sebagai wakil komandan Tim Mawar. Pangkatnya saat itu adalah kapten. Beberapa korban penculikan mengenalinya dengan nama samaran ‘Bobby.’ Pada persidangan di Mahkamah Militer, dia dijatuhi hukuman 22 bulan penjara, lalu dipecat dari dinas militer. Namun di tingkat banding, keputusan ini diubah menjadi 36 bulan penjara tanpa pemecatan dari dinas militer. 

Karier militer Multhazar pun berlangsung normal. Namanya tertera pada daftar siswa yang mengikuti Dikreg Seskoad (Pendidikan Reguler di Sekolah Staf dan Komando TNI-AD) pada tahun 2003. Pada saat mengikuti pendidikan ini dia sudah menyandang pangkat mayor. Tidak diketahui ke mana dia setelah mengikuti pendidikan ini. Namun, namanya kembali menghiasi media media saat menjabat sebagai Komandan Kodim (Dandim) 0719/Jepara (24 Juli 2006–Mei 2008).

Setelah dua tahun menjabat sebagai Dandim, Multhazar dipindahkan menjadi Kasrem 173/Prajavirabraja di Biak. Tidak diketahui berapa lama dia menjabat sebagai Kasrem (paling lama biasanya dua tahun) dan ke mana dia setelah lepas dari jabatan itu. Posisinya yang terakhir adalah sebagai Kepala Bagian Pengamanan Biro Umum Setjen Kemhan,19 dengan pangkat kolonel.
 
5. Drs. Nugroho Sulistyo Budi (Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, UGM, angkatan 1985)
Di antara semua perwira yang terlibat dalam kasus penculikan aktivis, Nugroho Sulistyo Budi barangkali adalah figur yang paling menarik. Dia adalah satu-satunya perwira yang bukan tamatan Akademi Militer (Akmil). Ia belajar ilmu politik di jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1985 dan lulus tahun 1990.20 Tidak diketahui apakah Nugroho masuk dinas militer selama menjalani pendidikan di UGM atau setelah lulus kuliah. 21 Juga tidak diketahui bagaimana dia masuk ke dalam Kopassus dengan perjalanan karier yang boleh dibilang mengesankan.22 Beberapa narasumber yang dihubungi untuk penulisan artikel ini mengatakan cukup terkejut ketika mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah perwira militer, dan terlebih lagi perwira Kopassus yang terkait dengan kasus penculikan aktivis. Sebagian mengenangnya sebagai penari Jawa yang handal. Sementara yang lain mengenangnya sebagai ‘Michael Jackson-nya Fisipol’ karena rambutnya yang ikal dan kulitnya yang gelap. Dia memang sangat mirip dengan Michael Jackson, raja musik pop itu.

Beberapa tahun setelah tamat dari UGM, Nugroho terlihat sebagai perwira SGI di Timor Timur. Beberapa orang yang mengenalnya mengatakan bahwa dia ‘sangat berubah’ ketika bertugas di Timor Timur. Organisasi-organisasi dan pengamat HAM memang mencatat bahwa sejak tahun 1991, khususnya sejak peristiwa Santa Cruz, militer Indonesia memakai metode penculikan dan penyiksaan untuk mengontrol gerakan aktivis-aktivis kemerdekaan Timor Timur.23

Seperti halnya perwira-perwira lain yang terlibat penculikan, Nugroho pun mengajukan banding atas hukuman yang dijatuhkan krpadanya. Akhirnya, ia dihukum 36 bulan penjara tanpa pemecatan. Tidak ada catatan ke mana dia setelah menjalani hukuman. Kemungkinan dia tetap berada di Kopassus. Namanya muncul kembali sebagai lulusan Seskoad (Sekolah Staff dan Komando TNI-AD) tahun 2005. Ini berarti dia telah mulai pendidikan setahun sebelumnya. Setelah pendidikan di Seskoad, Nugroho agaknya kembali bertugas sebagai staf intelijen di Kopassus. Namanya muncul sebagi peserta pada Asean Regional Forum (ARF) Conference on Terrorist Use of Internet, di Bali 6-8 November 2008, dan saat itu diketahui kalau dia sudah berpangkat letnan kolonel.

Karier Nugroho semakin menanjak ketika dia diangkat menjadi Komandan Kodim 0733-BS Semarang (4 Sept. 2009 – April 2011). Sekali pun kadang-kadang menjadi sorotan karena masa lalunya, Nugroho dikategorikan berhasil dalam menjalani jabatan sebagai Dandim.24 Setelah menjadi Dandim, Nugroho dikabarkan bertugas di Badan Intelijen Negara (BIN), lalu pangkatnya pun naik satu tingkat menjadi kolonel.
 
6. Yulius Selvanus[Akmil 1988]
Di antara semua anggota Tim Mawar, Yuliuslah yang mungkin paling misterius. Selepas menjalani ‘hukuman’, dia kembali ke Kopassus. Pada 2002, ada yang menyaksikan dia berada di Pusdik (Pusat Pendidikan) Kopassus di Batujajar dengan pangkat mayor.26 Tidak diketahui ke mana kariernya beranjak setelah itu. Hanya saja, pada 2004 dia menamatkan pendidikan di Seskoad. Tidak ada informasi apakah setelah itu Yulius masuk ke jalur territorial sebagaimana lazimnya perwira TNI-AD yang lulus dari Seskoad. Namanya kembali muncul pada 2009 sebagai Wakil Komandan Grup-1 Kopassus di Serang.27 Diduga, Yulius Selvanus sekarang bertugas di sebagai perwira di BAIS dengan pangkat kolonel.28
  
7. Untung Budiharto[Akmil 1988]
Berkebalikan dengan Yulius, karier Untung Budiharto terlihat paling transparan di antara semua perwira yang terlibat penculikan. Sebuah berita kecil yang dimuat oleh media online Detik.com29 menyatakan bahwa Untung sudah menjalani penuh hukumannya 32 bulan di penjara.30 Hal itu dinyatakan oleh Kepala Penerangan Kodam XVI Pattimura, Mayor Sukrianto Puluhulawan yang menyampaikan cerita versi Untung kepada wartawan. Saat wawancara itu diberikan (16 Mei 2007), Untung memang sedang bertugas di lingkungan Kodam XVI Pattimura, sebagai Kepala Staf Korem 151/Binaiya di Ambon. “Selama Sembilan bulan saya ditahan di Puspom, sisanya di Cimahi, Jawa Barat,” tutur Untung, seperti diceritakan kepada Kapendam XVI Pattimura. Usai menjalani hukuman, Untung Budiharto yang ketika itu masih berpangkat Kapten, langsung dipindahkan ke Ambon. Dia ditempatkan sebagai komandan intel Kodam XVI Pattimura. Itu terjadi pada tahun 2003.31 Pada tahun 2004, Untung diberi tugas baru sebagai Komandan Batalion 733/Masariku dengan pangkat Mayor.
Karier Untung melesat bak meteor selepas dia menjalani hukuman ‘penjara.’ Namun, cerita menjadi agak membingungkan ketika fakta lain muncul. Untung Budiharto tercatat dalam daftar lulusan Seskoad pada tahun 2002.32 Jika Untung mulai ditahan pada bulan Februari 1999, dijatuhi hukuman dua bulan kemudian, maka dengan hukuman 30 bulan, kemungkinan dia bebas dari penjara adalah pada Agustus 2001. Maka, sangat mengherankan karena hanya dalam waktu lima bulan kemudian dia sudah menjadi perwira siswa Seskoad.33

Dari komandan batalion, Untung meningkat menjadi komandan Kodim 1504/Pulau Ambon dan pulau-pulau Lease yang berkedudukan di Kota Ambon. Jabatan ini diembannya selama kurang dari dua tahun (2005-2006). Pada 2007, dia menjadi kepala staf Korem 151/Binaiya, juga di kKota Ambon. Karier selanjutnya untuk Untung adalah kembali ke basis semula, Kopassus.

Pada Juni 2009, dia diangkat menjadi asisten perencanaan (Asren) Kopassus.34 Jabatan ini diembannya hanya selama sembilan bulan. Pada Maret 2010, dia kembali dimutasi menjadi dosen di Seskoad. Jabatan selanjutnya adalah sebagai Pamen Ahli Kopassus Golongan IV Bidang Taktik Parakomando, sebagai staf pengajar di Pusat Pendidikan Kopassus di Batujajar. 35 Bulan April 2012, Untung Budiharto kembali dipindah menjadi komandan Resimen Induk (Rindam) Kodam IV/Diponegoro. Tugas dari Rindam adalah mendidik warga negara biasa yang ingin menjadi prajurit-prajurit TNI. Pada saat ini, pangkatnya sudah naik menjadi kolonel. Saat ini, Kol. Inf Untung Budiharto menjabat sebagai komandan Korem 045/Garuda Jaya36 yang berkedudukan di Provinsi Bangka dan Belitung.

Perjalanan karier Untung Budiharto tampaknya mulus-mulus saja. Jenjang kepangkatan yang dia capai saat ini sejajar dengan jenjang kepangkatan rekan-rekan satu angkatan di Akmil 1988 (a). Pada tahun ini, beberapa lulusan angkatan tersebut diperkirakan akan masuk ke jenjang bintang satu (brigadir jenderal). Hanya satu langkah lagi bagi Untung untuk menjadi jenderal.
 
8. Dadang Hendra Yuda (Akmil 1988)
Kapten Inf. Dadang Hendra Yudha menjabat sebagai Komandan Detasemen III Batalion 42 Kopassus pada waktu penculikan itu terjadi. Dalam pengadilan banding, Dadang dikenakan hukuman satu tahun empat bulan (enam belas bulan) atas keterlibatannya dalam penculikan itu.
Beberapa bulan setelah bebas dari hukuman pidana itu, Dadang segera masuk ke Seskoad. Dia tamat Seskoad pada 2001 dan pangkatnya saat itu adalah mayor. Dengan demikian, lagi-lagi, kita dihadapkan pada teka-teki, mengapa perwira yang sudah terbukti melakukan tindak kriminal dan diputus oleh pengadilan, bisa dengan cepat mendapat kenaikan pangkat, bahkan diijinkan untuk melanjutkan pendidikan untuk meningkatkan karier militernya?

Tidak banyak yang kita ketahui ke mana Dadang setelah selesai menjalani pendidikan di Seskoad. Namun, namanya kembali menghiasi media massa pada tahun 2007, ketika didapati dia menjadi Komandan Kodim 0801/Pacitan, Jawa Timur, dengan pangkat Letkol. Dadang dua kali menjabat sebagai Dandim. Pada Juli 2008, dia dipindah menjadi Dandim Kodim 0813/Bojonegoro.37

Setelah menjadi Komandan Kodim (Dandim), Dadang diangkat menjadi Kepala Staff Brigade Infantri 16/Wira Yudha [Kas Brigif 16/Wira Yudha].38 Posisi Dadang terakhir yang terlacak adalah sebagai Kasubdit Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) [2014].39 Di posisi ini, ia sudah menyandang pangkat kolonel.
 
9. Djaka Budi Utama [Akmil 1990]
Dalam proses banding hukuman atas keterlibatannya dalam penculikan, Djaka Budi Utama tetap dihukum satu tahun empat bulan. Tidak diketahui dimana dia bertugas setelah menjalani hukuman. Lama menghilang, pada tahun 2007 namanya muncul kembali sebagai Komandan Batalion 115/Macan Leuser di Aceh Selatan. Batalion ini didirikan pada tanggal 6 Desember 2004. Djaka Budi Utama adalah Komandan Batalion yang pertama dan menjabat cukup lama hingga diganti pada 29 Juni 2007.41

Djaka Budi Utama menyelesaikan pendidikan di Seskoad pada tahun 2004. Kemungkinan dia langsung menjadi komandan batalion selepas pendidikan itu. Kariernya semakin menanjak dengan jabatan baru sebagai Komandan Kodim 0908/Bontang, Kalimantan Timur. Dia menduduki jabatan strategis di kota kaya minyak ini hingga 27 Juli 2011. Pangkatnya pun naik menjadi letnan kolonel.

Pada 31 Juli 2012, Letkol Inf. Djaka Budi Utama diangkat menjadi Asisten Intelijen Kasdam Kodam Iskandar Muda, Nangroe Aceh Darrusalam. Jabatan ini membawanya kembali ke Aceh, tempat dia lama bertugas.42 Dia dimutasi dari jabatan Asintel pada 26 Maret 2014,43 hanya sebulan menjelang pemilihan legislatif dan empat bulan menjelang pemilihan presiden. Tidak diketahui dimana selanjutnya dia bertugas.

10. Fauka Noor Farid [Akmil 1992]
Fauka adalah perwira termuda dari semua perwira yang terlibat dalam kasus penculikan. Namun, seperti halnya dengan Yulius Selvanus, tidak banyak data tentang dirinya yang muncul ke permukaan. Tidak diketahui ke mana dia setelah ditahan. Namanya muncul di media pada tahun 2005 saat menjadi Komandan Detasemen Pemukul Satu Raider di Aceh.44 Saat itu, Fauka sudah berpangkat mayor.

Juga tidak diketahui apakah Fauka pernah menjadi perwira siswa di Seskoad. Namanya tidak ada dalam daftar lulusan alumni Seskoad. Dia juga tidak terlihat pernah menjadi komandan di satuan-satuan teritorial TNI-AD. Namun, sedikit keterangan tentang dirinya muncul dalam satu putusan Mahkamah Agung RI. Dalam keputusan atas perkara kepemilikan senjata api secara illegal yang melibatkan tertuduh yang bernama Harmonis Siaga Putra, Fauka diajukan sebagai saksi di pengadilan. Terdakwa, yang adalah seorang politisi lokal di Kotabumi, Lampung, memiliki senjata api, tetapi tidak memiliki surat ijin yang sah, yang dikeluarkan oleh kepolisian. Namun, ternyata terdakwa memiliki surat izin yang dikeluarkan oleh BAIS dan ditandatangani oleh Letkol. Inf. Fauka Noor Said. Dari putusan pengadilan itu, diketahui bahwa Fauka pernah menjabat sebagai Dan Sus Pa Intel BAIS (2009 – Agustus 2011) dan setelahnya menjabat sebagai Kepala Kelompok Khusus (Kopaksus) BAIS (Agustus 2011 – ?).45

Setelah itu, Fauka seolah lenyap ditelan bumi. Namun, diam-diam, dia muncul kembali sebagai orang sipil. Namanya tertera sebagai Juru Kampanye Nasional Partai Gerindra untuk Pemilu 2014 dalam daftar juru kampanye yang disahkan oleh KPU.46 Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi DPP Partai Gerindra, Ondy A. Saputra, yang dihubungi untuk kepentingan tulisan ini membenarkan bahwa Fauka memang anggota Gerindra dan menjadi juru kampanye nasional partai itu. Menurut Ondy, Fauka sudah ‘pensiun’ dari dinas militer sejak dua tahun lalu.47
 
Karier, The Aceh Connection, dan Prabowo Subianto

Apa yang bisa kita simpulkan dari perjalanan karir militer para perwira-perwira ini? Paling tidak, ada empat hal yang bisa ditarik dari perjalanan karier mereka.
 
 1. Hukuman pidana tidak berpengaruh terhadap karier dalam militer
Tujuh orang perwira yang dihukum karena penculikan ini ternyata tidak mengalami gangguan berarti dalam mengembangkan karier militernya. Beberapa dari mereka memiliki karier militer yang sangat maju dan laju kenaikan pangkatnya di atas rata-rata kawan-kawan seangkatannya. Taruhlah, misalnya, karier militer Kol. Inf. Untung Budiharto. Dia menjalani karier militer yang sangat lengkap: sebagai komandan batalyon, komandan territorial (Dandim dan sekarang Danrem), menjadi perwira staff (Asren Kopassus), dan menjadi pengajar di Seskoad serta di Kopassus. Dalam tradisi militer Indonesia, mutasi dan promosi yang ditapak oleh Untung Budiharto adalah jalur mutasi dan promosi ke jenjang jenderal. Tidak mengherankan jika Untung kemudian akan muncul di jajaran elite TNI-AD.

Empat perwira yang lulus dari angkatan 1988 (Multhazar, Untung, Yulius, dan Dadang) semuanya menyandang pangkat kolonel. Bahkan Drs. Nugroho Sulistyo Budi, yang masuk dari luar jalur Akmil, juga sudah menyandang pangkat kolonel. Yang lebih penting lagi, mereka adalah kolonel-kolonel senior yang masih jauh dari usia pensiun.48 Mereka tinggal selangkah lagi akan memasuki jenjang jenderal.49

Apakah cepatnya laju karir militer para perwira ini adalah sesuatu yang wajar di dalam militer Indonesia? Agaknya tidak. Ini adalah sebuah kekecualian. Perwira-perwira yang pernah dihukum karena melakukan tindak kriminal biasanya langsung ‘masuk kotak.’ Karirnya tidak akan berkembang, lalu dia dipindah ke pos-pos yang tidak penting. Namun, ada perwira-perwira yang sekalipun dijatuhi hukuman kriminal berdasarkan hukum militer tetap mendapatkan promosi karena dianggap sedang ‘menjalankan tugas negara.’

Hal ini terjadi tidak dalam kasus penculikan saja. Para perwira yang dipidana karena terbukti melakukan pembunuhan terhadap tokoh adat Papua Theys Hiyo Eluay pada 2001, ternyata terus mendapatkan promosi jabatan. Letkol . Inf. Hartomo (Akmil 1986), yang pada saat itu menjabat sebagai komandan Satgas Tribuana, sekarang sudah menyandang pangkat brigadir jenderal dan saat ini menjabat sebagai Komandan Pusat Intel Angkatan Darat (Danpusintelad). Hartomo adalah salah satu dari dua orang pertama di angkatannya yang mencapai pangkat Brigjen. Perwira lainnya adalah Bigjen TNI Hinsa Siburian, lulusan terbaik Akmil 1986, yang sekarang menjabat sebagai Kasdam Kodam XVII/Cendrawasih. Terdakwa lain, Mayor TNI Donny Hutabarat (Akmil 1990), sempat menjabat sebagai Komandan Kodim 0201/BS di Medan, dan sekarang menjabat sebagai Waasintel Kasdam Kodam I/Bukit Barisan. Donny Hutabarat dipromosikan menjadi Waasintel ketika Mayjen TNI Lodewijk Paulus, mantan Danjen Kopassus, menjabat sebangai Pangdam I/Bukit Barisan. Sementara, Kapten Inf. Agus Supriyanto (Akmil 1991), yang juga terlibat dalam pembunuhan itu, sempat menduduki jabatan sebagai komandan Batalion 303/Kostrad. Perwira terakhir yang terlibat dalam pembunuhan Theys adalah Lettu Inf. Rionardo (Akmil 1994). Sekarang dia diketahui menjabat sebagai Paban II Srenad di Mabes TNI-AD.

Semua kecenderungan ini memperlihatkan impunitas para perwira TNI dalam perkara-perkara kriminal yang melibatkan tugasnya sebagai militer. Persepsi yang berkembang di dalam TNI, semua kejahatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari ‘tugas negara’ dan penyelewengan dari tugas tidak dengan serta merta menjadikan perwira-perwira itu tidak cakap sebagai militer. 50

Tidak ada yang lebih tepat menggambarkan kecenderungan sikap TNI terhadap perwira-perwiranya yang secara terang-terangan melanggar HAM, ketimbang sikap mantan KSAD Jendral Ryamizard Ryacudu. Jendral yang pernah santer disebut akan menjadi calon wakil presiden untuk Jokowi ini, ketika menanggapi hukuman terhadap anggota TNI yang membunuh Theys, dengan gamblang mengatakan bahwa mereka adalah ‘pahlawan.’51

Penyelidikan secara mendalam terhadap perjalanan karir perwira-perwira ini juga mengungkapkan bahwa hukuman pidana yang mereka terima adalah bagian dari karir militer mereka. Dengan mudah mereka mendapat promosi setelah hukuman itu habis masanya.
 
 2. Karir Intelijen
Menjadi prajurit Sandi Yudha sama artinya dengan menjadi intelijen. Kenyataannya adalah semua perwira yang terlibat penculikan ini adalah perwira-perwira intelijen. Pertanyaannya adalah: layakkah mereka terus diberi kepercayaan untuk terus berkarya di dunia intelijen, yang dalam konteks Indonesia, sangat sulit pertanggungjawabannya itu?’ Empat dari delapan perwira yang terlibat dalam penculikan (Yulius, Nugroho, Dadang, dan Fauka) terus bergelut dalam dunia intelijen.

Kasus pembunuhan Munir mengajarkan bahwa dinas intelijen bisa dengan gampang digunakan untuk kepentingan pribadi. Memang tidak mungkin untuk mengharapkan transparansi dari dunia intelijen, tetapi bagaimana pun juga dunia intelijen itu haruslah accountable (bisa dipertanggungjawabkan). Bisakah diharapkan accountability dari perwira-perwira yang sudah terbukti dipengadilan melakukan tindakan-tindakan pidana yang tercela?

Kalau pun tujuannya adalah memberikan ‘kesempatan kedua’ untuk perwira-perwira ini, tidakkah lebih baik mereka diberikan tempat pada institusi-institusi yang transparan untuk publik?
 
 3. The Aceh Connection?
 Hal yang juga menarik untuk diamati, sebagian besar perwira-perwira yang terkait dengan penculikan ini juga memiliki karier yang terkait dengan Aceh. Chairawan menangani Aceh saat dia di BAIS, menjadi Danrem di sana, kemudian menjabat sebagai Kaposwil BIN. Perwira lain yang juga berkarier di Aceh adalah Djaka Budi Utama, yang mulai sebagai Komandan Batalion dan terakhir menjabat sebagai Asisten Intelijen Kodam Iskandar Muda. Fauka Noor Farid juga pernah bertugas di Aceh sebagai komandan pasukan detasemen pemukul (Denkul). Mengingat gejolak di Aceh sebelum perjanjian Helsinki, besar kemungkinan perwira-perwira yang lain juga bertugas di Aceh.

Bagi tiga orang ini, Aceh tentu bukan medan yang asing. Yang kemudian menarik untuk diperhatikan adalah bahwa partai lokal yang berkuasa di Aceh, Partai Aceh, dalam pemilihan umum legislatif 2014 memilih berkoalisi dengan Gerindra. Chairawan pun aktif berkampanye di Aceh.[53] Djaka Budi Utama, bekas anak buah Chairawan di Grup-4/Sandi Yudha bahkan menjabat Asintel Kodam dan hanya diganti sebulan sebelum pemilihan umum legislatif. Kedua orang ini pastilah sangat mengetahui situasi sosial politik serta konfigurasi kekuasaan di Aceh. Adakah orang-orang ini juga membantu terbangunnya koalisi aneh antara Partai Aceh dan Gerindra? Mungkin sejarah yang akan lebih mampu menjawab pertanyaan ini.
 
 4. Patronase Prabowo?
 Umumnya, ikatan antara komandan dengan anak buah sangat erat, sekalipun diikat oleh tali komando yang ketat. Mereka mengalami suka duka bersama di medan pertempuran. Namun, untuk konteks Indonesia, hubungan komandan dan anak buah bisa meningkat menjadi hubungan patronase. Komandan menjadi jalur untuk promosi ke jenjang kepangkatan lebih tinggi atau mutasi ke tempat-tenpat yang prestisius. Komandan juga menjamin kehidupan anak buahnya secara ekonomis.

Prabowo menjadi tipikal seorang komandan yang juga seorang patron. Sebagai menantu presiden, dia jelas memiliki jalur ke lingkaran paling elite di negeri ini. Dia juga memiliki akses ke sumber ekonomi yang nyaris tak terbatas. Yayasan Kobame (Korps Baret Merah) mencapai puncak kejayaannya ketika Prabowo masih di dalam Kopassus. Yayasan itu boleh jadi sudah bubar, tetapi beberapa perusahan di bawah Kobame akhirnya diambilalih oleh Prabowo. Dia ‘menghidupi’ beberapa mantan prajurit dan perwira Kopassus.

Kesetiaan bekas anak buah Prabowo juga tidak diragukan. Muchdi Pr. mendirikan Gerindra bersama Prabowo. Meskipun ia keluar, diragukan bahwa Muchdi sebenarnya berseberangan dengan Prabowo, adik kelas yang kemudian menjadi patronnya itu. Chairawan langsung bergabung dengan Prabowo begitu pensiun dari dinas tentara. Demikian juga dengan Bambang Triono. Dan terakhir, Fauka Noor Farid juga bergabung dengan partai politik bikinan Prabowo, Gerindra.

Kita tidak tahu apakah perwira-perwira yang masih berdinas aktif masih menjaga hubungan dengan Prabowo. Mungkin juga tidak. Namun, melihat postur Prabowo saat ini dalam politik Indonesia, tidak terlalu mengherankan juga kalau mereka–dan juga perwira-perwira lain yang pernah menjadi anak buahnya–masih menjaga hubungan dengan Prabowo, sekalipun tidak secara formal.
 
Akhirnya …
Seperti yang dikatakan di atas, semua hal yang kita ketahui dari para perwira yang pernah melakukan penculikan ini memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Namun, ada satu hal yang tegas dan jelas, yakni para perwira ini masih bisa menikmati karier militer yang sangat bagus sekalipun telah melakukan perbuatan pidana yang tercela.
 

bujanglapuk(forum vivanews)

penulis adalah peneliti masalah-masalah politik, militer dan jurnalis lepas(freelance). Tulisannya pernah muncul di prisma, jurnal indonesia dan inside indonesia.


.

Percobaan Pembunuhan Soekarno oleh Pilot Angkatan Udara Indonesia

Pengakuan Daniel Maukar Soal Penembakan Istana Merdeka


Quote:
Det…det…det…det…., rentetan suara di siang itu mengagetkan banyak orang. Roy yang tengah belajar di lantai dua SMP ……. dibuat tersentak. Tidak hanya di sekolahnya, warga Jakarta yang saat itu berada di sekitar Istana Merdeka Selatan, berhamburan mencari tahu asal suara dentuman itu. Bahkan KSAU Marsekal Suryadarma yang tengah rapat di gedung Dewan Nasional, bergegas keluar. Istana ditembak… istana ditembak….. karuan saja teriakan itu menyiutkan nyali setiap orang.
Hari itu, tepatnya 9 Maret 1960 sekitar pukul 12 siang, Istana Merdeka Selatan telah diberondong kanon 23 mm dari sebuah pesawat tempur Mikoyan-Gurevich MiG-17F Fresco nomor 1112 asal Skadron Udara 11. Penerbangnya Letnan II Pnb Daniel Alexander Maukar, callsign “Tiger”. Setelah kurang sukses melaksanakan tugasnya menembak kilang minyak Shell Oil di Plumpang Tanjung Priuk, Istana Merdeka dan Istana Bogor, Daniel Maukar akhirnya mendarat darurat di sebuah desa di Garut.

Masih untung dengan Presiden Soekarno. Pemimpin kharismatik ini siang itu kebetulan sedang memimpin sidang Dewan Nasional di sebuah gedung di samping Istana Merdeka. Gedung ini berjarak sekitar 20 m dari Istana. Seperti biasa, daerah di sekitar tempat sidang dijaga Polisi Pengawal Pribadi Presiden (H. Mangil Martowidjojo, Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967, terbit 1999). Salah satu peserta sidang justru KSAU Suryadi Suryadarma.

Nyaris sejak peristiwa itu terjadi hingga hari ini setelah berlalu 47 tahun, sedikit sekali pengetahuan orang soal itu. Tak kurang TNI AU sendiri, meski potongan-potongan cerita keberanian Maukar menjadi semacam kebanggaan di kalangan tertentu di TNI AU. Lalu kekuatan apa sesungguhnya yang membuat seorang perwira muda bernama Maukar nekat menembak Istana Presiden, bagaimana ia menyiapkan misi itu, bagaimana pula ia menyiapkan pelariannya ke Kadungoro, Leles, Garut, Jawa Barat; apa betul insiden itu terkait dengan rumor direbutnya kekasihnya Molly Mambo oleh Presiden Soekarno serta bagaimana ia bisa lolos dari hukuman seumur hidup.

"Tiger, Tiger, from Kemayoran tower, over." Panggilan itu berkali-kali menyahut di telinga Dani, namun tidak dibalas. "Tiger, Tiger, if you read me please check your fuel." Dani tetap bungkam, karena sekali ia membalas posisinya akan diketahui. Radio dimatikan. Pesawat melaju cukup kencang menuju Bandung. Benak Dani bergalau. Ia membayangkan reaksi Molly apabila tahu apa yang sudah dilakukannya. Pun membayangkan reaksi sang ayah. Hingga ia tidak menyadari sudah terbang jauh, tanpa kendali arah. Ketika tersadar, ia tidak tahu persis berada di mana. Namun Dani yakin, ia pasti sudah mendekati Garut.

Quote:
" Saya tidak akan meninggalkan negri ini, apapun yang terjadi, ada keluarga saya di sini, sekalipun saya harus mati"
Kata kata itu di ucapkan Dani Maukar, setelah brefing dengan Sam Karundeng, yang menyarankan setelah aksinya lebih baik Dani ke luar negri.

Sesuai rencana, Dani harus menemukan enam titik api unggun, tiga di kiri tiga di kanan, sebagai tanda landing site. Tapi apa lacur, di bawah ia melihat begitu banyak api unggun. Sepertinya petani sedang membakar gabah dan asapnya membumbung di mana-mana. Ketimbang pusing, Dani ambil langkah tepat ke selatan, berharap jatuh di laut. Ketinggian mulai diturunkan. Karena buruknya persiapan, memang tidak pernah ada komunikasi antara Bandung dengan tim penunggu di Garut. Jarak yang jauh untuk dicapai lewat darat. Tim yang mestinya ke Malambong untuk berkoordinasi, menurut Dani juga tidak pernah berangkat. Sampai akhirnya MIG-17 yang diterbangkannya mendarat darurat di persawahan Kadungoro, Leles, Garut, Jawa Barat, setelah tiga kali overhead untuk memastikan lokasi pendaratan.

Setelah menurut perhitungan yang pasti bahwa pesawat itu tidak melampaui batas waktu terbangnya. Maka kepada pangkalan-pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara dan Halim Perdanakusumah diperintahkan untuk mencari pesawat tersebut. Sebelumnya belly landing, Dani sudah menyiapkan pistolnya. Senjata ini akan digunakannya untuk bunuh diri seandainya pesawat terbenam lumpur saat pendaratan. Namun, belum sampai bunuh diri, ia keburu ditangkap tentara yang telah mencarinya dengan melakukan penyisiran wilayah Garut. Setelah ditangkap, sore harinya Komandan Lanud Tasikmalaya Kapten Sumantri dan Letnan Subaryono serta seorang perwira teknik datang mengunjunginya.

Di Jakarta, kekacauan segera terjadi sesaat setelah aksi Dani. Berita mulai tersebar, termasuk di lingkungan AURI. Anehnya, tidak satu pun tuduhan langsung terarah ke Dani. Begitu pun keluarga Maukar di daerah Menteng, tak ada prasangka apa-apa. Di kepala sang Ayah, itu pasti ulah Sofyan, anak Padang yang punya sedikit masalah dengan pemerintah. Sampai ketika dipanggil Provost AURI pun, sang ayah tenang-tenang saja. Ketika ditanya pendapatnya soal insiden yang terjadi hari ini, sang ayah hanya menjawab, "Orang itu harus bertanggung jawab!"

"Itu anak Bapak." Suara provos itu bagai petir di siang bolong di telinga Karel Herman Maukar. Daniel Alexander Maukar pun ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap.



Di kutip dari berbagai sumber

Sabtu, 07 Juni 2014

Prabowo Subianto Alias Omar

HM Aru Syeif Assadulah
Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Islam

Kendati hampir dipastikan hari ini, seluruh rakyat Indonesia mengenal nama Prabowo Subianto, tapi dipastikan pula tidak banyak yang tahu Prabowo punya nama alias di lingkungan sahabat dekatnya yakni: Omar. Nama Omar dimaksudkan dan mengacu sebagai Omar bin Khattab, Sahabat Rasulullah Muhammad Saw yang perkasa. Capres (Calon Presiden) yang mantan Komandan Jendral (Danjen) Kopassus ini juga menyandang nama panggilan sandi : 08 (Kosong Delapan) yang melekat pada nama Prabowo. Tapi yang paling populer di kalangan sahabat Prabowo, nama panggilan Omar, untuk Prabowo lebih sering digunakan. Nama ini bagai memberi spirit dan dorongan para sahabatnya agar Prabowo mengikuti keteladanan Khulafaurassyidin: Omar Ibn Khattab, yang memiliki jiwa kepahlawanan dan pemberani mendampingi Rasulullah Muhammad Saw saat menegakkan Islam. Kini ketika ia tampil menjadi Capres pada Pilpres 2014, ia acap dipanggil Haji Prabowo Subianto.

Panggilan Prabowo diawali dengan Haji, dipastikan bukan dimaksudkan untuk “membedaki” dirinya agar tampak menjadi Islami, dekat dengan Islam dan kalangan/umat Islam. Prabowo justru mencuat namanya karena kedekatannya dengan kalangan Islam pada tahun-tahun menjelang dan sesudah keruntuhan Presiden Soeharto (1998) yang juga mertuanya itu. Bahkan sejak 1988 ketika Presiden Soeharto mengubah haluan politik dengan merangkul Islam--dengan direstui berdirinya ICMI dan Bank Muamalat--kalangan minoritas yang merasa tersingkir mengkritik kebijakan Soeharto itu sebagai melahirkan politik Islam yang semakin mewarnai DPR-MPR juga kabinet yang disebutnya sinis : Ijo-Royo-Royo. ABRI pun diseretnya mengikuti trend politik ini dan dijuluki sebagai ABRI Hijau. Sejumlah jendral yang ikut menyemarakkan ABRI Hijau antara lain : Jendral Feisal Tandjung dan Jendral R. Hartono, masing-masing menjabat sebagai Pangab (Panglima ABRI) dan Kasad (Kepala Staf AD). R. Hartono tanpa segan-segan justru menjawab sindiran warna Hijau ABRI dengan perintah yang “galak”, “Setiap prajurit ABRI harus fanatik dengan agamanya,” seraya menjabarkan dengan kefanatikan itu maka setiap prajurit dengan agama apapun yang dianutnya akan menjadi taat dengan perintah agamanya dan akan menjadi kekuatan pembela Negara yang tangguh.

Di sekitar isu Ijo-Royo-Royo yang minor terhadap aspirasi umat Islam itu, Prabowo berdiri dan dianggap sebagai salah satu ABRI Hijau, bersama perwira-perwira muda lainnya, seperti : Fachrurozi (Jendral TNI), Subagyo HS (Jendral TNI), Sjafrie Sjamsoeddin (Letjen TNI), Muchdi PR (Mayjen TNI), Kivlan Zen (Mayjen TNI), Ghaffar Rachman (Mayjen TNI), Amphi Tanoedjiwa (Mayjen TNI), Adityawarman (Brigjen TNI), dan seterusnya. Tatkala Prabowo semakin dekat dengan citra ABRI Hijau itu, diam-diam Prabowo sudah berinisiatif “menyambangi” (sowan) menemui sejumlah tokoh Islam, seperti M. Natsir di kediamannya Jalan Jawa (kini Jalan HOS Cokroaminoto) No. 46 Menteng Jakarta Pusat. Penulis melihat pertemuan itu, di mana saat mau masuk ke rumah M. Natsir, Prabowo sempat melepas cincin emas dan kalung miliknya dititipkan pembantu M. Natsir, Sdr Aswadi. Saat itu Prabowo menduduki jabatan sebagai Komandan salah satu Group Kopassus berpangkat mayor.

Mengapa Prabowo menjadi dekat dengan Islam? Padahal Prabowo Subianto adalah putra Begawan Ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, yang dikenal sebagai tokoh Partai Sosialis Indonesia. Tidak ada jejak Islam. Riwayat Prabowo yang kariernya melaju pesat di Kopassus, sebagai Wadanjen, (Wakil Komandan Jendral), Danjen (Komandan Jendral), dan Pangkostrad, kiranya bisa menjawab pertanyaan itu.

Sejatinya yang mendasari sikap itu, karena Prabowo memiliki jiwa patriot sejati yang diiringi kejujuran jiwanya yang mendorong ia bersikap membela bahkan pro Islam yang diperlakukan diskriminatif sebagai mayoritas. Sekitar 1997 tatkala Prabowo sudah menduduki jabatan sebagai Wadanjen dan bahkan Danjen Kopassus, Prabowo acapkali mengundang dan hadir dalam diskusi politik-ekonomi di kalangan cendekiawan. Statemen Prabowo yang sangat kontroversial ditangkap kalangan minoritas, ketika ia acapkali menyampaikan pendiriannya bahwa: “Indonesia yang mayoritas hampir 90% penduduknya beragama Islam, maka sudah sewajarnya jika sistem yang dipakai adalah sistem yang Islam!” Prabowo kemudian memberikan contoh ilustrasi seperti yang kini berlaku di Philipina. Sistem yang berlaku di Philipina adalah sistem yang mengacu kepada tatanan Katolik. Hal itu menurut Prabowo sebagai sah-sah saja, karena penduduk Philipina mayoritas, 90%, beragama Katolik. Sikap Prabowo yang jujur ini sebenarnya hanya meneruskan pernyataan yang disampaikan BJ. Habibie yang sering menyatakan sikap pemerintah saat itu lebih adil dengan menganut asas proporsional. Komposisi anggota DPR-MPR juga susunan kabinet dikoreksi mendekati proporsional, walau belum proporsional mutlak.

Prabowo pun dianggap atau dituduh anti minoritas. Apalagi ketika diskusi sampai ke wilayah ekonomi, sikapnya yang amat terang-terangan membela ekonomi rakyat kecil seraya mengkritik dominasi konglomerat yang notabene terdiri 200-an kongkomerat keturunan Cina. Sejatinya Prabowo hanya membela hak-hak rakyat yang tersingkir di bidang ekonomi. Penulis, tahu Prabowo sangat bersahabat dengan PM Malaysia Mahathir Mohamad yang mampu melindungi hak-hak rakyat pribumi Melayu atas desakan dan dominasi peran ekonomi pendatang Cina dan India di Negeri Jiran. Mahathir sukses membela rakyat Melayu di Negeri Jiran. Mengapa tidak bisa diwujudkan di Indonesia, tanpa bermaksud mendiskriminasi golongan minoritas. Namun stigma sudah terbentuk seolah-olah Prabowo anti minoritas bahkan anti Cina. Tuduhan ini niscaya dirasakan berat bagi Prabowo, karena merasa diri tidak bermaksud mendiskriminasi siapapun, apalagi etnik tertentu Cina. Barangkali tatkala ia merancang partainya Gerindra dengan mencalonkan Ahok seorang Cina diusungnya menjadi Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, pada 2012, mendampingi Jokowi, mudah ditebak sebagai pembuktian untuk mementahkan tuduhan kepadanya yang diskriminatif bahkan anti Cina. Begitu halnya, dengan mengangkat beberapa orang yang diketahui sebagai korban penculikan, seperti Desmon Junaidi Mahesa, Pius Lustrilanang sebagai anggota penting di Gerindra, termasuk pembuktian yang lain.

Jiwa terbuka seorang Prabowo mengubah penampilan pasca kegagalan mencalonkan diri sebagai Cawapres bersama Megawati pada Pilpres 2009 yang lalu. Prabowo yang mewarisi kadar intelektual ayahandanya tidak ingin bersikap kaku menghadapi kritik-kritik keras yang menghantam dirinya. Barangkali cara yang ditempuh untuk membuktikan ia mencintai seluruh anak-anak negeri ini dengan cita-cita Gerakan Indonesia Rayanya (Gerindara), dan mengakomodasi siapapun anak-anak negeri ini termasuk mempromot Ahok. Yang terakhir ini, soal Ahok barangkali kembali bisa disalahpahami banyak pihak, khususnya umat Islam. Karena berpembawaan jujur, Prabowo sangat pantang berpura-pura.

Kedekatannya dengan kalangan Islam menjelang Pilpres Juli 2014 sekarang, seperti dirinci di muka, seperti kedekatan dengan para kyai niscaya bukan pura-pura, seperti ditampilkan peserta Pemilu, yang tiba-tiba menjadi akrab dengan pesantren, atau tiba-tiba mengenakan peci, dan berkalung sarung dan sorban. Kunjungan Prabowo ke kyai-kyai bukanlah hal baru. Tatkala ia menerima deraan tuduhan di sekitar lengsernya Presiden Soeharto, (1998), bahkan berakibat ia dicopot sebagai Letnan Jendral dan dinas TNI, ia menyingkir dan mendapat perlindungan dari para sahabatnya di dunia Islam. Prabowo mengungsi ke Jordania dalam perlindungan Pangeran Abdullah (kini Raja). Penulis berkesempatan menjenguk Prabowo di Amman Jordania dan mendapati Prabowo yang sangat dihormati para pemimpin Dunia Islam. Bersama ulama Indonesia KH. Cholil Ridwan (kini Ketua MUI), Prabowo direkomendasi Raja Jordania mengunjungi Qadafi di Libya, Pangeran Abdullah Raja Saudi Arabia di Istana Ryad. Karpet merah selalu dibentangkan menyambut kedatangan Prabowo di Negara-negara Islam itu. Bukti lain bersama-sama Ketua MPR Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif, Fadli Zon dan Muchdi PR, serta Ahmad Muzani, pada tahun 2000 kembali Prabowo mengunjungi Libya, Jordania, Irak, dan Iran di mana selalu dibentangkan karpet merah dan setiap kepala pemerintahan menyambut dengan hormat kedatangan Prabowo dkk dari Indonesia, negeri dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia.

Perhatiannya yang berlebih kepada Islam dipastikan karena sikap ksatrya sekaligus logika intelektual dan jiwa keadilannya karena memandang Islam memang pemilik negeri ini yang terbanyak dan sah. Ia pantas mendapat kue yang terbesar. Dalam perspektif itulah bisa dibaca pendiriannya berkaitan Islam menjelang dan menyongsong Pilpres 2014, di mana ia maju menjadi Capres bersaing dengan Joko Widodo. Bagi umat Islam jika ingin membaca jatidiri seorang Prabowo dari kacamata inilah bisa dibaca dengan jernih. Sebagai tambahan sikap persahabatan Prabowo terhadap kalangan Islam, baik dicatat tatkala ia hampir mengakhiri jabatannya sebagai Danjen Kopassus dan hendak diangkat sebagai Pangkostrad, Januari 1998, Prabowo mengundang tokoh-tokoh Islam dan ribuan santri untuk acara Buka Puasa Bersama di Markas Kopassus Cijantung Jakarta Timur. Di hadapan ribuan santri dan prajurit serta silih berganti berpidato Prabowo di mimbar, Prabowo menjanjikan untuk membersihkan para pengkhianat bangsa yang kini (saat itu 1998) mencengkeram NKRI sehingga terjeremus dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan. Deretan tokoh saling berpidato bergantian, mulai Ketua MUI. KH. Basri, Ketua Dewan Dakwah Dr. Anwar Haryono, Sekjen Dewan Dakwah Hussein Umar, Ketua Kisdi Ahmad Sumargono, Cholil Ridwan, KH. Abdul Rasyid, bahkan Rhoma Irama, Jimly Asshidiqie, Din Syamsuddin, Said Agil Munawar pun hadir di forum yang mengguncangkan para komprador itu. Hal ini untuk sekadar mengingat betapa Prabowo pernah sangat dekat bersama Islam. Karena prakarsa acaranya ini, Prabowo dituduh sektarian, anti minoritas. Dan kiranya untuk menetralisir tuduhan seperti inilah, belakangan Prabowo bersikap lebih luwes, dan teduh agar bisa dimengerti oleh semua kalangan yang beragam di negeri ini.

Prabowo bukanlah berlatar keluarga Islam yang puritan. Ia besar di lingkungan gaya hidup yang cenderung sekuler, dan banyak menghabiskan masa remaja di luar negeri. Walau demikian, ia tetaplah seorang Muslim, dan titel haji yang melekat pada dirinya karena ia memang melaksanakan haji beberapa kali umroh dengan penuh khusuk. Cholil Ridwan dalam sebuah acara Pengajian Politik Islam pernah menyanggah isu miring menjelang Pilpres yang menyebutkan Prabowo, bukan Islam, tidak pernah shalat. Kata Kyai Cholil ia pernah bersama-sama Prabowo dalam perjalanan di Timur Tengah dalam jangka dua minggu dan tidur di hotel yang sama dan ia selalu shalat jamaah Subuh bersama Prabowo. Prabowo shalat dan Islam. Entah karena keberpihakannya yang mendalam kepada Islam, tatkala banyak tokoh Islam memprakarsai berdirinya Partai Bulan Bintang, pada 1998, Prabowo bertindak mengulurkan bantuan finansial, sebagai dana awal untuk sosialisasi Partai Bulan Bintang yang baru berdiri pada 1998, ke seluruh Indonesia. Prabowo punya misi tertentu? Walllauhualam, catatan di atas dipastikan menjadi catatan faktual yang menyertai perjalanan seorang Prabowo Subianto alias Omar atau Kosong Delapan.

Minggu, 01 Juni 2014

Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?

Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis, namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam".

Lalu, Peter Beek menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS yang dioperasikan oleh anak didiknya di Kasebul, Sofjan Wanandi, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Hoemardani (baca kesaksian George Junus Aditjondro, murid Pater Beek).


Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam"

Tidak percaya gerakan anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem ada hubungan dengan kelompok anti Islam santri yang dihancurkan Prabowo?

Silakan perhatikan satu per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK, ada Ryamizard Ryacudu (menantu mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny untuk persiapan bila Presiden Soeharto mangkat).

Ada Agum Gumelar-Hendropriyono (dua malaikat pelindung/bodyguard Megawati yang disuruh Benny Moerdani); ada Andi Widjajanto (anak Theo Syafeii) ada Fahmi Idris (rumahnya adalah lokasi ketika ide Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 pertama kali dilontarkan Benny Moerdani); ada Luhut Panjaitan; ada Sutiyoso; ada Wiranto dan masih banyak lagi yang lain.

Lho, Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar sekali, bahkan Salim Said dan Jusuf Wanandi mencatat bahwa Wiranto menghadap Benny Moerdani beberapa saat setelah dilantik sebagai KSAD pada Juni 1997. Saat itu Benny memberi pesan sebagai berikut:




"Jadi, kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu."
(Salim Said, halaman 320)

Tentu saja Wiranto membantah dia memiliki hubungan dekat dengan Benny Moerdani namun kita memiliki cara membuktikan kebohongannya.


Pertama, dalam Memoirnya, Jusuf Wanandi menceritakan bahwa pasca jatuhnya Soeharto, Wiranto menerima dari Benny Moerdani daftar nama beberapa perwira yang dinilai sebagai "ABRI Hijau", dan dalam sebulan semua orang dalam daftar nama tersebut sudah disingkirkan Wiranto.

Ketika dikonfrontir mengenai hal ini Wiranto mengatakan cerita "daftar nama" adalah bohong.


Namun bila kita melihat catatan penting masa setelah Soeharto jatuh maka kita bisa melihat bahwa memang terjadi banyak perwira "hijau" di masa Wiranto yang waktu itu dimutasi dan hal ini sempat menuai protes.

Fakta bahwa Wiranto adalah satu-satunya orang Benny Moerdani yang masih tersisa di sekitar Soeharto menjawab sekali untuk selamanya mengapa Wiranto menjatuhkan semua kesalahan terkait Operasi Setan Gundul kepada Prabowo; mengatakan kepada BJ Habibie bahwa Prabowo mau melakukan kudeta sehingga Prabowo dicopot; dan menceritakan kepada mertua Prabowo, Soeharto bahwa Prabowo dan BJ Habibie bekerja sama menjatuhkan Soeharto, sehingga Prabowo diusir dan dipaksa bercerai dengan Titiek Soeharto. Hal ini sebab Wiranto adalah eksekutor dari rencana Benny Moerdani menjatuhkan karir dan menistakan Prabowo.

Membicarakan "kebejatan" Prabowo tentu tidak lengkap tanpa mengungkit Kerusuhan Mei 1998 yang ditudingkan pada dirinya padahal saat itu jelas-jelas Wiranto sebagai Panglima ABRI pergi ke Malang membawa semua kepala staf angkatan darat, laut dan udara serta menolak permintaan Prabowo untuk mengerahkan pasukan demi mengusir perusuh.

Berdasarkan temuan fakta di atas bahwa Benny Moerdani mau menjatuhkan Soeharto melalui kerusuhan rasial dan Wiranto adalah satu-satunya orang Benny di lingkar dalam Soeharto maka sangat patut diduga Wiranto memang sengaja melarang pasukan keluar dari barak menghalangi kerusuhan sampai marinir berinisiatif keluar kandang.

sumber:
http://m.voa-islam.com/news/opini/2014/05/25/30575/innalillahjenderal-jenderal-dalang-kerusuhan-mei-1998-mendukung-jokowi/

Sabtu, 31 Mei 2014

Sekelumit tentang Letnan Jendral (Purn) Prabowo Subianto

 
Pada Agustus 1983, Benny Murdani, yang telah menjadi Panglima ABRI enam bulan sebelumnya, dalam sebuah pengarahan umum di Dili ia menyatakan, bahwa Fretilin telah melanggar perjanjian antara Kolonel Purwanto yang mengomandani pasukan Indonesia di Timor Timur, dengan Xanana Gusmao, pimpinan pemberontak Timor Timur. Fretilin telah dengan sengaja menghianati perjanjian gencatan senjata selama 8 bulan dengan menyerang pasukan Indonesia.

Beberapa Peleton telah hilang. Mereka telah dihadang selama melakukan pembangunan jalan dan telah diserang oleh gerombolan pemberontak. Lusinan prajurit Indonesia telah ditawan dan dibakar hidup-hidup. Pangab waktu itu kelihatan sangat marah. Dia memberikan sebuah perintah eksplisit bahwa setiap orang Timor Timur, laki-laki, perempuan ataupun anak-anak, yang ditemukan berada jarak lebih dari 5 km dari desa nya dianggap musuh.

Beberapa saat kemudian, pada saat melakukan operasi, Prabowo bertemu dengan beberapa orang yang kelihatan sudah tua dan beberapa anak kecil pada jarak lebih dari 5 km dari Desa Caracas.

“ Kalian berada dalam bahaya, kalian dilarang untuk berpergian sejauh ini dari desa kalian. Silahkan pergi dan melapor ke Kodim “ kata Prabowo.

Ia kemudian memberi mereka bendera Merah Putih dan sepucuk surat pribadi kepada Komandan Kodim yang berada di Vieuqeque. Prabowo kemudian mengetahui beberapa hari setelah pertemuan itu, kelompok warga desa tadi tak diketahui lagi keberadaan nya.

Komandan Kodim, Mayor dari Secapa (Sekolah Calon Perwira), telah melawan kebijakan dan diancam untuk mengundurkan diri. Tetapi ia berada dalam paksaan untuk melakukan hukuman terhadap warga itu.

Prabowo dan mayor itu telah berusaha sekuat tenaga untuk melawan perintah itu dan banyak warga Timor yang terselamatkan tanpa sepengetahuan Komandan Tinggi Militer.

Menurut informasi yang didapatkan dari berbagai sumber, Prabowo tidak pernah memerintahkan seorang tawanan untuk disiksa atau sejenisnya. Tindakan ini akan sangat tidak menghargai sumpah prajurit dan jiwa patriot. Cukup jauh dari ini, sebuah informasi yang didapatkan dengan maksud penyiksaan sebagaimana dimaksud dalam pendapat Prabowo, sangat tidak realistis dan tidak berguna. Terlebih lagi menciptakan tindakan yang menimbulkan kebencian yang mendalam dari masyarakat Timor. Prabowo tetap mengharapkan untuk mendapatkan dukungan dari mereka untuk Indonesia.

Tak ada satupun bukti kekejaman yang dilakukan oleh Prabowo di Timtim. Ia menentang setiap penganiayaan terhadap tawanan. Kesatuan nya selalu diingatkan dengan Konvensi Jenewa.

“ Saya menentang penyiksaan. Filosofi kita, tentara rakyat. Kita harus menjaga supaya rakyat berada dipihak kami. Bagaimana ini terwujud kalau mereka dianiaya’’ ucap Prabowo.

Ia juga menginginkan Timtim diselesaikan secepatnya. Ia menolak pengekalan perang di Timor Timur.
 
 
Sebagai seorang perwira muda, Prabowo Subianto memandang Timtim dengan relatif jernih. Ia memperkirakan secara cermat integrasi Timtim. Misalnya, proses integrasi akan semakin kesulitan, setelah tokoh Fretilin, Jose Ramos Horta mendapatkan hadiah nobel. Karena itu, pada tahun 1990-an, ia mengusulkan agar Timtim diberikan status otonomi khusus. Ia memberikan solusi, untuk menyelesaikan Timtim secara damai. Tapi siapa yang mau mendengar suara perwira muda.

Perlahan-lahan setelah 4 kali perjalanan operasional dan beberapa misi singkat, Prabowo menjadi satu dari spesialis yang terbaik mengenai masalah Timor Timur. Baginya, kekalahan Indonesia bukanlah karena keterlambatan kedatangan pasukan Indonesia. Secara individual pasukan Indonesia cukup kuat, tetapi kebanyakan mereka sangat tergantung pada kemampuan pemimpin nya.

Prabowo merasakan dari awal, bahwa yang vital untuk diperhatikan dalam operasi Timor-Timur adalah perlunya menghormati hak-hak sipil dan kehormatan penduduk lokal - tingkah laku mereka, adat istiadat, dan lebih penting lagi agama yang mereka anut.

Pendapat Prabowo ini mengakibatkan teguran dari atasan nya. Dalam beberapa kesempatan, dia secara terbuka menentang operasi yang membahayakan hidup penduduk lokal, sejak kepercayaan nya mulai menguat bahwa perang ini tidak akan bisa dimenangkan, selama masyarakat diasingkan atau diacuhkan.

Dia teringat bahwa Napoleon telah kalah dalam Perang Spanyol, karena rakyat Spanyol berbalik melawan nya.

Sikap kritis terhadap para senior nya, membuat Prabowo sering diterpa isu. Dia menjadi tidak populer di kalangan perwira senior.
 
 
 
Berdasarkan fakta, dalam bertugas di Timor-timur, pasukan Prabowo Subianto selalu menghargai status tahanan perang dan tidak pernah berlindung dengan menyiksa sesama. Pasukan Prabowo pun banyak dibantu penduduk lokal, Adanya dukungan penduduk lokal ini, membuat pasukan dapat mengumpulkan informasi sebanyak-banyak nya. Pendekatan Kopassus adalah merekrut dan melatih milisi lokal dan memperlakukan penduduk lokal dengan manusiawi, inilah yang ditakuti oleh Fretilin.

Ini tidak bisa di lepaskan dari sikap Prabowo yang sering menggunakan pendekatan manusiawi dengan musuhnya.

Dikisahkan oleh Sugeng Rahardjo, ketika ia dengan pasukan nya, Batalyon 328, berhasil mendapatkan tawanan Fretilin. Ia mendapat perintah agar tawanan harus selamat sampai ke markas Prabowo di Babiliu komplek, padahal tawanan itu sudah tertembak kaki nya. Tapi perintah Prabowo sudah jelas:

" Selamatkan tawanan."

Perintah ini membuat pasukan Sugeng sengsara harus memikul tawanan dengan kayu yang diikatkan pada kain sarung selama 4 hari 4 malam. Mungkin karena terlalu berat dan capek, ada anggota pasukan Sugeng nyeletuk:

" Bunuh saja pak ".

Tetapi dari radio, Prabowo terus memonitor nasib tawanan nya, sehingga anak buahnya tidak bisa berbuat nakal.
 
 
 
Dalam suatu kesempatan, ketika Prabowo Subianto menjadi komandan di Timor-timur, ia telah menangkap beberapa tawanan Fretilin. Namun, mereka tidak merasa sakit hati, bahkan menunjukkan penyesalan telah memberikan dukungan atas hal yang salah. Prabowo berusaha untuk untuk mempengaruhi mereka untuk bergabung menjadi prajurit Indonesia. Banyak yang menerima dan membantu pasukan untuk mengangkat air, kayu bakar, mempersiapkan makanan atau membantu dengan cara lain.

Tidak ada yang ditahan tetapi dibiarkan pergi meninggalkan perkemahan. Setelah beberapa minggu, orang-orang yang ditangkap menjadi lebih bersahabat. Salah satu tahanan Fretilin telah menjadi pimpinan lokal.

Suatu hari, pimpinan Prabowo datang ke pos komando. Dia memerintahkan bahwa tahanan ini harus di eksekusi. Prabowo bagaimanapun berusaha menyembunyikan keterkejutan nya dan segera menjawab: " Siap Pak ".

Setelah pimpinan nya meninggalkan tempat, ia berkonsultasi dengan komandan peleton pertamanya, Tono Suratman, " apa yang harus dilakukan dengan amasalah ini?"

Mereka akhirnya memutuskan menyembunyikan tawanan ini dan mengatur cara menjaga penolakan nya terhadap perintah, untuk beberapa minggu.

Ketika saatnya tiba bagi pasukan kembali ke Jakarta, Prabowo merasa yakin bahwa pimpinan nya telah melupakan perintah yang diberikan sebelum nya. Ia membebaskan tawanan itu, yang memutuskan untuk kembali ke desa nya. Sang tawanan yang telah dibebaskan memerlukan waktu 7 hari untuk berjalan kembali ke desanya dan di perjalanan ia terlihat oleh warga desa lain nya.

Mereka melaporkan kejadian ini kepada Komandan Militer setempat. Orang tersebut kembali ditangkap dan di eksekusi.

Ketika Prabowo mengetahui hal ini, ia muak dan geram. Dia kemudian dituduh melawan perintah. Ini adalah pertama kali nya ia melakukan konfrontasi terbuka terhadap pimpinan nya, tapi itu bukan yang terakhir.

Kemudian, sebagai seorang Kapten, ia semakin sering berselisih paham dan semakin serius dengan hirarki militer.

Dia mendapat perintah membunuh semua tawanan. Bagi Prabowo, ini sangat tidak bisa diterima dan ia melakukan oposisi secara terang-terangan.

Protesnya telah terbukti menyelamatkan banyak nyawa tawanan.
 
 
 
 
Pada tanggal 18 Mei 1998, Prabowo Subianto bertemu dengan tokoh oposisi, Amien Rais. Amien figur yang paling getol, meminta Soeharto segera turun. Meski bersebrangan, mereka setiap bulan sekali mengadakan pertemuan. Amien Rais ditemani oleh Adi Sasono.

Mereka memberikan saran kepada Prabowo, sebaiknya Soeharto segera mengundurkan diri. Prabowo menjawab, apapun yang terjadi sebaiknya berlangsung secara konstitusional. Kalaupun terjadi transfer kekuasaan, sebaiknya dilakukan dengan damai.

Amien menyampaikan, bahwa ia akan mengadakan demonstrasi di Monas. Dalam pertemuan itu Prabowo mencoba membujuk Amien agar membatalkan demonstrasi. Pertemuan itu tidak membawa hasil yang memuaskan, justru malah Prabowo diminta oleh Amien Rais agar meyakinkan Soeharto mundur dari jabatan nya. Sesuatu yang tak mungkin ia lakukan. Amien Rais juga memberitahukan, bahwa ia akan tetap melakukan aksi besar-besaran pada tanggal 20 Mei di lapangan Monas.

Prabowo kembali ke rumahnya. dan secara kebetulan ia bertemu dengan Wiranto. Wiranto menyampaikan bahwa anak-anak Soeharto ingin melawan. Mereka tidak terima orang tua nya terus dipaksa mundur.

Kalau itu benar, berapa ribu korban akan mati. '' Apa bisa, " ujar Prabowo. Situasi bertambah panas, kemudian Prabowo datang ke Tutut, meminta nasihat apa yang harus dilakukan.

Mbak Tutut, memberikan saran agar Prabowo mengganti posisi Wiranto dan membuat dekrit darurat. Karena Tutut berfikir Wiranto kurang sekali melakukan aksi atau tindakan. Sebenarnya Pangab dapat menguasai keadaan, tapi tidak dilakukan, Soeharto tidak mau melakukan kedua hal itu. Lalu ia kembali lagi ke Tutut yang bertanya kepada Prabowo:

" Kalau seandainya bapak turun, apa yang akan terjadi" ujarnya.

Prabowo menjawab berdasarkan konstitusi maka, " Habibie yang akan naik " jelas Prabowo.

Aksi mahasiswa satu hari sebelum nya terus berlangsung di depan Gedung DPR/MPR. Aparat keamanan tidak melakukan tindakan apapun. Malah, KSAD, Jenderal Soebagyo HS memanggil Pangdam Jaya, Syafrie Sjamsoeddin dan Pangkostrad, Prabowo Subianto. Kedua nya diperintahkan agar berhati-hati menangani aksi mahasiswa. Jangan sampai terjadi kesalahan prosedur.
Jenderal Soebagyo HS berjanji akan memberikan tindakan tegas bagi para prajurit yang salah di lapangan.

Rencana Amien Rais mengadakan aksi sejuta umat di Monas terus berjalan. Mabes ABRI serius menanggapi aksi ini. Malam hari nya, Pangab Wiranto mengumpulkan seluruh perwira senior. Wiranto mengatakan bahwa demonstrasi bagaimanapun juga harus dicegah. Bagaimana cara mencegah nya, Wiranto tidak memberikan perintah secara jelas, pokok nya dicegah.

Prabowo berpartisipasi secara penuh menggagalkan aksi demo ini. Seluruh pasukan Kostrad di BKO -kan ke Pangdam sebagai Komandan Operasional. Jalan yang menuju ke arah Monas ditutup rapat. Bahkan jalan protokol, Sudirman-Thamrin ditutup, mulai dari depan Bundaran HI untuk mencegah masukknya massa ke arah Monas.

Amien Rais sendiri dibujuk supaya menggagalkan aksi demo ini. Melihat ketatnya penjagaan dan suasana yang sangat mencekam, maka Amien Rais memutuskan membatalkan aksi demonstrasi. Akhirnya semua pihak lega, demo yang dikhawatirkan tak terjadi.

Malam hari nya, Prabowo berkunjung ke Habibie. Ia memberitahu Habibie kemungkinan Soeharto akan turun. Percakapan diantara kedua nya berjalan singkat.

" Jika ada kemungkinan orangtua akan turun, apakah anda siap untuk ambil alih? " tanya Prabowo.

" Ya, saya siap." jawab Habibie yang terlihat sangat santai.

Lalu Prabowo berkata lagi, " Ya....anda harus siap." tegas Prabowo.
 
 
 
 
Prabowo Subianto kembali ke Cendana menjelang malam. Begitu sampai dirumah Soeharto, didalam ternyata masih ada Wiranto yang dikelilingi oleh putra-putri presiden. Nampak juga Soeharto bersama mereka. Prabowo masuk rumah dengan penuh percaya diri. Ia pikir akan mendapat pujian karena telah berhasil mencegah demonstrasi.

Namun apa yang kemudian terjadi, keluarga presiden memandang Prabowo dengan aneh. Mamiek, putri bungsu presiden berteriak keras, sambil menudingkan telunjuknya didepan hidung Prabowo:

" Pengkhianat....! Jangan injakkan kakimu lagi dirumah saya lagi. " teriak Mamik.

Teriakan Mamik membuat semua yang hadir dalam ruangan itu terdiam, situasi sangat menegangkan. Prabowo seperti disambar geledek, dengan cepat ia segera bergegas keluar. Ketika sedang berada di teras, ia melihat Wiranto meninggalkan ruangan.

Mbak Tutut berdiri di pintu. Prabowo mendekatinya.

" Mengapa saya dituduh pengkhianat ? " tanya Prabowo.

Tutut terdiam dan beberapa menit kemudian berkata: " Tidak, kamu tidak."

Tutut lalu melanjutkan lagi : " Tuhan akan menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah. " ujarnya.

Prabowo tak mengerti apa yang sedang difikirkan oleh Tutut, nampak nya opini keluarga mengatakan kalau dirinya pengkhianat.

Soeharto lalu masuk ruangan TV dan duduk di depan TV. Sigit, putera tertua dan Bambang berjalan dibelakangnya. Demikian pula Tutut dan Titiek duduk didekatnya. Prabowo lalu masuk dan menyalami mertua nya. Ia bertanya:

" Apa yang terjadi pak? ".

Soeharto menjawab:

" Saya memutuskan mengundurkan diri. Fraksi ABRI dan Golkar di MPR pendukung terkuat saya, meminta saya mengundurkan diri. Tanpa backing mereka, saya tidak punya hak konstitusional untuk melanjutkan tugas, sehingga saya bermaksud mengundurkan diri besok. " jelas Soeharto.

Prabowo bertanya lagi kepada Soeharto:

" Apakah hal ini berarti Habibie akan menjadi Presiden ?''

Soeharto tidak menjawab. Dan kembali Prabowo bertanya:

" Apa perintah anda, pak ? "

Pak Harto menjawab: " Kamu harus melanjutkan apapun perintah atasan mu." ujar nya.

" Baiklah pak. " kata Prabowo.

Titiek, istri Prabowo menangis tersedu-sedu. Prabowo memberikan salam dan pamit meninggalkan ruangan.

Prabowo sering mengingat kejadian malam itu dengan getir. Ia dengar dari salah satu anak presiden, pada malam menjelang Soeharto turun, Wiranto datang ditengah-tengah keluarga dan mengambil selembar kertas ketikan dari sakunya. Dan kemudian ia membaca pernyataan dimana ia akan berjanji untuk mengumumkan ini kepada publik.

Jadi sebelum kedatangan ke Cendana, ia sudah menyiapkan sebuah pernyataan. Rupanya pengunduran diri Soeharto sedang dipersiapkan.
 
 
 
Soeharto malam itu mengadakan pertemuan dengan beberapa orang untuk mengundurkan diri. Suasana masih mencekam. Prabowo Subianto tak habis fikir , kenapa ia diperlakukan seperti itu. Semalaman ia memikirkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada siang hari nya. Ia fikir kejadian ini biasa saja, meski ia merasa terhina. Prabowo tidak mau berpikiran lebih lanjut. Pagi hari nya ia mendengar persiapan upacara pengunduran diri presiden, yang akan dilakukan di Istana Negara.

Maka Prabowo bergegas ke istana, ia tetap memberikan dukungan moril kepada Presiden Soeharto. Ia ikut mendampingi presiden kembali ke kediamannya di Jalan Cendana. Namun ia tidak bisa lama-lama mendampingi Soeharto. Situasinya masih belum enak. Hubungan ia dengan putra-putri Presiden terlanjur memburuk.

Istrinya Titiek menyampaikan laporan bahwa ada laporan-laporan yang menyebutkan ia menjalin hubungan dengan kalangan lain. Seperti bertemu di rumah Habibie tiap malam. Lalu bertemu dengan berbagai tokoh seperti Amien Rais, Gus Dur dan Adnan Buyung Nasution.

Laporan-laporan inilah yang membuat Prabowo dianggap bersekongkol dalam menjatuhkan Presiden Soeharto.
 
 
 
Pada tanggal 22 Mei 1998, terjadilah suatu peristiwa yang tak disangka oleh Prabowo Subianto. Markas Besar Angkatan Darat meminta bendera Kostrad. Itu artinya ia segera akan diganti. Arah angin berubah dengan sangat cepat. Prabowo ingat bahwa Habibie pernah bilang kepada nya, jika terjadi keraguan datang saja kepada diri nya, dan tak usah berfikir aturan protokoler. Maka ia segera pergi kerumah Habibie. Dengan diiringi 3 Land Rover yang terdiri dari pasa staf dan pengawal.

Begitu sampai di kediaman Habibie, ia disambut pengawal Habibie. Keadaan menjadi sangat menegangkan, lantaran para pengawal memandang dengan aneh pada Prabowo. Kepada ajudan Habibie, Prabowo menyampaikan bahwa ingin bertemu dengan Habibie.

" Saya hanya perlu 10 menit. saya ingin mengajukan pertanyaan, dan ini sangat penting buat saya." ujarnya.

Sebelum sampai ke ruangan Habibie, Prabowo melepaskan senjatanya. Ini sebuah kelaziman bila menjumpai pangkat yang lebih tinggi. " Jadi bukan dilucuti " jelasnya.

Lalu Prabowo masuk ke ruangan Habibie. Sebagaimana biasa, Habibie lalu mencium kedua pipi Prabowo. Dan Prabowo bertanya kepada Habibie.

" Pak,, apakah Bapak sudah tahu kalau saya mau diganti hari ini. " tanya Prabowo.

" Ya...ya.." kata Habibie.

" Mertua mu minta saya menggantimu. Kalau mau berhenti dari Angkatan Darat, maka saya akan mengangkatmu menjadi Duta Besar Amerika Serikat." jelas Habibie.

Prabowo terdiam mendengar jawaban Habibie. Ia tak habis fikir dengan pernyataan Habibie, ia sangat yakin Habibie masih suka kepada nya. Namun tak bisa berbuat lain.

Prabowo lalu bergegas menuju ke kantor KSAD menjumpai Jenderal Subagyo. Ketika sampai ditempat Subagyo, Prabowo berpapasan dengan beberapa Jenderal pendukungnya. Mereka berteriak begitu bertemu Prabowo.

" Ayo bikin konfrontasi, " teriak mereka.

" Tenang " ujar Prabowo. Ia tidak mau menyusahkan teman-teman nya, hanya untuk membela pangkat dan jabatan nya.

Lalu bersama Muchdi, Prabowo menjumpai Subagyo.

" Saya rela diganti, tapi mohon waktu, agar pergantian ini kelihatan normal. " ujar Prabowo.

Begitulah, hanya selang satu hari setelah Soeharto lengser, Pangkostrad, LetJend Prabowo Subianto dicopot. Pengganti nya MayJen Johny Lumintang, yang saat itu menjabat Assisten Operasi Kasum ABRI.

Prabowo diberi tugas baru menjadi Komandan Sesko ABRI (Dansesko), di Bandung. Dari komando tempur, Prabowo ditugaskan sebagai komandan di bidang pendidikan di lingkungan kemiliteran. Jabatan ini memutus mata rantai komando yang selama ini dipegang oleh Prabowo.

Rupanya jabatan Dansesko ini jabatan terakhir yang dipegang Prabowo dilingkungan kemiliteran.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 .
 
Saya Dikhianati Habibie

Fakta sebenarnya.com - Wawancara dari Bangkok, Thailand, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto bicara soal penculikan aktivis, dugaan keterlibatannya dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998, serta hubungannya dengan Soeharto, Habibie, dan Wiranto.

Dari siaran berita di radio, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto
mendengar berita rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bentukan Mabes ABRI. Ia diberhentikan dari karier militernya. Hari itu, Selasa, 25 Agustus 1998. “Saya tidak kaget,” kata Prabowo. Sebelum DKP mulai bekerja, mantan pangkostrad ini sudah tahu hasilnya. Ia harus menepi. Adalah mertuanya sendiri, mantan presiden Soeharto, yang mengisyaratkan agar ia keluar saja dari militer. “Itu lebih baik bagi ABRI,” kata Pak Harto, sekitar dua bulan sebelum keputusan itu. Sejak lengser dari posisi presiden, 21 Mei 1998, hubungan antara Prabowo dan mertuanya merenggang. Dia dianggap berkoalisi dengan Habibie untuk menekan Soeharto agar lengser, menilik situasi yang makin panas di masyarakat.

Keyakinan Prabowo makin kuat saat bertemu dengan mantan pangab Jenderal TNI (Purn.) L.B. Moerdani, pada satu acara, tak lama sebelum DKP mengakhiri pemeriksaannya. Di situ, Benny memberi sinyal yang sama. Karier Prabowo di militer sudah tamat. “Jadi, keputusan untuk menyingkirkan saya sudah jatuh sebelum DKP dibentuk,” tutur mantan danjen Kopassus ini. DKP dibentuk untuk mengusut dugaan keterlibatan sejumlah perwira tinggi ABRI dalam kasus penculikan sembilan aktivis.
Sanksi diberhentikan dari karier militer, bahasa halus untuk dipecat, cuma milik Prabowo. Mantan danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi P.R., penerus posisi Prabowo yang diangkat jadi pangkostrad, pada 20 Maret 1998, cuma dicopot dari jabatannya. Status militer tetap. Begitu juga Kolonel Chairawan, mantan komandan grup IV Kopassus.

Prabowo pasrah. “Ini risiko jabatan sebagai komandan,” katanya. Penangkapan aktivis terjadi kala ia masih menjabat danjen Kopassus. Dalam pemeriksaan terbukti, Tim Mawar yang beranggotakan 11 prajurit Kopassus pimpinan Sersan Mayor Bambang Kristiono mengaku “mengamankan”
sembilan aktivis itu, untuk melempangkan jalan bagi SU MPR 1998. Yang dia sesalkan, keputusan DKP justru tak pernah diterimanya langsung. Keesokan harinya, Prabowo menghadap ke Mabes ABRI, menanyakan ihwal keputusan itu. Dia bertemu Kasum ABRI Letjen TNI Fahroel Rozi, salah seorang anggota DKP, yang lantas menganjurkan Prabowo bertemu Panglima
ABRI Jenderal TNI Wiranto.

Kesempatan diberikan keesokan hari, Kamis, 27 Agustus 1998. Pertemuan itu cuma berlangsung 10 menit. Mengenang pertemuan tersebut, Prabowo mencatat reaksi Wiranto membingungkan. Panglima ABRI ini bersikap
seolah-olah tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Prabowo. “Kamu kan tahu kondisinya,” begitu ucapan Wiranto kepada Prabowo. Prabowo pun tak mau berbasa-basi. “I don’t like it,” katanya. Seraya menatap mata Wiranto, Prabowo minta maaf atas kesalahan yang dibuatnya selaku prajurit ABRI. Prabowo juga pamit untuk ke luar negeri, melaksanakan umrah dan berobat. “Saya sering mengalami kecelakaan dalam bertugas. Karena itu, saya akan menggunakan kesempatan ke luar negeri untuk berobat di Jerman,” kata Bowo, panggilan akrabnya. Dia juga minta tolong agar surat pensiunnya dari ABRI segera dikeluarkan agar dirinya bisa membantu adiknya, Hashim Djojohadikusumo berbisnis di Timur Tengah. “Saya kan perlu mencari nafkah,” ujar Bowo. Surat pensiun itu akhirnya diteken pada 20 November 1998, sementara TGPF menyampaikan laporannya pada 3 November 1998 Itulah pertemuan terakhir dengan Wiranto. Setelah itu, sambil mengantar anak dan istrinya, yang hendak ke AS, Prabowo berpamitan ke Pak Harto di Cendana.

Kini, setahun lebih berlalu. Langkah Prabowo jadi pebisnis makin
mantap. Penampilannya tampak lebih santai dan terbuka. Prabowo yang kini memakai kacamata baca itu kelihatan lebih gemuk. “Pakai kacamata biar tampak lebih intelek,” kata Bowo sambil terbahak. Perjalanan bisnisnya membuat ia sering mampir ke negara tetangga, bertemu relasi setempat, pun kawan-kawan dari Indonesia.

Kamis (14 Oktober) lalu, ia mampir sehari ke Bangkok dalam
perjalanannya ke Boston, AS, untuk acara keluarga. Di Bangkok, Prabowo sempat berbincang-bincang dengan empat wartawan dari Indonesia, termasuk dari Panji. Penulis berkesempatan ngobrol blak-blakan dengan Prabowo Rabu malam, dilanjutkan Kamis pagi hingga malam harinya. Ia didampingi Fadli Zon. Sejumlah pertanyaan Panji dijawabnya dengan terbuka meski pada beberapa poin ia minta nirwarta (off the record). “Saya tak ingin menimbulkan perpecahan dan perasaan tidak enak pada siapa pun,” kata Bowo.

Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?

Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali. Mungkin tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu kan khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis. Saya pribadi tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan teknis di lapangan. Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998. Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.

Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?

Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah terjadi ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal yang memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.

Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus `diamankan’ dalam konteks SU MPR?

Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.

Dari siapa Anda terima daftar itu?

Saya tidak bisa katakan. Semua sudah saya katakan di DKP. Kita ini kan harus menjaga kehormatan institusi ABRI. Keterangan saya di DKP ada rekamannya.

Benarkah daftar itu Anda terima langsung dari RI 1, yakni presiden saat itu, Soeharto?

Saya sulit menjawab. Kepada Pak Harto saya sangat hormat. Beliau panglima saya. Kepala negara saya. Bahkan, lebih jauh lagi, beliau mertua saya, kakek dari anak saya. Bayangkan sulitnya posisi saya. Tapi semua itu sudah saya sampaikan ke DKP.

Anda tidak tanya pada Pak Harto daftar itu didapat dari mana?

Tentu saya tanya.

Pak Harto ngomong apa pada Anda waktu memberikan daftar itu?

Ha…ha…ha…. Pertanyaan bagus, tetapi sulit dijawab.

Kapan Anda terima daftar itu dari Pak Harto?

Beberapa hari setelah ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi.

Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?

Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah
didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang ada di situ. Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi. Yang tiga, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan. Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka. Semua mencari mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat brifing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari ditanya. Sudah dapat belum si ini… begitu. Kejar-kejaran semua. Itu pun, maaf ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh, kalian saya perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala. Mereka ini namanya mau mencari prestasi. Tapi saya puji waktu mereka dapat. Mereka kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak itu. Soalnya Andi Arief kan dikejar-kejar.

Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto? Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan pangab saat itu, Jenderal Feisal Tanjung menerima daftar serupa?

Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar itu memang sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum. Tapi, sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit. Apalagi saya tak mau memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni ABRI, khususnya TNI.

Bukankah hubungan Anda dan Pak Harto belakangan retak?

Itu benar dan sangat saya sesalkan. Mungkin ada yang memberikan masukan kepada Pak Harto, seolah-olah saya sudah tidak loyal kepada beliau. Saya dikatakan sudah main mata dengan Pak Habibie dan karena itu menyarakan agar Pak Harto lengser pada pertengahan Mei. Mungkin itu yang membuat Pak Harto marah kepada saya. Ironis, bukan? Oleh masyarakat saya dianggap sebagai status quo karena menjadi bagian dari
Pak Harto. Saya tidak menyesal. Memang saya menikah dengan putrinya. Tapi Pak Harto sendiri, dan keluarganya, justru marah kepada saya.

Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?

Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur, setelah terjadi peristiwa
Trisakti, saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing.
Tampaknya Pak Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik saat itu menghendaki demikian. Saya juga kemukakan ini sehari setelah Pak Harto kembali dari Kairo (15 Mei 1998, Red.). Aaplagi Pak Harto di Kairo memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser. Mungkin ada yang tidak suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan terus terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ masalahnya.

Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan aktivis?

Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak adil.
Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya. Mereka merakit 40 bom. Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat. Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi. Bom yang meledak di rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang orang bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada spesialisasinya. Saya tidak bisa bikin bom. Jadi kita ini mencegah peledakan bom di tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal. Kita harusnya dapat ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi masyarakat yang terancam peledakan itu. Soal tiga orang, memang kesalahan. Saya minta maaf pada Haryanto Taslam dan yang lain. Tapi dia juga akhirnya terima kasih. Untung yang menangkap saya. Kan hidup semua. Saya mau bertemu mereka.

Anda pernah berpikir tidak bahwa dokumen atau daftar yang berasal dari rusun Tanah Tinggi itu buatan pihak yang berniat jahat?

Belakangan saya berpikir juga. Jangan-jangan dokumen itu bikinan.
Dalam dokumen itu, seolah-olah ada rapat di rumah Megawati. Saya nggak bisa dan tidak mau menyalahkan anak buah. Saya katakan kepada mereka, you di pengadilan mau ngomong apa aja deh, saya akan ikuti. Saya diadili juga siap. Saya bilang, Haryanto Taslam saya perintahkan nggak untuk ditangkap? Tidak ada. Tapi saya ambil alih tanggung jawab. Di DKP pun saya katakan bahwa anak-anak itu tidak bersalah. Mereka adalah perwira-perwira yang terbaik. Saya tahu persis karena saya komandan mereka. Cek saja rekamannya di DKP. Tapi bahwa mungkin mereka salah menafsirkan, terlalu antusias, sehingga menjabarkan
perintah saya begitu, ya bisa saja. Atau ada titipan perintah dari
yang lain, saya tidak tahu. Intinya, saya mengaku bertanggung jawab.

Apa memang ada pihak yang ikut nimbrung saat itu memberikan perintah?

Bisa saja. Saya tidak tahu. Tapi tetap apa yang sudah terjadi adalah tanggung jawab saya. Tetap itu anak buah saya. Saya kan mesti percaya sama anak buah. Makanya saya nggak apa-apa diberhentikan. Saya nggak heran. Ini risiko saya. Iya kan?

Tapi kalau kemudian saya sudah berhenti, masih diisukan ini, itu,
dibuat begini, begitu. Ah…, saya merasa dikecewakan oleh Pak
Wiranto. Saya merasa harusnya dia tahu situasinya saat itu
bagaimana. Dia tahu kok ada perintah penyelidikan itu. Begitu dia
jadi pangab, saya juga laporkan, sedang ada operasi intelijen, sandi yudha, begini, begitu. Kepada beberapa menteri Pak Harto ngomong bahwa itu operasi intelijen. Tapi begitu Pak Harto tidak berkuasa, situasinya dimanfaatkan oleh perwira yang ingin menyingkirkan saya.

Apa betul AS berkepentingan agar Anda dipecat?

Tidak tahu. Tapi Cohen (Menhan AS William Cohen, Red.) kan ketemu saya juga.

Perintahnya menyelidiki kok bisa kepeleset menculik. Bagaimana itu?

Ya. Tapi dalam operasi intelijen itu kan biasanya kita ambil,
ditanyai, dan kalau bisa terus dia berkerja untuk kita. Kan begitu
prosedurnya. Sudahlah, itu kesalahan teknis, yang kemudian
dipolitisasi. Dan memang waktu itu saya harus dihabisi. Dulu Jenderal Soemitro dituduh terlibat Malari, mau menyaingi Pak Harto. Pak H.R. Dharsono dituduh terlibat kasus Tanjung Priok. Itu politik. Yang kemudian naik orang yang nggak bisa apa-apa, nggak pernah bikin inisiatif dan karenanya tidak pernah bikin salah. Lihat Prancis, itu kan negara yang menjunjung tinggi hak sasai manusia. Tapi, dia ledakkan kapal Greenpeace yang mau masuk ke perairan nasionalnya. Kalau sudah kepentingan nasional dia ledakkan itu.

Anda kan lama di luar negeri, besar di negara yang liberal, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kok Anda tetap mentolerir gaya penangkapan atau penculikan itu? Bukankah itu menjadi sorotan dunia internasional terhadap penegakan HAM di Indonesia?

Benar. Begini, secara moral, saya tidak salah karena orang-orang itu berniat berbuat kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Menurut saya membuat aksi pengeboman, membakar terminal, untuk mengorbankan orang-orang tidak berdosa. Mereka justru membahayakan hak asasi manusia orang lain. Tidak bisa dong. Kalau you berbeda dalam politik, you bertempur lewat partai politik. Jangan bikin aksi teror.

Informasi soal rencana pengeboman itu didapat dari interogasi, bukan kita ngarang. Dapat keterangan dari mereka. Anda dengar ancaman bom tiap minggu. Seluruh bank tutup, BI tutup. Korban kepada bangsa bagaimana. Itu aksi destabilisasi. Jadi, jangan salah, untuk menegakkan demokrasi, kita justru harus menjaga keamanan. Tidak bisa demokrasi tanpa keamanan. Itu duty kita, panggilan kita. Tapi, lawan-lawan saya lebih kuat. Punya media massa, punya kemampuan untuk perang psikologi massa.

Kok Anda dulu tidak segera membantah kalau memang merasa tidak bersalah?

Hashim memang menyuruh saya. Kamu harus jawab dong. Saya malas juga. Saya kan tidak berbuat. Saya percaya kebenaran akan muncul. Hashim bilang, “Tidak bisa dong kalau kamu diam berarti kamu mengakui itu benar.” Memang ada teori itu. Teori pengulangan kebohongan. Kalau diulang-ulang terus, orang jadi percaya. Itu teori yang digunakan Hitler kepada rakyat Jerman.

Anda tidak mau nuntut soal pemecatan itu karena tidak ingin
mempermalukan Pak Harto?

Benar, terutama itu. Juga tak ingin mencemari institusi ABRI,
khususnya TNI AD. Bagaimanapun juga Pak Harto jenderal bintang lima. Ini kan tidak baik dalam iklim dan budaya bangsa Indonesia. Apa pun yang terjadi. Ada masalah dilematis, bagaimanapun dia kakek dari anak saya. Itu yang dilematis. Walaupun dia kemudian membenci saya.

Sebelumnya, Prabowo merasa diperlakukan tidak adil kala dipaksa
menyerahkan jabatan sebagai pangkostrad pada 22 Mei 1998. “Saya tak sempat membuat memorandum serah terima jabatan. Istri saya, ketua Persit pun, tak sempat serah terima. Setahu saya, dalam sejarah ABRI, belum pernah ada perwira tinggi dipermalukan oleh institusinya, seperti yang saya alami,” kata Bowo. Dia memang digeser saat situasi politik gojang-ganjing dan Soeharto baru lengser pada 21 Mei 1998. Dugaan yang beredar saat itu, Bowo diganti karena dianggap hendak melancarkan kudeta kepada Habibie. Malam itu, sesudah pergantian presiden pagi harinya, situasi Jakarta memang genting. Sejumlah pasukan berseragam loreng tampak di seputar wilayah Istana Negara, Monas, Jakarta.

Dugaan terjadi pengepungan Istana sempat dibantah habis-habisan oleh Mabes ABRI. Padahal, sejumlah media massa memberitakannya. Kemudian, pada 22 Februari 1999, di depan sejumlah eksekutif pers dalam forum Asia-German Editors, di Istana Merdeka, Presiden Habibie bercerita soal pengepungan itu. Habibie mengaku keluarganya terancam malam itu, dan nyaris diungsikan. “Tidak usah ditutup-tutupi, kita tahulah yang
memimpin konsentrasi pasukan itu, orangnya Prabowo Subianto,” kata Habibie berapi-api. Dia mengaku diberi tahu Wiranto. Pers geger. Prabowo saat itu sudah di luar negeri. Lewat kawan dekatnya, ia membantah.

Dan, dua hari kemudian, dalam sidang di Komisi I DPR RI, Jenderal
Wiranto membantah ucapan Habibie. Menurutnya, itu bukan konsentrasi pasukan, melainkan konsolidasi. Tak ada yang berniat kudeta saat itu. Anehnya, Habibie tak bereaksi atas bantahan Wiranto itu. Sehingga publik makin bingung, mana yang benar, ucapan Habibie atau Wiranto. Benarkah Habibie dapat masukan dari Wiranto? Sebab dalam satu pertemuannya dengan tokoh Dewan Dakwah Islamiyah, 30 Juni 1998, Habibie mengaku diberi tahu soal konsentrasi pasukan itu oleh Letjen TNI Sintong Panjaitan, orang dekat Habibie yang kini menjabat
sesdalopbang.

Setelah berkelana di luar negeri, ketenangan Prabowo terusik oleh
ucapan Habibie itu, yang dikutip oleh pers luar negeri pula. Tapi,
bantahan Wiranto cukup menenangkannya. “Pak Wiranto harus membantah karena memang apa yang diucapkan Habibie tidak benar,” kata Bowo. Menurutnya, semua panglima saat itu menerima perintah dari Mabes ABRI. Saat situasi genting, ada pembagian tugas, bahwa Kopassus dipasrahi mengawal presiden dan wakil presiden, sedangkan Kostrad diminta menjaga objek vital dan strategis. Kata Prabowo, untuk melaksanakan perintah Mabes ABRI itulah sejumlah pasukan berada di sekitar kawasan Istana dan Monas. “Pak Wiranto tahu persis bahwa perintah itu ada. Saksinya banyak, para panglima komando,” kata Bowo

Dalam pemeriksaan di TGPF, ada kesan kegiatan Anda pada 13 Mei 1998 tidak diketahui. Muncul kecurigaan, Anda sedang apa saat itu? Apa sih yang Anda lakukan hari itu?

Saya mulai dari 12 Mei 1998. Malam itu, pukul 20.00 wib, ketika di
rumah Jl. Cendana No. 7, saya ditelepon Sjafrie (pangdam Jaya saat itu, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin). Kata dia, “Gawat nih Wo, ada mahasiswa yang tewas tertembak.” Saya lalu bergegas ke Makostrad. Saya sudah antisipasi, besok pasti ramai. Maka pasukan saya konsolidasi. Kalau perlu tambahan pasukan kan mesti disiapkan tempatnya. Mau ditaruh di mana mereka. Malam itu saya terus memantau situasi. Lalu, terpikir oleh saya, kelanjutan rencana acara Kostrad di Malang pada 14 Mei 1998. Rencananya inspektur upacara adalah Pangab Wiranto.
Pangkostrad juga harus hadir. Kalau ibu kota genting, apa kita masih pergi juga?

Keesokan harinya, sejak pukul 08.00 wib, saya mengontak Kol. Nur Muis dan menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran pangab dibatalkan saja karena situasi ibu kota genting. Biar saya saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana. Irup tetap Pak Wiranto dan saya selaku pangkostrad tetap hadir. Beberapa opsi usulan saya tawarkan kepada Pak Wiranto, yang intinya agar tidak meninggalkan ibu kota, karena keadaan sedang gawat. Posisi terpenting yang harus diamankan adalah ibu kota. Tapi, sampai sekitar delapan kali saya telepon, keputusan tetap sama. Itu terjadi sampai malam hari.

Jadi, pada 14 Mei, pukul 06.00 wib kita sudah berada di lapangan Halim Perdanakusumah. Saya kaget juga. Panglima utama ada di sana. Danjen Kopassus segala ikut. Saya membatin, sedang genting begini kok seluruh panglima, termasuk panglima ABRI malah pergi ke Malang. Padahal, komandan batalion sekalipun sudah diminta membuat perkiraan cepat, perkiraan operasi, begini, lantas bagaimana setelahnya. Tapi, ya sudah, saya patuh saja pada perintah. Saya ikut ke Malang.

Kembali ke Jakarta sekitar pukul 11.00 wib. Ketika hendak mendarat di Halim, ibu kota terlihat diselimuti asap hitam. Selanjutnya, seperti telah ditulis di berbagai media massa, saya membantu mengingatkan Sjafrie perlunya mengamankan ibu kota lewat patroli dengan panser di sepanjang Jl. Thamrin. Malam harinya, saya bertemu dengan sejumlah
orang di Makostrad. Itu yang kemudian dituduh mau merencanakan kerusuhan. Padahal, di tengah jalan sore itu saya ditelepon, karena Setiawan Djodi dan Bang Buyung Nasution ingin bertemu. Ternyata sudah ada beberapa orang di kantor saya, ada Fahmi Idris, Bambang Widjojanto, dan beberapa orang lain. Itu pertemuan terbuka, membicarakan situasi yang terakhir. Bang Buyung dominan sekali malam itu. Dia banyak bicara. Acara ditutup makan malam dan kemudian kami ada rapat staf di Mabes.

Kalau kemudian surat Muladi mengatakan saya bersalah karena gagal menjaga keselamatan negara sehingga menimbulkan kerusuhan 13-14 Mei, bagaimana ceritanya.

Pangkoops, selaku penanggung jawab keamanan ibu kota adalah Pangdam Sjafrie?

Mestinya iya. Penanggung jawab yang lebih tinggi ya panglima ABRI.

Dalam pemeriksaan di TGPF, mantan Ka BIA Zacky Makarim, konon
mengatakan bahwa sebulan sebelum peristiwa Trisakti, ada perkiraan situasi intelijen versi Anda, yang mengatakan, eskalasi meningkat dan dikhawatirkan akan ada martir di kalangan mahasiswa. Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan itu?

Situasinya memang demikian. Aksi mahasiswa kan bukan cuma di Jakarta, melainkan meluas ke daerah. Di Yogyakarta, aksi mahasiswa malah sempat bentrok. Berdasarkan analisis situasi, saya mengingatkan kemungkinan adanya eskalasi yang memanas dan kalau aksi mahasiswa meluas, bukan tidak mungkin jatuh korban atau ada pihak-pihak yang ingin ada korban di pihak mahasiswa. Itu saya ingatkan.

Tapi, justru Anda dituduh bertanggung jawab atas penembakan mahasiswa Trisakti?

Iyalah. Saya ini selalu dituduh. Apa untungnya bagi saya membuat
jatuh korban? Saat itu kan presidennya Pak Harto. Mertua saya. Saya bagian dari status quo itu. Kan begitu tuduhannya. Masak saya membuat situasi agar Pak Harto jatuh. Pak Harto jatuh kan saya jatuh juga. Sejarah kan begitu kejadiannya.

Mungkin Anda ingin menunjukkan bahwa Wiranto tidak kapabel mengamankan
Jakarta?

Tidak ada alasan juga. Motifnya tidak ada.

Bukankah Anda pernah disebut-sebut minta jabatan pangab dan katanya dijanjikan Habibie untuk jadi pangab?

Lebih dari tiga kali Habibie mengatakan kepada saya. “Bowo, kalau
saya jadi presiden, you pangab.” Itu faktanya. Habibie bahkan
mengatakan saya ini sudah dianggap anak ketiganya. Saya memang dekat dengan Habibie, karena saya mengagumi kepandaiannya, visinya. Meskipun sekarang saya kecewa karena dia menuduh saya berbuat sesuatu yang bohong. Saya merasa dikhianati. Bahwa saya ingin jadi pangab, apakah itu salah. Setiap prajurit, tentara, tentu bercita-cita menjadi pangab. Why not? Saya tidak pernah menyembunyikan itu. Bahwa kemudian dipolitisasi, seolah-olah pada saat genting, saat pergantian kepemimpinan 21 Mei 1998 itu, saya minta jadi pangab, silakan saja. Tapi, saya tak pernah minta jadi pangab kepada Habibie.

Benar tidak Anda pernah didesak jadi pangab sekitar 19-20 Mei itu?

Ada yang mendesak. Bahkan ada yang mengusulkan agar saya mengambil alih situasi. Saya tolak. Saya orang yang konstitusional. Wapres masih ada dan sehat. Menhankam/Pangab masih ada. Tidak ada alasan untuk mengambil alih. Kalau saya melakukan kudeta, setelah itu mau apa? Inkonstitusional, tidak demokratis, dan lebih berat lagi, secara psikologis saya ini kan terkait dengan keluarga Pak Harto. Kalau Pak Harto sudah menyerahkan ke Habibie, masak saya mau kudeta? Di luar itu semua, yang terpenting, saya berasal dari keturunan keluarga pejuang. Anda tahu paman saya gugur sebagai pahlawan muda. Kakek saya pejuang. Moyang saya, selalu berjuang melawan penjajah kolonial Belanda.
Bagaimana mungkin saya menodai garis keturunan yang begitu saya banggakan, dengan berpikir mengambil alih kekuasaan secara
inkonstitusional.

Ketika Habibie mengatakan Anda datang menemui Habibie pada 22 Mei 1998, benarkah Anda membawa senjata dan pasukan sehingga Habibie merasa terancam?

Senjata saya tanggalkan di depan pintu. Jangankan menghadap presiden, wong menghadap komandan kompi saja senjata harus dicopot. Bohong besar berita yang mengatakan saya hendak mengancam Habibie.

Jujur saja, kalau memang saya ingin, bisa saja. Jangan meremehkan pasukan Kopassus, tempat saya dibesarkan. Ingat, Pak Sarwo Edhi (almarhum) hanya butuh dua kompi untuk mengatasi situasi saat G-30-S/PKI. Dan anak buah saya memang ada yang sakit hati saya diberhentikan seperti itu. Pataka komando hendak diambil begitu saja tanpa sepengetahuan saya. Saya datang ke Habibie karena sebelumnya dia selalu berkata. “Bowo, kalau ada keragu-raguan, jangan segan-segan menemui saya.” Itulah yang saya lakukan. Menemui Habibie untuk bertanya apakah betul dia ingin mengganti saya dari jabatan pangkostrad. Habibie bilang turuti saja perintah atasan. Ini kemauan ayah mertua kamu juga. Jadi, Pak Harto memang minta saya diganti.

Soal anggapan bahwa para jenderal ingin menyingkirkan Anda, apakah ini disebabkan oleh sikap Anda sebelumnya yang disebut arogan, karena dekat dengan pusat kekuasaan?

Saya akui, itu ciri khas. Dan itu jadi senjata buat yang ingin
menjatuhkan. Tapi kita lihat kepemimpinan itu dari output. Bisa
tidak meraih prestasi kalau prajuritnya tak semangat. Semangat itu
tidak bisa dibeli dengan uang. Kadang-kadang mereka mau mati karena bendera. Kain itu harganya berapa? Tentara Romawi mati-matian demi bendera. Itu kan kebanggaan. Bagaimana? Saya ciptakan teriakan, berapa harganya? Saya dapatkan dari gaya suku dayak. Teriakan panjang itu bisa membangkitkan semangat, mengurangi ketakutan, dan menakutkan musuh. Pakai duit berapa? Tapi hal-hal ini tidak populer di mata the salon officer. Apa nih Prabowo pakai nyanyi-nyanyi segala. Pakai bendera, pakai teriakan. Kenapa orang fanatik membela sepakbola, sampai membakar, ini psikologi massa. Masa kita mau mati karena uang? Buat apa uangnya kalau kita harus mati.

Sebagai menantu presiden saat itu, tentu Anda lebih mudah naik pangkat dibanding yang lain. Ini bikin cemburu juga kan?

Ya, tapi akses kepada penguasa politik. Itu wajar. Jenderal Colin
Powell, peringkat ke berapa dia bisa jadi pangab AS. Dia bekas
sekretaris militer Bush waktu jadi wakil presiden. Jadi, waktu Bush
jadi presiden, dia jadi pangab. Bahwa saya punya akses kepada penguasa politik, saya sependapat. Tapi kan bukan hanya saya. Pak Wiranto kan dari ajudan presiden. Langsung kasdam, langsung pangdam, langsung pangkostrad. Itu kan tuduhan saja kepada saya. Coba dilihat berapa kali saya VC (kontak senjata langsung di medan operasi), berapa kali bertugas di daerah operasi, berapa kali tim saya di Kopassus merebut kejuaraan, berapa kali operasi militer saya selesaikan, apa yang saya buat di Mount Everest itu kan mengangkat bangsa. Berapa saya melatih prajurit komando dari beberapa negara. Itu kan tidak dilihat. Yang
dicari cuma daftar dosa saya. Ya memang kalau you dalam keadaan kalah politik, segala dosa bisa ditemukan. Dia keluar negeri nggak izin, dia ini, dia itu. Semua bisa ketemu. Kalau menang? Itu kan politik.

Jordania, seolah menjadi negara ibu yang kedua bagi Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Di Amman, ibu kota Yordania yang terletak di
jazirah Arab, mantan pangkostrad ini tinggal di apartemen. Prabowo, yang dicopot dari jabatan dan kariernya di ABRI, mengaku jatuh cinta pada Jordania tanpa sengaja. “Saat saya disingkirkan oleh ABRI, oleh elite politik di Indonesia, negeri ini menerima saya dengan baik,”
kata dia.


Persahabatannya dengan Raja Abdullah dimulai kala sang raja masih pangeran dan menjadi komandan tentara Jordania. Mereka bertemu di AS, tak lama setelah Prabowo selesai berobat di Jerman, setelah pensiun dari militer tahun lalu. Pangeran Abdullah menyatakan simpati dan mengundangnya mampir ke Amman.

Undangan itu dipenuhi Bowo. Pada hari dan jam yang ditentukan (sekitar pukul satu siang), Prabowo berkunjung ke markas tentara pimpinan Pangeran Abdullah. Terkejut dia karena untuk menyambut kehadirannya telah disiapkan upacara penyambutan tamu secara militer. Padahal Prabowo datang mengenakan busana kasual. Oleh anak buah Pangeran Abdullah, Prabowo “dipaksa” menginspeksi pasukan. Di ujung barisan, Pangeran Abdullah tampak tersenyum-senyum dan memeluk Bowo. “Di sini, Anda tetap jenderal,” bisik Abdullah. Tak lama kemudian, menjelang ayahnya, Raja Hussein mangkat, Abdullah dinobatkan sebagai putra mahkota dan kemudian menjadi Raja Jordania.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Foto: Saya Dikhianati Habibie

Faktasebenarnya.com - Wawancara dari Bangkok, Thailand, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto bicara soal penculikan aktivis, dugaan keterlibatannya dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998, serta hubungannya dengan Soeharto, Habibie, dan Wiranto.

Dari siaran berita di radio, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto
mendengar berita rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bentukan Mabes ABRI. Ia diberhentikan dari karier militernya. Hari itu, Selasa, 25 Agustus 1998. “Saya tidak kaget,” kata Prabowo. Sebelum DKP mulai bekerja, mantan pangkostrad ini sudah tahu hasilnya. Ia harus menepi. Adalah mertuanya sendiri, mantan presiden Soeharto, yang mengisyaratkan agar ia keluar saja dari militer. “Itu lebih baik bagi ABRI,” kata Pak Harto, sekitar dua bulan sebelum keputusan itu. Sejak lengser dari posisi presiden, 21 Mei 1998, hubungan antara Prabowo dan mertuanya merenggang. Dia dianggap berkoalisi dengan Habibie untuk menekan Soeharto agar lengser, menilik situasi yang makin panas di masyarakat.

Keyakinan Prabowo makin kuat saat bertemu dengan mantan pangab Jenderal TNI (Purn.) L.B. Moerdani, pada satu acara, tak lama sebelum DKP mengakhiri pemeriksaannya. Di situ, Benny memberi sinyal yang sama. Karier Prabowo di militer sudah tamat. “Jadi, keputusan untuk menyingkirkan saya sudah jatuh sebelum DKP dibentuk,” tutur mantan danjen Kopassus ini. DKP dibentuk untuk mengusut dugaan keterlibatan sejumlah perwira tinggi ABRI dalam kasus penculikan sembilan aktivis.
Sanksi diberhentikan dari karier militer, bahasa halus untuk dipecat, cuma milik Prabowo. Mantan danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi P.R., penerus posisi Prabowo yang diangkat jadi pangkostrad, pada 20 Maret 1998, cuma dicopot dari jabatannya. Status militer tetap. Begitu juga Kolonel Chairawan, mantan komandan grup IV Kopassus.

Prabowo pasrah. “Ini risiko jabatan sebagai komandan,” katanya. Penangkapan aktivis terjadi kala ia masih menjabat danjen Kopassus. Dalam pemeriksaan terbukti, Tim Mawar yang beranggotakan 11 prajurit Kopassus pimpinan Sersan Mayor Bambang Kristiono mengaku “mengamankan”
sembilan aktivis itu, untuk melempangkan jalan bagi SU MPR 1998. Yang dia sesalkan, keputusan DKP justru tak pernah diterimanya langsung. Keesokan harinya, Prabowo menghadap ke Mabes ABRI, menanyakan ihwal keputusan itu. Dia bertemu Kasum ABRI Letjen TNI Fahroel Rozi, salah seorang anggota DKP, yang lantas menganjurkan Prabowo bertemu Panglima
ABRI Jenderal TNI Wiranto.

Kesempatan diberikan keesokan hari, Kamis, 27 Agustus 1998. Pertemuan itu cuma berlangsung 10 menit. Mengenang pertemuan tersebut, Prabowo mencatat reaksi Wiranto membingungkan. Panglima ABRI ini bersikap
seolah-olah tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Prabowo. “Kamu kan tahu kondisinya,” begitu ucapan Wiranto kepada Prabowo. Prabowo pun tak mau berbasa-basi. “I don’t like it,” katanya. Seraya menatap mata Wiranto, Prabowo minta maaf atas kesalahan yang dibuatnya selaku prajurit ABRI. Prabowo juga pamit untuk ke luar negeri, melaksanakan umrah dan berobat. “Saya sering mengalami kecelakaan dalam bertugas. Karena itu, saya akan menggunakan kesempatan ke luar negeri untuk berobat di Jerman,” kata Bowo, panggilan akrabnya. Dia juga minta tolong agar surat pensiunnya dari ABRI segera dikeluarkan agar dirinya bisa membantu adiknya, Hashim Djojohadikusumo berbisnis di Timur Tengah. “Saya kan perlu mencari nafkah,” ujar Bowo. Surat pensiun itu akhirnya diteken pada 20 November 1998, sementara TGPF menyampaikan laporannya pada 3 November 1998 Itulah pertemuan terakhir dengan Wiranto. Setelah itu, sambil mengantar anak dan istrinya, yang hendak ke AS, Prabowo berpamitan ke Pak Harto di Cendana.

Kini, setahun lebih berlalu. Langkah Prabowo jadi pebisnis makin
mantap. Penampilannya tampak lebih santai dan terbuka. Prabowo yang kini memakai kacamata baca itu kelihatan lebih gemuk. “Pakai kacamata biar tampak lebih intelek,” kata Bowo sambil terbahak. Perjalanan bisnisnya membuat ia sering mampir ke negara tetangga, bertemu relasi setempat, pun kawan-kawan dari Indonesia.

Kamis (14 Oktober) lalu, ia mampir sehari ke Bangkok dalam
perjalanannya ke Boston, AS, untuk acara keluarga. Di Bangkok, Prabowo sempat berbincang-bincang dengan empat wartawan dari Indonesia, termasuk dari Panji. Penulis berkesempatan ngobrol blak-blakan dengan Prabowo Rabu malam, dilanjutkan Kamis pagi hingga malam harinya. Ia didampingi Fadli Zon. Sejumlah pertanyaan Panji dijawabnya dengan terbuka meski pada beberapa poin ia minta nirwarta (off the record). “Saya tak ingin menimbulkan perpecahan dan perasaan tidak enak pada siapa pun,” kata Bowo.

Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?

Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali. Mungkin tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu kan khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis. Saya pribadi tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan teknis di lapangan. Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998. Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.

Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?

Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah terjadi ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal yang memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.

Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus `diamankan’ dalam konteks SU MPR?

Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.

Dari siapa Anda terima daftar itu?

Saya tidak bisa katakan. Semua sudah saya katakan di DKP. Kita ini kan harus menjaga kehormatan institusi ABRI. Keterangan saya di DKP ada rekamannya.

Benarkah daftar itu Anda terima langsung dari RI 1, yakni presiden saat itu, Soeharto?

Saya sulit menjawab. Kepada Pak Harto saya sangat hormat. Beliau panglima saya. Kepala negara saya. Bahkan, lebih jauh lagi, beliau mertua saya, kakek dari anak saya. Bayangkan sulitnya posisi saya. Tapi semua itu sudah saya sampaikan ke DKP.

Anda tidak tanya pada Pak Harto daftar itu didapat dari mana?

Tentu saya tanya.

Pak Harto ngomong apa pada Anda waktu memberikan daftar itu?

Ha…ha…ha…. Pertanyaan bagus, tetapi sulit dijawab.

Kapan Anda terima daftar itu dari Pak Harto?

Beberapa hari setelah ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi.

Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?

Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah
didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang ada di situ. Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi. Yang tiga, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan. Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka. Semua mencari mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat brifing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari ditanya. Sudah dapat belum si ini… begitu. Kejar-kejaran semua. Itu pun, maaf ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh, kalian saya perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala. Mereka ini namanya mau mencari prestasi. Tapi saya puji waktu mereka dapat. Mereka kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak itu. Soalnya Andi Arief kan dikejar-kejar.

Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto? Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan pangab saat itu, Jenderal Feisal Tanjung menerima daftar serupa?

Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar itu memang sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum. Tapi, sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit. Apalagi saya tak mau memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni ABRI, khususnya TNI.

Bukankah hubungan Anda dan Pak Harto belakangan retak?

Itu benar dan sangat saya sesalkan. Mungkin ada yang memberikan masukan kepada Pak Harto, seolah-olah saya sudah tidak loyal kepada beliau. Saya dikatakan sudah main mata dengan Pak Habibie dan karena itu menyarakan agar Pak Harto lengser pada pertengahan Mei. Mungkin itu yang membuat Pak Harto marah kepada saya. Ironis, bukan? Oleh masyarakat saya dianggap sebagai status quo karena menjadi bagian dari
Pak Harto. Saya tidak menyesal. Memang saya menikah dengan putrinya. Tapi Pak Harto sendiri, dan keluarganya, justru marah kepada saya.

Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?

Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur, setelah terjadi peristiwa
Trisakti, saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing.
Tampaknya Pak Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik saat itu menghendaki demikian. Saya juga kemukakan ini sehari setelah Pak Harto kembali dari Kairo (15 Mei 1998, Red.). Aaplagi Pak Harto di Kairo memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser. Mungkin ada yang tidak suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan terus terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ masalahnya.

Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan aktivis?

Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak adil.
Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya. Mereka merakit 40 bom. Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat. Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi. Bom yang meledak di rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang orang bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada spesialisasinya. Saya tidak bisa bikin bom. Jadi kita ini mencegah peledakan bom di tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal. Kita harusnya dapat ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi masyarakat yang terancam peledakan itu. Soal tiga orang, memang kesalahan. Saya minta maaf pada Haryanto Taslam dan yang lain. Tapi dia juga akhirnya terima kasih. Untung yang menangkap saya. Kan hidup semua. Saya mau bertemu mereka.

Anda pernah berpikir tidak bahwa dokumen atau daftar yang berasal dari rusun Tanah Tinggi itu buatan pihak yang berniat jahat?

Belakangan saya berpikir juga. Jangan-jangan dokumen itu bikinan.
Dalam dokumen itu, seolah-olah ada rapat di rumah Megawati. Saya nggak bisa dan tidak mau menyalahkan anak buah. Saya katakan kepada mereka, you di pengadilan mau ngomong apa aja deh, saya akan ikuti. Saya diadili juga siap. Saya bilang, Haryanto Taslam saya perintahkan nggak untuk ditangkap? Tidak ada. Tapi saya ambil alih tanggung jawab. Di DKP pun saya katakan bahwa anak-anak itu tidak bersalah. Mereka adalah perwira-perwira yang terbaik. Saya tahu persis karena saya komandan mereka. Cek saja rekamannya di DKP. Tapi bahwa mungkin mereka salah menafsirkan, terlalu antusias, sehingga menjabarkan
perintah saya begitu, ya bisa saja. Atau ada titipan perintah dari
yang lain, saya tidak tahu. Intinya, saya mengaku bertanggung jawab.

Apa memang ada pihak yang ikut nimbrung saat itu memberikan perintah?

Bisa saja. Saya tidak tahu. Tapi tetap apa yang sudah terjadi adalah tanggung jawab saya. Tetap itu anak buah saya. Saya kan mesti percaya sama anak buah. Makanya saya nggak apa-apa diberhentikan. Saya nggak heran. Ini risiko saya. Iya kan?

Tapi kalau kemudian saya sudah berhenti, masih diisukan ini, itu,
dibuat begini, begitu. Ah…, saya merasa dikecewakan oleh Pak
Wiranto. Saya merasa harusnya dia tahu situasinya saat itu
bagaimana. Dia tahu kok ada perintah penyelidikan itu. Begitu dia
jadi pangab, saya juga laporkan, sedang ada operasi intelijen, sandi yudha, begini, begitu. Kepada beberapa menteri Pak Harto ngomong bahwa itu operasi intelijen. Tapi begitu Pak Harto tidak berkuasa, situasinya dimanfaatkan oleh perwira yang ingin menyingkirkan saya.

Apa betul AS berkepentingan agar Anda dipecat?

Tidak tahu. Tapi Cohen (Menhan AS William Cohen, Red.) kan ketemu saya juga.

Perintahnya menyelidiki kok bisa kepeleset menculik. Bagaimana itu?

Ya. Tapi dalam operasi intelijen itu kan biasanya kita ambil,
ditanyai, dan kalau bisa terus dia berkerja untuk kita. Kan begitu
prosedurnya. Sudahlah, itu kesalahan teknis, yang kemudian
dipolitisasi. Dan memang waktu itu saya harus dihabisi. Dulu Jenderal Soemitro dituduh terlibat Malari, mau menyaingi Pak Harto. Pak H.R. Dharsono dituduh terlibat kasus Tanjung Priok. Itu politik. Yang kemudian naik orang yang nggak bisa apa-apa, nggak pernah bikin inisiatif dan karenanya tidak pernah bikin salah. Lihat Prancis, itu kan negara yang menjunjung tinggi hak sasai manusia. Tapi, dia ledakkan kapal Greenpeace yang mau masuk ke perairan nasionalnya. Kalau sudah kepentingan nasional dia ledakkan itu.

Anda kan lama di luar negeri, besar di negara yang liberal, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kok Anda tetap mentolerir gaya penangkapan atau penculikan itu? Bukankah itu menjadi sorotan dunia internasional terhadap penegakan HAM di Indonesia?

Benar. Begini, secara moral, saya tidak salah karena orang-orang itu berniat berbuat kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Menurut saya membuat aksi pengeboman, membakar terminal, untuk mengorbankan orang-orang tidak berdosa. Mereka justru membahayakan hak asasi manusia orang lain. Tidak bisa dong. Kalau you berbeda dalam politik, you bertempur lewat partai politik. Jangan bikin aksi teror.

Informasi soal rencana pengeboman itu didapat dari interogasi, bukan kita ngarang. Dapat keterangan dari mereka. Anda dengar ancaman bom tiap minggu. Seluruh bank tutup, BI tutup. Korban kepada bangsa bagaimana. Itu aksi destabilisasi. Jadi, jangan salah, untuk menegakkan demokrasi, kita justru harus menjaga keamanan. Tidak bisa demokrasi tanpa keamanan. Itu duty kita, panggilan kita. Tapi, lawan-lawan saya lebih kuat. Punya media massa, punya kemampuan untuk perang psikologi massa.

Kok Anda dulu tidak segera membantah kalau memang merasa tidak bersalah?

Hashim memang menyuruh saya. Kamu harus jawab dong. Saya malas juga. Saya kan tidak berbuat. Saya percaya kebenaran akan muncul. Hashim bilang, “Tidak bisa dong kalau kamu diam berarti kamu mengakui itu benar.” Memang ada teori itu. Teori pengulangan kebohongan. Kalau diulang-ulang terus, orang jadi percaya. Itu teori yang digunakan Hitler kepada rakyat Jerman.

Anda tidak mau nuntut soal pemecatan itu karena tidak ingin
mempermalukan Pak Harto?

Benar, terutama itu. Juga tak ingin mencemari institusi ABRI,
khususnya TNI AD. Bagaimanapun juga Pak Harto jenderal bintang lima. Ini kan tidak baik dalam iklim dan budaya bangsa Indonesia. Apa pun yang terjadi. Ada masalah dilematis, bagaimanapun dia kakek dari anak saya. Itu yang dilematis. Walaupun dia kemudian membenci saya.

Sebelumnya, Prabowo merasa diperlakukan tidak adil kala dipaksa
menyerahkan jabatan sebagai pangkostrad pada 22 Mei 1998. “Saya tak sempat membuat memorandum serah terima jabatan. Istri saya, ketua Persit pun, tak sempat serah terima. Setahu saya, dalam sejarah ABRI, belum pernah ada perwira tinggi dipermalukan oleh institusinya, seperti yang saya alami,” kata Bowo. Dia memang digeser saat situasi politik gojang-ganjing dan Soeharto baru lengser pada 21 Mei 1998. Dugaan yang beredar saat itu, Bowo diganti karena dianggap hendak melancarkan kudeta kepada Habibie. Malam itu, sesudah pergantian presiden pagi harinya, situasi Jakarta memang genting. Sejumlah pasukan berseragam loreng tampak di seputar wilayah Istana Negara, Monas, Jakarta.

Dugaan terjadi pengepungan Istana sempat dibantah habis-habisan oleh Mabes ABRI. Padahal, sejumlah media massa memberitakannya. Kemudian, pada 22 Februari 1999, di depan sejumlah eksekutif pers dalam forum Asia-German Editors, di Istana Merdeka, Presiden Habibie bercerita soal pengepungan itu. Habibie mengaku keluarganya terancam malam itu, dan nyaris diungsikan. “Tidak usah ditutup-tutupi, kita tahulah yang
memimpin konsentrasi pasukan itu, orangnya Prabowo Subianto,” kata Habibie berapi-api. Dia mengaku diberi tahu Wiranto. Pers geger. Prabowo saat itu sudah di luar negeri. Lewat kawan dekatnya, ia membantah.

Dan, dua hari kemudian, dalam sidang di Komisi I DPR RI, Jenderal
Wiranto membantah ucapan Habibie. Menurutnya, itu bukan konsentrasi pasukan, melainkan konsolidasi. Tak ada yang berniat kudeta saat itu. Anehnya, Habibie tak bereaksi atas bantahan Wiranto itu. Sehingga publik makin bingung, mana yang benar, ucapan Habibie atau Wiranto. Benarkah Habibie dapat masukan dari Wiranto? Sebab dalam satu pertemuannya dengan tokoh Dewan Dakwah Islamiyah, 30 Juni 1998, Habibie mengaku diberi tahu soal konsentrasi pasukan itu oleh Letjen TNI Sintong Panjaitan, orang dekat Habibie yang kini menjabat
sesdalopbang.

Setelah berkelana di luar negeri, ketenangan Prabowo terusik oleh
ucapan Habibie itu, yang dikutip oleh pers luar negeri pula. Tapi,
bantahan Wiranto cukup menenangkannya. “Pak Wiranto harus membantah karena memang apa yang diucapkan Habibie tidak benar,” kata Bowo. Menurutnya, semua panglima saat itu menerima perintah dari Mabes ABRI. Saat situasi genting, ada pembagian tugas, bahwa Kopassus dipasrahi mengawal presiden dan wakil presiden, sedangkan Kostrad diminta menjaga objek vital dan strategis. Kata Prabowo, untuk melaksanakan perintah Mabes ABRI itulah sejumlah pasukan berada di sekitar kawasan Istana dan Monas. “Pak Wiranto tahu persis bahwa perintah itu ada. Saksinya banyak, para panglima komando,” kata Bowo

Dalam pemeriksaan di TGPF, ada kesan kegiatan Anda pada 13 Mei 1998 tidak diketahui. Muncul kecurigaan, Anda sedang apa saat itu? Apa sih yang Anda lakukan hari itu?

Saya mulai dari 12 Mei 1998. Malam itu, pukul 20.00 wib, ketika di
rumah Jl. Cendana No. 7, saya ditelepon Sjafrie (pangdam Jaya saat itu, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin). Kata dia, “Gawat nih Wo, ada mahasiswa yang tewas tertembak.” Saya lalu bergegas ke Makostrad. Saya sudah antisipasi, besok pasti ramai. Maka pasukan saya konsolidasi. Kalau perlu tambahan pasukan kan mesti disiapkan tempatnya. Mau ditaruh di mana mereka. Malam itu saya terus memantau situasi. Lalu, terpikir oleh saya, kelanjutan rencana acara Kostrad di Malang pada 14 Mei 1998. Rencananya inspektur upacara adalah Pangab Wiranto.
Pangkostrad juga harus hadir. Kalau ibu kota genting, apa kita masih pergi juga?

Keesokan harinya, sejak pukul 08.00 wib, saya mengontak Kol. Nur Muis dan menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran pangab dibatalkan saja karena situasi ibu kota genting. Biar saya saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana. Irup tetap Pak Wiranto dan saya selaku pangkostrad tetap hadir. Beberapa opsi usulan saya tawarkan kepada Pak Wiranto, yang intinya agar tidak meninggalkan ibu kota, karena keadaan sedang gawat. Posisi terpenting yang harus diamankan adalah ibu kota. Tapi, sampai sekitar delapan kali saya telepon, keputusan tetap sama. Itu terjadi sampai malam hari.

Jadi, pada 14 Mei, pukul 06.00 wib kita sudah berada di lapangan Halim Perdanakusumah. Saya kaget juga. Panglima utama ada di sana. Danjen Kopassus segala ikut. Saya membatin, sedang genting begini kok seluruh panglima, termasuk panglima ABRI malah pergi ke Malang. Padahal, komandan batalion sekalipun sudah diminta membuat perkiraan cepat, perkiraan operasi, begini, lantas bagaimana setelahnya. Tapi, ya sudah, saya patuh saja pada perintah. Saya ikut ke Malang.

Kembali ke Jakarta sekitar pukul 11.00 wib. Ketika hendak mendarat di Halim, ibu kota terlihat diselimuti asap hitam. Selanjutnya, seperti telah ditulis di berbagai media massa, saya membantu mengingatkan Sjafrie perlunya mengamankan ibu kota lewat patroli dengan panser di sepanjang Jl. Thamrin. Malam harinya, saya bertemu dengan sejumlah
orang di Makostrad. Itu yang kemudian dituduh mau merencanakan kerusuhan. Padahal, di tengah jalan sore itu saya ditelepon, karena Setiawan Djodi dan Bang Buyung Nasution ingin bertemu. Ternyata sudah ada beberapa orang di kantor saya, ada Fahmi Idris, Bambang Widjojanto, dan beberapa orang lain. Itu pertemuan terbuka, membicarakan situasi yang terakhir. Bang Buyung dominan sekali malam itu. Dia banyak bicara. Acara ditutup makan malam dan kemudian kami ada rapat staf di Mabes.

Kalau kemudian surat Muladi mengatakan saya bersalah karena gagal menjaga keselamatan negara sehingga menimbulkan kerusuhan 13-14 Mei, bagaimana ceritanya.

Pangkoops, selaku penanggung jawab keamanan ibu kota adalah Pangdam Sjafrie?

Mestinya iya. Penanggung jawab yang lebih tinggi ya panglima ABRI.

Dalam pemeriksaan di TGPF, mantan Ka BIA Zacky Makarim, konon
mengatakan bahwa sebulan sebelum peristiwa Trisakti, ada perkiraan situasi intelijen versi Anda, yang mengatakan, eskalasi meningkat dan dikhawatirkan akan ada martir di kalangan mahasiswa. Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan itu?

Situasinya memang demikian. Aksi mahasiswa kan bukan cuma di Jakarta, melainkan meluas ke daerah. Di Yogyakarta, aksi mahasiswa malah sempat bentrok. Berdasarkan analisis situasi, saya mengingatkan kemungkinan adanya eskalasi yang memanas dan kalau aksi mahasiswa meluas, bukan tidak mungkin jatuh korban atau ada pihak-pihak yang ingin ada korban di pihak mahasiswa. Itu saya ingatkan.

Tapi, justru Anda dituduh bertanggung jawab atas penembakan mahasiswa Trisakti?

Iyalah. Saya ini selalu dituduh. Apa untungnya bagi saya membuat
jatuh korban? Saat itu kan presidennya Pak Harto. Mertua saya. Saya bagian dari status quo itu. Kan begitu tuduhannya. Masak saya membuat situasi agar Pak Harto jatuh. Pak Harto jatuh kan saya jatuh juga. Sejarah kan begitu kejadiannya.

Mungkin Anda ingin menunjukkan bahwa Wiranto tidak kapabel mengamankan
Jakarta?

Tidak ada alasan juga. Motifnya tidak ada.

Bukankah Anda pernah disebut-sebut minta jabatan pangab dan katanya dijanjikan Habibie untuk jadi pangab?

Lebih dari tiga kali Habibie mengatakan kepada saya. “Bowo, kalau
saya jadi presiden, you pangab.” Itu faktanya. Habibie bahkan
mengatakan saya ini sudah dianggap anak ketiganya. Saya memang dekat dengan Habibie, karena saya mengagumi kepandaiannya, visinya. Meskipun sekarang saya kecewa karena dia menuduh saya berbuat sesuatu yang bohong. Saya merasa dikhianati. Bahwa saya ingin jadi pangab, apakah itu salah. Setiap prajurit, tentara, tentu bercita-cita menjadi pangab. Why not? Saya tidak pernah menyembunyikan itu. Bahwa kemudian dipolitisasi, seolah-olah pada saat genting, saat pergantian kepemimpinan 21 Mei 1998 itu, saya minta jadi pangab, silakan saja. Tapi, saya tak pernah minta jadi pangab kepada Habibie.

Benar tidak Anda pernah didesak jadi pangab sekitar 19-20 Mei itu?

Ada yang mendesak. Bahkan ada yang mengusulkan agar saya mengambil alih situasi. Saya tolak. Saya orang yang konstitusional. Wapres masih ada dan sehat. Menhankam/Pangab masih ada. Tidak ada alasan untuk mengambil alih. Kalau saya melakukan kudeta, setelah itu mau apa? Inkonstitusional, tidak demokratis, dan lebih berat lagi, secara psikologis saya ini kan terkait dengan keluarga Pak Harto. Kalau Pak Harto sudah menyerahkan ke Habibie, masak saya mau kudeta? Di luar itu semua, yang terpenting, saya berasal dari keturunan keluarga pejuang. Anda tahu paman saya gugur sebagai pahlawan muda. Kakek saya pejuang. Moyang saya, selalu berjuang melawan penjajah kolonial Belanda.
Bagaimana mungkin saya menodai garis keturunan yang begitu saya banggakan, dengan berpikir mengambil alih kekuasaan secara
inkonstitusional.

Ketika Habibie mengatakan Anda datang menemui Habibie pada 22 Mei 1998, benarkah Anda membawa senjata dan pasukan sehingga Habibie merasa terancam?

Senjata saya tanggalkan di depan pintu. Jangankan menghadap presiden, wong menghadap komandan kompi saja senjata harus dicopot. Bohong besar berita yang mengatakan saya hendak mengancam Habibie.

Jujur saja, kalau memang saya ingin, bisa saja. Jangan meremehkan pasukan Kopassus, tempat saya dibesarkan. Ingat, Pak Sarwo Edhi (almarhum) hanya butuh dua kompi untuk mengatasi situasi saat G-30-S/PKI. Dan anak buah saya memang ada yang sakit hati saya diberhentikan seperti itu. Pataka komando hendak diambil begitu saja tanpa sepengetahuan saya. Saya datang ke Habibie karena sebelumnya dia selalu berkata. “Bowo, kalau ada keragu-raguan, jangan segan-segan menemui saya.” Itulah yang saya lakukan. Menemui Habibie untuk bertanya apakah betul dia ingin mengganti saya dari jabatan pangkostrad. Habibie bilang turuti saja perintah atasan. Ini kemauan ayah mertua kamu juga. Jadi, Pak Harto memang minta saya diganti.

Soal anggapan bahwa para jenderal ingin menyingkirkan Anda, apakah ini disebabkan oleh sikap Anda sebelumnya yang disebut arogan, karena dekat dengan pusat kekuasaan?

Saya akui, itu ciri khas. Dan itu jadi senjata buat yang ingin
menjatuhkan. Tapi kita lihat kepemimpinan itu dari output. Bisa
tidak meraih prestasi kalau prajuritnya tak semangat. Semangat itu
tidak bisa dibeli dengan uang. Kadang-kadang mereka mau mati karena bendera. Kain itu harganya berapa? Tentara Romawi mati-matian demi bendera. Itu kan kebanggaan. Bagaimana? Saya ciptakan teriakan, berapa harganya? Saya dapatkan dari gaya suku dayak. Teriakan panjang itu bisa membangkitkan semangat, mengurangi ketakutan, dan menakutkan musuh. Pakai duit berapa? Tapi hal-hal ini tidak populer di mata the salon officer. Apa nih Prabowo pakai nyanyi-nyanyi segala. Pakai bendera, pakai teriakan. Kenapa orang fanatik membela sepakbola, sampai membakar, ini psikologi massa. Masa kita mau mati karena uang? Buat apa uangnya kalau kita harus mati.

Sebagai menantu presiden saat itu, tentu Anda lebih mudah naik pangkat dibanding yang lain. Ini bikin cemburu juga kan?

Ya, tapi akses kepada penguasa politik. Itu wajar. Jenderal Colin
Powell, peringkat ke berapa dia bisa jadi pangab AS. Dia bekas
sekretaris militer Bush waktu jadi wakil presiden. Jadi, waktu Bush
jadi presiden, dia jadi pangab. Bahwa saya punya akses kepada penguasa politik, saya sependapat. Tapi kan bukan hanya saya. Pak Wiranto kan dari ajudan presiden. Langsung kasdam, langsung pangdam, langsung pangkostrad. Itu kan tuduhan saja kepada saya. Coba dilihat berapa kali saya VC (kontak senjata langsung di medan operasi), berapa kali bertugas di daerah operasi, berapa kali tim saya di Kopassus merebut kejuaraan, berapa kali operasi militer saya selesaikan, apa yang saya buat di Mount Everest itu kan mengangkat bangsa. Berapa saya melatih prajurit komando dari beberapa negara. Itu kan tidak dilihat. Yang
dicari cuma daftar dosa saya. Ya memang kalau you dalam keadaan kalah politik, segala dosa bisa ditemukan. Dia keluar negeri nggak izin, dia ini, dia itu. Semua bisa ketemu. Kalau menang? Itu kan politik.

Jordania, seolah menjadi negara ibu yang kedua bagi Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Di Amman, ibu kota Yordania yang terletak di
jazirah Arab, mantan pangkostrad ini tinggal di apartemen. Prabowo, yang dicopot dari jabatan dan kariernya di ABRI, mengaku jatuh cinta pada Jordania tanpa sengaja. “Saat saya disingkirkan oleh ABRI, oleh elite politik di Indonesia, negeri ini menerima saya dengan baik,”
kata dia.

Persahabatannya dengan Raja Abdullah dimulai kala sang raja masih pangeran dan menjadi komandan tentara Jordania. Mereka bertemu di AS, tak lama setelah Prabowo selesai berobat di Jerman, setelah pensiun dari militer tahun lalu. Pangeran Abdullah menyatakan simpati dan mengundangnya mampir ke Amman.

Undangan itu dipenuhi Bowo. Pada hari dan jam yang ditentukan (sekitar pukul satu siang), Prabowo berkunjung ke markas tentara pimpinan Pangeran Abdullah. Terkejut dia karena untuk menyambut kehadirannya telah disiapkan upacara penyambutan tamu secara militer. Padahal Prabowo datang mengenakan busana kasual. Oleh anak buah Pangeran Abdullah, Prabowo “dipaksa” menginspeksi pasukan. Di ujung barisan, Pangeran Abdullah tampak tersenyum-senyum dan memeluk Bowo. “Di sini, Anda tetap jenderal,” bisik Abdullah. Tak lama kemudian, menjelang ayahnya, Raja Hussein mangkat, Abdullah dinobatkan sebagai putra mahkota dan kemudian menjadi Raja Jordania.
 
 
Character assasination terhadap Prabowo Subianto memang sangat luar biasa. Tak ada hari tanpa cemooh di media massa. Serangan bertubi-tubi oleh lawan-lawan politiknya, tidak membuat Prabowo kehilangan kendali. Ia merenung, melihat masa depan diri nya. Tak ada tempat buat dirinya lagi di TNI, institusi yang sangat ia cintai. Tempat ia ,menghabiskan sebagiab besar hidup nya. Untuk menenangkan diri nya, Prabowo teringat pada sahabat karib nya, Pangeran Abdullah dari Yordania. Ia memutuskan untuk mengunjungi sahabat nya itu, meninggalkan Jakarta yang oenuh intrik dan tipu muslihat.

Rupa nya sahabat karib nya semasa pendidikan militer di Amerika, mencermati perkembangan politik di Jakarta. Pangeran Abdullah melihat Prabowo sedang dijadikan sasaran politik oleh lawan-lawan nya. dalam sebuah persekongkolan yang sangat sistematis. Ketika mendengar Prabowo dicopot dari jabatan nya, Raja Abdullah menawarkan pesawat sewaktu-waktu diperlukan.

Bagaimanapun Prabowo yakin bahwa sejka lama musuh-musuh nya telah memutuskan untuk mengeluarkan ia dari TNI. Persiapan untuk ini tampak nya sudah matang. Mereka mungkin akan begitu mudah untuk membuat keputusan terhadap hidup nya. Mereka tahu Prabowo secara psikologis telah berhasil dilemahkan. Dalam pandangan publik dialah yang bertanggung jawab atas kejahatan yang baru-baru terjadi.

Jadi kalau ia korban dari "kejadian" meracuni secara instan, akankah seseorang mempermasalahkan untuk kemudian protes? Daripada menghabiskan waktu untuk memikirkan nasib nya di Jakarta, Prabowo memutuskan ke Yordania. Selanjutnya ia membutuhkan waktu untuk berfikir untuk meninggalkan ini semua.

Ketika Prabowo meninggalkan Indonesia, pada September 1998, ia langsung berangkat ke Amerika Serikat. Ia ingin mengunjungi putra nya yang sedang bersekolah di Boston. Ia telah ,mendengar juga bahwa Pangeran Abdullah sedang berada di Washington DC. Ayahnya, Raja Husein, sedang dirawat di rumah sakit di ibu kota negara itu. Setelah beberapa kali menelpon, mereka mengatur pertemuan dan Pangeran Abdullah mengatakan pada Prabowo bahwa ia akan disambut di Amman kapanpun.

Suatu hari kemudian Prabowo terbang menuju Yordania, kota persinggahan yang baru. Ia telah memberitahukan bahwa diri nya sedang dalam proses menjelang pensiun dari militer. Ia telah memikirkan diri nya sebagai seorang sipil walaupun secara resmi Markas Besar AD belum menerbitkan surat pensiun nya waktu itu. Dia memutuskan untuk melewati pintu gerbang resmi di bandara.

Suatu hari, ketika sedang berada di hotel nya di Amman, Prabowo mendapatkan pesan resmi yang menyatakan bahwa ia diundang ke Markas Angkatan Bersenjata Yordania. Pangeran Abdullah akan menerima nya sore hari dan sebuah mobil akan menjemputnya di hotel. Prabowo menggunakan pakaian sipil. Ia pernah mengunjungi markas tentara Yordania tetapi kini ia merasa bukan lagi seorang perwira.

Prabowo datang sedikit terlambat, dan saat sampai di gerbang, ia melihat barisan ganda pasukan yang membntuk penjagaan khusus kehormatan. Prabowo yakin bahwa pengunjung lain akan datang di waktu yang sama.

Ia keluar dari mobil dan segera berjalan menuju pintu samping. Segera satu-dua perwira berseragam mendatangi nya.

" Tidak Jenderal, tidak. anda harus lewat jalan ini untuk inspeksi Pengawal. "

Terkejut dan merasa terhormat, memeriksa barisan mengesankan Pasukan Bedouin. Pangeran Abdullah datang dan berkata pada nya sambil tertawa ringan:

" Bagi kami, anda tetap seorang Jendral ".
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pemberhentian dengan hormat Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto.

Isu Prabowo dipecat dari TNI merebak luas seiring pencalonan Prabowo Subianto menjadi Presiden 2014-2019. Masyarakat perlu mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi agar semua menjadi terang benderang. Pentingnya klarifikasi ini agar rakyat Indonesia bisa memilih presiden 9 Juli nanti dengan hati dingin dan jernih, tidak dikotori oleh kampanye hitam.

Dalam PP no 39 tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI, UU no. 34 tahun 2004 tentang TNI pasal 54, pemberhentian itu bisa berupa pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat.

Kronologi Pemberhentian Prabowo Subianto
Panglima ABRI Jendral TNI Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada tanggal 3 Agustus 1998.

Ketua Jenderal TNI Subagyo HS (selaku KSAD),
Wakil ketua:
- Letjen TNI Fachrul Razi (Kasum ABRI)
- Letjen TNI Yusuf Kartanegara (Irjen Dephankam).

Anggota
- Letjen TNI Soesilo Bambang Yudhoyono (Kassospol ABRI),
- Letjen TNI Agum Gumelar (Gubernur Lemhanas),
- Letjen TNI Djamiri Chaniago (Pangkostrad)
- Laksdya TNI Achmad Sutjipto (DanjenAkabri).

Hasil sidang DKP ini memberikan rekomendasi kepada presiden (BJ Habibie) untuk memberhentikan Letjend Prabowo Subianto dari dinas aktif militer yang di umumkan pada tanggal 24 Agustus 1998.

Sidang Keputusan Dewan kehormatan Perwira dilakukan tertutup, sehingga publik tidak punya akses terhadap dokumen keputusan DKP ini, namun pada tanggal 20 November 1998 Presiden BJ. Habibie menandatangani Surat Pensiun untuk Prabowo.

Pemberhentian dengan Pensiun = Pemberhentian dengan Hormat
Dari proses ini pemberhentian Prabowo ini adalah pemberhentian dengan hormat/ pensiun.

Karena Jika Seorang Prajurit TNI diberhentikan tidak dengan hormat maka otomatis dia akan kehilangan hak pensiunnya.

Seperti dinyatakan dalam Peraturan Menteri Pertahanan no. 32 tahun 2013 pasal 28 berbunyi:

“Hak yang diperoleh Prajurit TNI yang Diberhentikan Tidak Dengan Hormat tidak diberikan rawatan purnadinas kecuali Santunan Nilai Tunai Asuransi dari PT. ASABRI dan pengembalian Tabungan Wajib Perumahan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku“.

Rawatan Purnadinas di sini adalah salah satunya menyangkut pensiun.

Hak Prajurit yang Diberhentikan Dengan Hormat
Menurut UU no.34 tahun 2004 tentang TNI pasal 51 ayat (1) Prajurit yang diberhentikan dengan hormat memperoleh rawatan dan layanan purnadinas. dilanjutkan dengan ayat (2) Rawatan dan layanan purnadinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pensiun, tunjangan bersifat pensiun, tunjangan atau pesangon dan rawatan kesehatan.

Menurut PP no. 39 Tahun 2010 pasal 59 berbunyi: “Prajurit yang diberhentikan dengan hormat dari Dinas Keprajuritan, berkewajiban:
a. memelihara dan tidak menyalahgunakan perlengkapan perorangan yang diperolehnya“. Kemudian dilanjutkan dengan Pasal 61 ayat (1) Prajurit yang diberhentikan dengan hormat dari Dinas Keprajuritan, pada acara tertentu dapat menggunakan sebutan pangkatnya yang terakhir, mengenakan pakaian seragam TNI, dan mendapat perlakuan protokoler.

Fakta Prabowo Diberhentikan dengan Hormat/ Pensiun
Fakta-fakta yang dapat ditemui yang mendukung bahwa Prabowo Subianto diberhentikan secara hormat oleh Presiden BJ Habibie, bukan dipecat tidak hormat (Lihat foto)

1. PRABOWO MENGGUNAKAN PANGKAT TERAKHIR LETJEN (PURN)
Dalam berbagai kesempatan nama Letnan Jenderal TNI (pur) Prabowo Subianto, selalu dipergunakan. hal ini berarti bahwa Prabowo berhak menggunakan pangkat terakhirnya dengan tambahan purnawiran yang dapat diartikan sebagai Purnawirawan (pensiunan) TNI berpangkat terakhir Letnan Jendral.

2. MENDAPATKAN UANG PENSIUN

Prabowo-menyebut-jumlah-uang-pensiunnya

Dalam beberapa kesempatan, prabowo menceritakan mengenai uang pensiun bulanannya. Seperti saat menjadi pembicara di forum Indonesian Young Leaders Forum 2013 yang digelar HIPMI di Ballroom Pasific Place, Jakarta, Prabowo dengan santai menyebut jumlah gaji pensiun yang ia peroleh setiap bulannya. “Pensiunan seorang letnan jenderal seperti saya itu Rp 3,7 juta sebulan,” demikian prabowo mengungkapkan. (tempo.co).

3. ATRIBUT BENDERA PERWIRA TINGGI (RAPATI)
Di ruang kerjanya prabowo memajang dua bender yang satu bendera merah putih disampingnya ada bendera merah dengan bintang emas tiga buah? Bendera negara manakah itu? itu adalah bender perwira tinggi, karena pangkat terakhir Prabowo adalah letnan jenderal, sehingga berhak mendapatkan atribut bendera perwira tinggi (Rapati).

4. MENGGUNAKAN ATRIBUT PANGKAT DALAM ACARA RESMI
Sebagai bukti lagi bahwa prabowo dianggap pensiun atau diberhentikan dengan hormat adalah, prabowo diundang dalam acara-acara tertentu di kesatuan tempat dia berkarir dahulu dan menggunakan atribut panglima tingginya sebagai mana layaknya purnawirawan yang lain. Misalnya pada acara HUT Kopassus ke-61 di markas Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Selasa 16 April 2013. Dalam acara ini Prabowo menggunakan baret merah dengan lambang kopassus dan bintang tiga yang menandakan sebagai perwira tinggi berpangkat Letnan Jendral (purn).