Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 31 Mei 2014

Sekelumit tentang Letnan Jendral (Purn) Prabowo Subianto

 
Pada Agustus 1983, Benny Murdani, yang telah menjadi Panglima ABRI enam bulan sebelumnya, dalam sebuah pengarahan umum di Dili ia menyatakan, bahwa Fretilin telah melanggar perjanjian antara Kolonel Purwanto yang mengomandani pasukan Indonesia di Timor Timur, dengan Xanana Gusmao, pimpinan pemberontak Timor Timur. Fretilin telah dengan sengaja menghianati perjanjian gencatan senjata selama 8 bulan dengan menyerang pasukan Indonesia.

Beberapa Peleton telah hilang. Mereka telah dihadang selama melakukan pembangunan jalan dan telah diserang oleh gerombolan pemberontak. Lusinan prajurit Indonesia telah ditawan dan dibakar hidup-hidup. Pangab waktu itu kelihatan sangat marah. Dia memberikan sebuah perintah eksplisit bahwa setiap orang Timor Timur, laki-laki, perempuan ataupun anak-anak, yang ditemukan berada jarak lebih dari 5 km dari desa nya dianggap musuh.

Beberapa saat kemudian, pada saat melakukan operasi, Prabowo bertemu dengan beberapa orang yang kelihatan sudah tua dan beberapa anak kecil pada jarak lebih dari 5 km dari Desa Caracas.

“ Kalian berada dalam bahaya, kalian dilarang untuk berpergian sejauh ini dari desa kalian. Silahkan pergi dan melapor ke Kodim “ kata Prabowo.

Ia kemudian memberi mereka bendera Merah Putih dan sepucuk surat pribadi kepada Komandan Kodim yang berada di Vieuqeque. Prabowo kemudian mengetahui beberapa hari setelah pertemuan itu, kelompok warga desa tadi tak diketahui lagi keberadaan nya.

Komandan Kodim, Mayor dari Secapa (Sekolah Calon Perwira), telah melawan kebijakan dan diancam untuk mengundurkan diri. Tetapi ia berada dalam paksaan untuk melakukan hukuman terhadap warga itu.

Prabowo dan mayor itu telah berusaha sekuat tenaga untuk melawan perintah itu dan banyak warga Timor yang terselamatkan tanpa sepengetahuan Komandan Tinggi Militer.

Menurut informasi yang didapatkan dari berbagai sumber, Prabowo tidak pernah memerintahkan seorang tawanan untuk disiksa atau sejenisnya. Tindakan ini akan sangat tidak menghargai sumpah prajurit dan jiwa patriot. Cukup jauh dari ini, sebuah informasi yang didapatkan dengan maksud penyiksaan sebagaimana dimaksud dalam pendapat Prabowo, sangat tidak realistis dan tidak berguna. Terlebih lagi menciptakan tindakan yang menimbulkan kebencian yang mendalam dari masyarakat Timor. Prabowo tetap mengharapkan untuk mendapatkan dukungan dari mereka untuk Indonesia.

Tak ada satupun bukti kekejaman yang dilakukan oleh Prabowo di Timtim. Ia menentang setiap penganiayaan terhadap tawanan. Kesatuan nya selalu diingatkan dengan Konvensi Jenewa.

“ Saya menentang penyiksaan. Filosofi kita, tentara rakyat. Kita harus menjaga supaya rakyat berada dipihak kami. Bagaimana ini terwujud kalau mereka dianiaya’’ ucap Prabowo.

Ia juga menginginkan Timtim diselesaikan secepatnya. Ia menolak pengekalan perang di Timor Timur.
 
 
Sebagai seorang perwira muda, Prabowo Subianto memandang Timtim dengan relatif jernih. Ia memperkirakan secara cermat integrasi Timtim. Misalnya, proses integrasi akan semakin kesulitan, setelah tokoh Fretilin, Jose Ramos Horta mendapatkan hadiah nobel. Karena itu, pada tahun 1990-an, ia mengusulkan agar Timtim diberikan status otonomi khusus. Ia memberikan solusi, untuk menyelesaikan Timtim secara damai. Tapi siapa yang mau mendengar suara perwira muda.

Perlahan-lahan setelah 4 kali perjalanan operasional dan beberapa misi singkat, Prabowo menjadi satu dari spesialis yang terbaik mengenai masalah Timor Timur. Baginya, kekalahan Indonesia bukanlah karena keterlambatan kedatangan pasukan Indonesia. Secara individual pasukan Indonesia cukup kuat, tetapi kebanyakan mereka sangat tergantung pada kemampuan pemimpin nya.

Prabowo merasakan dari awal, bahwa yang vital untuk diperhatikan dalam operasi Timor-Timur adalah perlunya menghormati hak-hak sipil dan kehormatan penduduk lokal - tingkah laku mereka, adat istiadat, dan lebih penting lagi agama yang mereka anut.

Pendapat Prabowo ini mengakibatkan teguran dari atasan nya. Dalam beberapa kesempatan, dia secara terbuka menentang operasi yang membahayakan hidup penduduk lokal, sejak kepercayaan nya mulai menguat bahwa perang ini tidak akan bisa dimenangkan, selama masyarakat diasingkan atau diacuhkan.

Dia teringat bahwa Napoleon telah kalah dalam Perang Spanyol, karena rakyat Spanyol berbalik melawan nya.

Sikap kritis terhadap para senior nya, membuat Prabowo sering diterpa isu. Dia menjadi tidak populer di kalangan perwira senior.
 
 
 
Berdasarkan fakta, dalam bertugas di Timor-timur, pasukan Prabowo Subianto selalu menghargai status tahanan perang dan tidak pernah berlindung dengan menyiksa sesama. Pasukan Prabowo pun banyak dibantu penduduk lokal, Adanya dukungan penduduk lokal ini, membuat pasukan dapat mengumpulkan informasi sebanyak-banyak nya. Pendekatan Kopassus adalah merekrut dan melatih milisi lokal dan memperlakukan penduduk lokal dengan manusiawi, inilah yang ditakuti oleh Fretilin.

Ini tidak bisa di lepaskan dari sikap Prabowo yang sering menggunakan pendekatan manusiawi dengan musuhnya.

Dikisahkan oleh Sugeng Rahardjo, ketika ia dengan pasukan nya, Batalyon 328, berhasil mendapatkan tawanan Fretilin. Ia mendapat perintah agar tawanan harus selamat sampai ke markas Prabowo di Babiliu komplek, padahal tawanan itu sudah tertembak kaki nya. Tapi perintah Prabowo sudah jelas:

" Selamatkan tawanan."

Perintah ini membuat pasukan Sugeng sengsara harus memikul tawanan dengan kayu yang diikatkan pada kain sarung selama 4 hari 4 malam. Mungkin karena terlalu berat dan capek, ada anggota pasukan Sugeng nyeletuk:

" Bunuh saja pak ".

Tetapi dari radio, Prabowo terus memonitor nasib tawanan nya, sehingga anak buahnya tidak bisa berbuat nakal.
 
 
 
Dalam suatu kesempatan, ketika Prabowo Subianto menjadi komandan di Timor-timur, ia telah menangkap beberapa tawanan Fretilin. Namun, mereka tidak merasa sakit hati, bahkan menunjukkan penyesalan telah memberikan dukungan atas hal yang salah. Prabowo berusaha untuk untuk mempengaruhi mereka untuk bergabung menjadi prajurit Indonesia. Banyak yang menerima dan membantu pasukan untuk mengangkat air, kayu bakar, mempersiapkan makanan atau membantu dengan cara lain.

Tidak ada yang ditahan tetapi dibiarkan pergi meninggalkan perkemahan. Setelah beberapa minggu, orang-orang yang ditangkap menjadi lebih bersahabat. Salah satu tahanan Fretilin telah menjadi pimpinan lokal.

Suatu hari, pimpinan Prabowo datang ke pos komando. Dia memerintahkan bahwa tahanan ini harus di eksekusi. Prabowo bagaimanapun berusaha menyembunyikan keterkejutan nya dan segera menjawab: " Siap Pak ".

Setelah pimpinan nya meninggalkan tempat, ia berkonsultasi dengan komandan peleton pertamanya, Tono Suratman, " apa yang harus dilakukan dengan amasalah ini?"

Mereka akhirnya memutuskan menyembunyikan tawanan ini dan mengatur cara menjaga penolakan nya terhadap perintah, untuk beberapa minggu.

Ketika saatnya tiba bagi pasukan kembali ke Jakarta, Prabowo merasa yakin bahwa pimpinan nya telah melupakan perintah yang diberikan sebelum nya. Ia membebaskan tawanan itu, yang memutuskan untuk kembali ke desa nya. Sang tawanan yang telah dibebaskan memerlukan waktu 7 hari untuk berjalan kembali ke desanya dan di perjalanan ia terlihat oleh warga desa lain nya.

Mereka melaporkan kejadian ini kepada Komandan Militer setempat. Orang tersebut kembali ditangkap dan di eksekusi.

Ketika Prabowo mengetahui hal ini, ia muak dan geram. Dia kemudian dituduh melawan perintah. Ini adalah pertama kali nya ia melakukan konfrontasi terbuka terhadap pimpinan nya, tapi itu bukan yang terakhir.

Kemudian, sebagai seorang Kapten, ia semakin sering berselisih paham dan semakin serius dengan hirarki militer.

Dia mendapat perintah membunuh semua tawanan. Bagi Prabowo, ini sangat tidak bisa diterima dan ia melakukan oposisi secara terang-terangan.

Protesnya telah terbukti menyelamatkan banyak nyawa tawanan.
 
 
 
 
Pada tanggal 18 Mei 1998, Prabowo Subianto bertemu dengan tokoh oposisi, Amien Rais. Amien figur yang paling getol, meminta Soeharto segera turun. Meski bersebrangan, mereka setiap bulan sekali mengadakan pertemuan. Amien Rais ditemani oleh Adi Sasono.

Mereka memberikan saran kepada Prabowo, sebaiknya Soeharto segera mengundurkan diri. Prabowo menjawab, apapun yang terjadi sebaiknya berlangsung secara konstitusional. Kalaupun terjadi transfer kekuasaan, sebaiknya dilakukan dengan damai.

Amien menyampaikan, bahwa ia akan mengadakan demonstrasi di Monas. Dalam pertemuan itu Prabowo mencoba membujuk Amien agar membatalkan demonstrasi. Pertemuan itu tidak membawa hasil yang memuaskan, justru malah Prabowo diminta oleh Amien Rais agar meyakinkan Soeharto mundur dari jabatan nya. Sesuatu yang tak mungkin ia lakukan. Amien Rais juga memberitahukan, bahwa ia akan tetap melakukan aksi besar-besaran pada tanggal 20 Mei di lapangan Monas.

Prabowo kembali ke rumahnya. dan secara kebetulan ia bertemu dengan Wiranto. Wiranto menyampaikan bahwa anak-anak Soeharto ingin melawan. Mereka tidak terima orang tua nya terus dipaksa mundur.

Kalau itu benar, berapa ribu korban akan mati. '' Apa bisa, " ujar Prabowo. Situasi bertambah panas, kemudian Prabowo datang ke Tutut, meminta nasihat apa yang harus dilakukan.

Mbak Tutut, memberikan saran agar Prabowo mengganti posisi Wiranto dan membuat dekrit darurat. Karena Tutut berfikir Wiranto kurang sekali melakukan aksi atau tindakan. Sebenarnya Pangab dapat menguasai keadaan, tapi tidak dilakukan, Soeharto tidak mau melakukan kedua hal itu. Lalu ia kembali lagi ke Tutut yang bertanya kepada Prabowo:

" Kalau seandainya bapak turun, apa yang akan terjadi" ujarnya.

Prabowo menjawab berdasarkan konstitusi maka, " Habibie yang akan naik " jelas Prabowo.

Aksi mahasiswa satu hari sebelum nya terus berlangsung di depan Gedung DPR/MPR. Aparat keamanan tidak melakukan tindakan apapun. Malah, KSAD, Jenderal Soebagyo HS memanggil Pangdam Jaya, Syafrie Sjamsoeddin dan Pangkostrad, Prabowo Subianto. Kedua nya diperintahkan agar berhati-hati menangani aksi mahasiswa. Jangan sampai terjadi kesalahan prosedur.
Jenderal Soebagyo HS berjanji akan memberikan tindakan tegas bagi para prajurit yang salah di lapangan.

Rencana Amien Rais mengadakan aksi sejuta umat di Monas terus berjalan. Mabes ABRI serius menanggapi aksi ini. Malam hari nya, Pangab Wiranto mengumpulkan seluruh perwira senior. Wiranto mengatakan bahwa demonstrasi bagaimanapun juga harus dicegah. Bagaimana cara mencegah nya, Wiranto tidak memberikan perintah secara jelas, pokok nya dicegah.

Prabowo berpartisipasi secara penuh menggagalkan aksi demo ini. Seluruh pasukan Kostrad di BKO -kan ke Pangdam sebagai Komandan Operasional. Jalan yang menuju ke arah Monas ditutup rapat. Bahkan jalan protokol, Sudirman-Thamrin ditutup, mulai dari depan Bundaran HI untuk mencegah masukknya massa ke arah Monas.

Amien Rais sendiri dibujuk supaya menggagalkan aksi demo ini. Melihat ketatnya penjagaan dan suasana yang sangat mencekam, maka Amien Rais memutuskan membatalkan aksi demonstrasi. Akhirnya semua pihak lega, demo yang dikhawatirkan tak terjadi.

Malam hari nya, Prabowo berkunjung ke Habibie. Ia memberitahu Habibie kemungkinan Soeharto akan turun. Percakapan diantara kedua nya berjalan singkat.

" Jika ada kemungkinan orangtua akan turun, apakah anda siap untuk ambil alih? " tanya Prabowo.

" Ya, saya siap." jawab Habibie yang terlihat sangat santai.

Lalu Prabowo berkata lagi, " Ya....anda harus siap." tegas Prabowo.
 
 
 
 
Prabowo Subianto kembali ke Cendana menjelang malam. Begitu sampai dirumah Soeharto, didalam ternyata masih ada Wiranto yang dikelilingi oleh putra-putri presiden. Nampak juga Soeharto bersama mereka. Prabowo masuk rumah dengan penuh percaya diri. Ia pikir akan mendapat pujian karena telah berhasil mencegah demonstrasi.

Namun apa yang kemudian terjadi, keluarga presiden memandang Prabowo dengan aneh. Mamiek, putri bungsu presiden berteriak keras, sambil menudingkan telunjuknya didepan hidung Prabowo:

" Pengkhianat....! Jangan injakkan kakimu lagi dirumah saya lagi. " teriak Mamik.

Teriakan Mamik membuat semua yang hadir dalam ruangan itu terdiam, situasi sangat menegangkan. Prabowo seperti disambar geledek, dengan cepat ia segera bergegas keluar. Ketika sedang berada di teras, ia melihat Wiranto meninggalkan ruangan.

Mbak Tutut berdiri di pintu. Prabowo mendekatinya.

" Mengapa saya dituduh pengkhianat ? " tanya Prabowo.

Tutut terdiam dan beberapa menit kemudian berkata: " Tidak, kamu tidak."

Tutut lalu melanjutkan lagi : " Tuhan akan menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah. " ujarnya.

Prabowo tak mengerti apa yang sedang difikirkan oleh Tutut, nampak nya opini keluarga mengatakan kalau dirinya pengkhianat.

Soeharto lalu masuk ruangan TV dan duduk di depan TV. Sigit, putera tertua dan Bambang berjalan dibelakangnya. Demikian pula Tutut dan Titiek duduk didekatnya. Prabowo lalu masuk dan menyalami mertua nya. Ia bertanya:

" Apa yang terjadi pak? ".

Soeharto menjawab:

" Saya memutuskan mengundurkan diri. Fraksi ABRI dan Golkar di MPR pendukung terkuat saya, meminta saya mengundurkan diri. Tanpa backing mereka, saya tidak punya hak konstitusional untuk melanjutkan tugas, sehingga saya bermaksud mengundurkan diri besok. " jelas Soeharto.

Prabowo bertanya lagi kepada Soeharto:

" Apakah hal ini berarti Habibie akan menjadi Presiden ?''

Soeharto tidak menjawab. Dan kembali Prabowo bertanya:

" Apa perintah anda, pak ? "

Pak Harto menjawab: " Kamu harus melanjutkan apapun perintah atasan mu." ujar nya.

" Baiklah pak. " kata Prabowo.

Titiek, istri Prabowo menangis tersedu-sedu. Prabowo memberikan salam dan pamit meninggalkan ruangan.

Prabowo sering mengingat kejadian malam itu dengan getir. Ia dengar dari salah satu anak presiden, pada malam menjelang Soeharto turun, Wiranto datang ditengah-tengah keluarga dan mengambil selembar kertas ketikan dari sakunya. Dan kemudian ia membaca pernyataan dimana ia akan berjanji untuk mengumumkan ini kepada publik.

Jadi sebelum kedatangan ke Cendana, ia sudah menyiapkan sebuah pernyataan. Rupanya pengunduran diri Soeharto sedang dipersiapkan.
 
 
 
Soeharto malam itu mengadakan pertemuan dengan beberapa orang untuk mengundurkan diri. Suasana masih mencekam. Prabowo Subianto tak habis fikir , kenapa ia diperlakukan seperti itu. Semalaman ia memikirkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada siang hari nya. Ia fikir kejadian ini biasa saja, meski ia merasa terhina. Prabowo tidak mau berpikiran lebih lanjut. Pagi hari nya ia mendengar persiapan upacara pengunduran diri presiden, yang akan dilakukan di Istana Negara.

Maka Prabowo bergegas ke istana, ia tetap memberikan dukungan moril kepada Presiden Soeharto. Ia ikut mendampingi presiden kembali ke kediamannya di Jalan Cendana. Namun ia tidak bisa lama-lama mendampingi Soeharto. Situasinya masih belum enak. Hubungan ia dengan putra-putri Presiden terlanjur memburuk.

Istrinya Titiek menyampaikan laporan bahwa ada laporan-laporan yang menyebutkan ia menjalin hubungan dengan kalangan lain. Seperti bertemu di rumah Habibie tiap malam. Lalu bertemu dengan berbagai tokoh seperti Amien Rais, Gus Dur dan Adnan Buyung Nasution.

Laporan-laporan inilah yang membuat Prabowo dianggap bersekongkol dalam menjatuhkan Presiden Soeharto.
 
 
 
Pada tanggal 22 Mei 1998, terjadilah suatu peristiwa yang tak disangka oleh Prabowo Subianto. Markas Besar Angkatan Darat meminta bendera Kostrad. Itu artinya ia segera akan diganti. Arah angin berubah dengan sangat cepat. Prabowo ingat bahwa Habibie pernah bilang kepada nya, jika terjadi keraguan datang saja kepada diri nya, dan tak usah berfikir aturan protokoler. Maka ia segera pergi kerumah Habibie. Dengan diiringi 3 Land Rover yang terdiri dari pasa staf dan pengawal.

Begitu sampai di kediaman Habibie, ia disambut pengawal Habibie. Keadaan menjadi sangat menegangkan, lantaran para pengawal memandang dengan aneh pada Prabowo. Kepada ajudan Habibie, Prabowo menyampaikan bahwa ingin bertemu dengan Habibie.

" Saya hanya perlu 10 menit. saya ingin mengajukan pertanyaan, dan ini sangat penting buat saya." ujarnya.

Sebelum sampai ke ruangan Habibie, Prabowo melepaskan senjatanya. Ini sebuah kelaziman bila menjumpai pangkat yang lebih tinggi. " Jadi bukan dilucuti " jelasnya.

Lalu Prabowo masuk ke ruangan Habibie. Sebagaimana biasa, Habibie lalu mencium kedua pipi Prabowo. Dan Prabowo bertanya kepada Habibie.

" Pak,, apakah Bapak sudah tahu kalau saya mau diganti hari ini. " tanya Prabowo.

" Ya...ya.." kata Habibie.

" Mertua mu minta saya menggantimu. Kalau mau berhenti dari Angkatan Darat, maka saya akan mengangkatmu menjadi Duta Besar Amerika Serikat." jelas Habibie.

Prabowo terdiam mendengar jawaban Habibie. Ia tak habis fikir dengan pernyataan Habibie, ia sangat yakin Habibie masih suka kepada nya. Namun tak bisa berbuat lain.

Prabowo lalu bergegas menuju ke kantor KSAD menjumpai Jenderal Subagyo. Ketika sampai ditempat Subagyo, Prabowo berpapasan dengan beberapa Jenderal pendukungnya. Mereka berteriak begitu bertemu Prabowo.

" Ayo bikin konfrontasi, " teriak mereka.

" Tenang " ujar Prabowo. Ia tidak mau menyusahkan teman-teman nya, hanya untuk membela pangkat dan jabatan nya.

Lalu bersama Muchdi, Prabowo menjumpai Subagyo.

" Saya rela diganti, tapi mohon waktu, agar pergantian ini kelihatan normal. " ujar Prabowo.

Begitulah, hanya selang satu hari setelah Soeharto lengser, Pangkostrad, LetJend Prabowo Subianto dicopot. Pengganti nya MayJen Johny Lumintang, yang saat itu menjabat Assisten Operasi Kasum ABRI.

Prabowo diberi tugas baru menjadi Komandan Sesko ABRI (Dansesko), di Bandung. Dari komando tempur, Prabowo ditugaskan sebagai komandan di bidang pendidikan di lingkungan kemiliteran. Jabatan ini memutus mata rantai komando yang selama ini dipegang oleh Prabowo.

Rupanya jabatan Dansesko ini jabatan terakhir yang dipegang Prabowo dilingkungan kemiliteran.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 .
 
Saya Dikhianati Habibie

Fakta sebenarnya.com - Wawancara dari Bangkok, Thailand, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto bicara soal penculikan aktivis, dugaan keterlibatannya dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998, serta hubungannya dengan Soeharto, Habibie, dan Wiranto.

Dari siaran berita di radio, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto
mendengar berita rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bentukan Mabes ABRI. Ia diberhentikan dari karier militernya. Hari itu, Selasa, 25 Agustus 1998. “Saya tidak kaget,” kata Prabowo. Sebelum DKP mulai bekerja, mantan pangkostrad ini sudah tahu hasilnya. Ia harus menepi. Adalah mertuanya sendiri, mantan presiden Soeharto, yang mengisyaratkan agar ia keluar saja dari militer. “Itu lebih baik bagi ABRI,” kata Pak Harto, sekitar dua bulan sebelum keputusan itu. Sejak lengser dari posisi presiden, 21 Mei 1998, hubungan antara Prabowo dan mertuanya merenggang. Dia dianggap berkoalisi dengan Habibie untuk menekan Soeharto agar lengser, menilik situasi yang makin panas di masyarakat.

Keyakinan Prabowo makin kuat saat bertemu dengan mantan pangab Jenderal TNI (Purn.) L.B. Moerdani, pada satu acara, tak lama sebelum DKP mengakhiri pemeriksaannya. Di situ, Benny memberi sinyal yang sama. Karier Prabowo di militer sudah tamat. “Jadi, keputusan untuk menyingkirkan saya sudah jatuh sebelum DKP dibentuk,” tutur mantan danjen Kopassus ini. DKP dibentuk untuk mengusut dugaan keterlibatan sejumlah perwira tinggi ABRI dalam kasus penculikan sembilan aktivis.
Sanksi diberhentikan dari karier militer, bahasa halus untuk dipecat, cuma milik Prabowo. Mantan danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi P.R., penerus posisi Prabowo yang diangkat jadi pangkostrad, pada 20 Maret 1998, cuma dicopot dari jabatannya. Status militer tetap. Begitu juga Kolonel Chairawan, mantan komandan grup IV Kopassus.

Prabowo pasrah. “Ini risiko jabatan sebagai komandan,” katanya. Penangkapan aktivis terjadi kala ia masih menjabat danjen Kopassus. Dalam pemeriksaan terbukti, Tim Mawar yang beranggotakan 11 prajurit Kopassus pimpinan Sersan Mayor Bambang Kristiono mengaku “mengamankan”
sembilan aktivis itu, untuk melempangkan jalan bagi SU MPR 1998. Yang dia sesalkan, keputusan DKP justru tak pernah diterimanya langsung. Keesokan harinya, Prabowo menghadap ke Mabes ABRI, menanyakan ihwal keputusan itu. Dia bertemu Kasum ABRI Letjen TNI Fahroel Rozi, salah seorang anggota DKP, yang lantas menganjurkan Prabowo bertemu Panglima
ABRI Jenderal TNI Wiranto.

Kesempatan diberikan keesokan hari, Kamis, 27 Agustus 1998. Pertemuan itu cuma berlangsung 10 menit. Mengenang pertemuan tersebut, Prabowo mencatat reaksi Wiranto membingungkan. Panglima ABRI ini bersikap
seolah-olah tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Prabowo. “Kamu kan tahu kondisinya,” begitu ucapan Wiranto kepada Prabowo. Prabowo pun tak mau berbasa-basi. “I don’t like it,” katanya. Seraya menatap mata Wiranto, Prabowo minta maaf atas kesalahan yang dibuatnya selaku prajurit ABRI. Prabowo juga pamit untuk ke luar negeri, melaksanakan umrah dan berobat. “Saya sering mengalami kecelakaan dalam bertugas. Karena itu, saya akan menggunakan kesempatan ke luar negeri untuk berobat di Jerman,” kata Bowo, panggilan akrabnya. Dia juga minta tolong agar surat pensiunnya dari ABRI segera dikeluarkan agar dirinya bisa membantu adiknya, Hashim Djojohadikusumo berbisnis di Timur Tengah. “Saya kan perlu mencari nafkah,” ujar Bowo. Surat pensiun itu akhirnya diteken pada 20 November 1998, sementara TGPF menyampaikan laporannya pada 3 November 1998 Itulah pertemuan terakhir dengan Wiranto. Setelah itu, sambil mengantar anak dan istrinya, yang hendak ke AS, Prabowo berpamitan ke Pak Harto di Cendana.

Kini, setahun lebih berlalu. Langkah Prabowo jadi pebisnis makin
mantap. Penampilannya tampak lebih santai dan terbuka. Prabowo yang kini memakai kacamata baca itu kelihatan lebih gemuk. “Pakai kacamata biar tampak lebih intelek,” kata Bowo sambil terbahak. Perjalanan bisnisnya membuat ia sering mampir ke negara tetangga, bertemu relasi setempat, pun kawan-kawan dari Indonesia.

Kamis (14 Oktober) lalu, ia mampir sehari ke Bangkok dalam
perjalanannya ke Boston, AS, untuk acara keluarga. Di Bangkok, Prabowo sempat berbincang-bincang dengan empat wartawan dari Indonesia, termasuk dari Panji. Penulis berkesempatan ngobrol blak-blakan dengan Prabowo Rabu malam, dilanjutkan Kamis pagi hingga malam harinya. Ia didampingi Fadli Zon. Sejumlah pertanyaan Panji dijawabnya dengan terbuka meski pada beberapa poin ia minta nirwarta (off the record). “Saya tak ingin menimbulkan perpecahan dan perasaan tidak enak pada siapa pun,” kata Bowo.

Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?

Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali. Mungkin tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu kan khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis. Saya pribadi tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan teknis di lapangan. Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998. Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.

Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?

Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah terjadi ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal yang memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.

Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus `diamankan’ dalam konteks SU MPR?

Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.

Dari siapa Anda terima daftar itu?

Saya tidak bisa katakan. Semua sudah saya katakan di DKP. Kita ini kan harus menjaga kehormatan institusi ABRI. Keterangan saya di DKP ada rekamannya.

Benarkah daftar itu Anda terima langsung dari RI 1, yakni presiden saat itu, Soeharto?

Saya sulit menjawab. Kepada Pak Harto saya sangat hormat. Beliau panglima saya. Kepala negara saya. Bahkan, lebih jauh lagi, beliau mertua saya, kakek dari anak saya. Bayangkan sulitnya posisi saya. Tapi semua itu sudah saya sampaikan ke DKP.

Anda tidak tanya pada Pak Harto daftar itu didapat dari mana?

Tentu saya tanya.

Pak Harto ngomong apa pada Anda waktu memberikan daftar itu?

Ha…ha…ha…. Pertanyaan bagus, tetapi sulit dijawab.

Kapan Anda terima daftar itu dari Pak Harto?

Beberapa hari setelah ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi.

Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?

Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah
didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang ada di situ. Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi. Yang tiga, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan. Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka. Semua mencari mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat brifing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari ditanya. Sudah dapat belum si ini… begitu. Kejar-kejaran semua. Itu pun, maaf ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh, kalian saya perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala. Mereka ini namanya mau mencari prestasi. Tapi saya puji waktu mereka dapat. Mereka kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak itu. Soalnya Andi Arief kan dikejar-kejar.

Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto? Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan pangab saat itu, Jenderal Feisal Tanjung menerima daftar serupa?

Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar itu memang sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum. Tapi, sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit. Apalagi saya tak mau memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni ABRI, khususnya TNI.

Bukankah hubungan Anda dan Pak Harto belakangan retak?

Itu benar dan sangat saya sesalkan. Mungkin ada yang memberikan masukan kepada Pak Harto, seolah-olah saya sudah tidak loyal kepada beliau. Saya dikatakan sudah main mata dengan Pak Habibie dan karena itu menyarakan agar Pak Harto lengser pada pertengahan Mei. Mungkin itu yang membuat Pak Harto marah kepada saya. Ironis, bukan? Oleh masyarakat saya dianggap sebagai status quo karena menjadi bagian dari
Pak Harto. Saya tidak menyesal. Memang saya menikah dengan putrinya. Tapi Pak Harto sendiri, dan keluarganya, justru marah kepada saya.

Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?

Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur, setelah terjadi peristiwa
Trisakti, saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing.
Tampaknya Pak Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik saat itu menghendaki demikian. Saya juga kemukakan ini sehari setelah Pak Harto kembali dari Kairo (15 Mei 1998, Red.). Aaplagi Pak Harto di Kairo memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser. Mungkin ada yang tidak suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan terus terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ masalahnya.

Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan aktivis?

Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak adil.
Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya. Mereka merakit 40 bom. Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat. Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi. Bom yang meledak di rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang orang bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada spesialisasinya. Saya tidak bisa bikin bom. Jadi kita ini mencegah peledakan bom di tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal. Kita harusnya dapat ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi masyarakat yang terancam peledakan itu. Soal tiga orang, memang kesalahan. Saya minta maaf pada Haryanto Taslam dan yang lain. Tapi dia juga akhirnya terima kasih. Untung yang menangkap saya. Kan hidup semua. Saya mau bertemu mereka.

Anda pernah berpikir tidak bahwa dokumen atau daftar yang berasal dari rusun Tanah Tinggi itu buatan pihak yang berniat jahat?

Belakangan saya berpikir juga. Jangan-jangan dokumen itu bikinan.
Dalam dokumen itu, seolah-olah ada rapat di rumah Megawati. Saya nggak bisa dan tidak mau menyalahkan anak buah. Saya katakan kepada mereka, you di pengadilan mau ngomong apa aja deh, saya akan ikuti. Saya diadili juga siap. Saya bilang, Haryanto Taslam saya perintahkan nggak untuk ditangkap? Tidak ada. Tapi saya ambil alih tanggung jawab. Di DKP pun saya katakan bahwa anak-anak itu tidak bersalah. Mereka adalah perwira-perwira yang terbaik. Saya tahu persis karena saya komandan mereka. Cek saja rekamannya di DKP. Tapi bahwa mungkin mereka salah menafsirkan, terlalu antusias, sehingga menjabarkan
perintah saya begitu, ya bisa saja. Atau ada titipan perintah dari
yang lain, saya tidak tahu. Intinya, saya mengaku bertanggung jawab.

Apa memang ada pihak yang ikut nimbrung saat itu memberikan perintah?

Bisa saja. Saya tidak tahu. Tapi tetap apa yang sudah terjadi adalah tanggung jawab saya. Tetap itu anak buah saya. Saya kan mesti percaya sama anak buah. Makanya saya nggak apa-apa diberhentikan. Saya nggak heran. Ini risiko saya. Iya kan?

Tapi kalau kemudian saya sudah berhenti, masih diisukan ini, itu,
dibuat begini, begitu. Ah…, saya merasa dikecewakan oleh Pak
Wiranto. Saya merasa harusnya dia tahu situasinya saat itu
bagaimana. Dia tahu kok ada perintah penyelidikan itu. Begitu dia
jadi pangab, saya juga laporkan, sedang ada operasi intelijen, sandi yudha, begini, begitu. Kepada beberapa menteri Pak Harto ngomong bahwa itu operasi intelijen. Tapi begitu Pak Harto tidak berkuasa, situasinya dimanfaatkan oleh perwira yang ingin menyingkirkan saya.

Apa betul AS berkepentingan agar Anda dipecat?

Tidak tahu. Tapi Cohen (Menhan AS William Cohen, Red.) kan ketemu saya juga.

Perintahnya menyelidiki kok bisa kepeleset menculik. Bagaimana itu?

Ya. Tapi dalam operasi intelijen itu kan biasanya kita ambil,
ditanyai, dan kalau bisa terus dia berkerja untuk kita. Kan begitu
prosedurnya. Sudahlah, itu kesalahan teknis, yang kemudian
dipolitisasi. Dan memang waktu itu saya harus dihabisi. Dulu Jenderal Soemitro dituduh terlibat Malari, mau menyaingi Pak Harto. Pak H.R. Dharsono dituduh terlibat kasus Tanjung Priok. Itu politik. Yang kemudian naik orang yang nggak bisa apa-apa, nggak pernah bikin inisiatif dan karenanya tidak pernah bikin salah. Lihat Prancis, itu kan negara yang menjunjung tinggi hak sasai manusia. Tapi, dia ledakkan kapal Greenpeace yang mau masuk ke perairan nasionalnya. Kalau sudah kepentingan nasional dia ledakkan itu.

Anda kan lama di luar negeri, besar di negara yang liberal, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kok Anda tetap mentolerir gaya penangkapan atau penculikan itu? Bukankah itu menjadi sorotan dunia internasional terhadap penegakan HAM di Indonesia?

Benar. Begini, secara moral, saya tidak salah karena orang-orang itu berniat berbuat kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Menurut saya membuat aksi pengeboman, membakar terminal, untuk mengorbankan orang-orang tidak berdosa. Mereka justru membahayakan hak asasi manusia orang lain. Tidak bisa dong. Kalau you berbeda dalam politik, you bertempur lewat partai politik. Jangan bikin aksi teror.

Informasi soal rencana pengeboman itu didapat dari interogasi, bukan kita ngarang. Dapat keterangan dari mereka. Anda dengar ancaman bom tiap minggu. Seluruh bank tutup, BI tutup. Korban kepada bangsa bagaimana. Itu aksi destabilisasi. Jadi, jangan salah, untuk menegakkan demokrasi, kita justru harus menjaga keamanan. Tidak bisa demokrasi tanpa keamanan. Itu duty kita, panggilan kita. Tapi, lawan-lawan saya lebih kuat. Punya media massa, punya kemampuan untuk perang psikologi massa.

Kok Anda dulu tidak segera membantah kalau memang merasa tidak bersalah?

Hashim memang menyuruh saya. Kamu harus jawab dong. Saya malas juga. Saya kan tidak berbuat. Saya percaya kebenaran akan muncul. Hashim bilang, “Tidak bisa dong kalau kamu diam berarti kamu mengakui itu benar.” Memang ada teori itu. Teori pengulangan kebohongan. Kalau diulang-ulang terus, orang jadi percaya. Itu teori yang digunakan Hitler kepada rakyat Jerman.

Anda tidak mau nuntut soal pemecatan itu karena tidak ingin
mempermalukan Pak Harto?

Benar, terutama itu. Juga tak ingin mencemari institusi ABRI,
khususnya TNI AD. Bagaimanapun juga Pak Harto jenderal bintang lima. Ini kan tidak baik dalam iklim dan budaya bangsa Indonesia. Apa pun yang terjadi. Ada masalah dilematis, bagaimanapun dia kakek dari anak saya. Itu yang dilematis. Walaupun dia kemudian membenci saya.

Sebelumnya, Prabowo merasa diperlakukan tidak adil kala dipaksa
menyerahkan jabatan sebagai pangkostrad pada 22 Mei 1998. “Saya tak sempat membuat memorandum serah terima jabatan. Istri saya, ketua Persit pun, tak sempat serah terima. Setahu saya, dalam sejarah ABRI, belum pernah ada perwira tinggi dipermalukan oleh institusinya, seperti yang saya alami,” kata Bowo. Dia memang digeser saat situasi politik gojang-ganjing dan Soeharto baru lengser pada 21 Mei 1998. Dugaan yang beredar saat itu, Bowo diganti karena dianggap hendak melancarkan kudeta kepada Habibie. Malam itu, sesudah pergantian presiden pagi harinya, situasi Jakarta memang genting. Sejumlah pasukan berseragam loreng tampak di seputar wilayah Istana Negara, Monas, Jakarta.

Dugaan terjadi pengepungan Istana sempat dibantah habis-habisan oleh Mabes ABRI. Padahal, sejumlah media massa memberitakannya. Kemudian, pada 22 Februari 1999, di depan sejumlah eksekutif pers dalam forum Asia-German Editors, di Istana Merdeka, Presiden Habibie bercerita soal pengepungan itu. Habibie mengaku keluarganya terancam malam itu, dan nyaris diungsikan. “Tidak usah ditutup-tutupi, kita tahulah yang
memimpin konsentrasi pasukan itu, orangnya Prabowo Subianto,” kata Habibie berapi-api. Dia mengaku diberi tahu Wiranto. Pers geger. Prabowo saat itu sudah di luar negeri. Lewat kawan dekatnya, ia membantah.

Dan, dua hari kemudian, dalam sidang di Komisi I DPR RI, Jenderal
Wiranto membantah ucapan Habibie. Menurutnya, itu bukan konsentrasi pasukan, melainkan konsolidasi. Tak ada yang berniat kudeta saat itu. Anehnya, Habibie tak bereaksi atas bantahan Wiranto itu. Sehingga publik makin bingung, mana yang benar, ucapan Habibie atau Wiranto. Benarkah Habibie dapat masukan dari Wiranto? Sebab dalam satu pertemuannya dengan tokoh Dewan Dakwah Islamiyah, 30 Juni 1998, Habibie mengaku diberi tahu soal konsentrasi pasukan itu oleh Letjen TNI Sintong Panjaitan, orang dekat Habibie yang kini menjabat
sesdalopbang.

Setelah berkelana di luar negeri, ketenangan Prabowo terusik oleh
ucapan Habibie itu, yang dikutip oleh pers luar negeri pula. Tapi,
bantahan Wiranto cukup menenangkannya. “Pak Wiranto harus membantah karena memang apa yang diucapkan Habibie tidak benar,” kata Bowo. Menurutnya, semua panglima saat itu menerima perintah dari Mabes ABRI. Saat situasi genting, ada pembagian tugas, bahwa Kopassus dipasrahi mengawal presiden dan wakil presiden, sedangkan Kostrad diminta menjaga objek vital dan strategis. Kata Prabowo, untuk melaksanakan perintah Mabes ABRI itulah sejumlah pasukan berada di sekitar kawasan Istana dan Monas. “Pak Wiranto tahu persis bahwa perintah itu ada. Saksinya banyak, para panglima komando,” kata Bowo

Dalam pemeriksaan di TGPF, ada kesan kegiatan Anda pada 13 Mei 1998 tidak diketahui. Muncul kecurigaan, Anda sedang apa saat itu? Apa sih yang Anda lakukan hari itu?

Saya mulai dari 12 Mei 1998. Malam itu, pukul 20.00 wib, ketika di
rumah Jl. Cendana No. 7, saya ditelepon Sjafrie (pangdam Jaya saat itu, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin). Kata dia, “Gawat nih Wo, ada mahasiswa yang tewas tertembak.” Saya lalu bergegas ke Makostrad. Saya sudah antisipasi, besok pasti ramai. Maka pasukan saya konsolidasi. Kalau perlu tambahan pasukan kan mesti disiapkan tempatnya. Mau ditaruh di mana mereka. Malam itu saya terus memantau situasi. Lalu, terpikir oleh saya, kelanjutan rencana acara Kostrad di Malang pada 14 Mei 1998. Rencananya inspektur upacara adalah Pangab Wiranto.
Pangkostrad juga harus hadir. Kalau ibu kota genting, apa kita masih pergi juga?

Keesokan harinya, sejak pukul 08.00 wib, saya mengontak Kol. Nur Muis dan menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran pangab dibatalkan saja karena situasi ibu kota genting. Biar saya saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana. Irup tetap Pak Wiranto dan saya selaku pangkostrad tetap hadir. Beberapa opsi usulan saya tawarkan kepada Pak Wiranto, yang intinya agar tidak meninggalkan ibu kota, karena keadaan sedang gawat. Posisi terpenting yang harus diamankan adalah ibu kota. Tapi, sampai sekitar delapan kali saya telepon, keputusan tetap sama. Itu terjadi sampai malam hari.

Jadi, pada 14 Mei, pukul 06.00 wib kita sudah berada di lapangan Halim Perdanakusumah. Saya kaget juga. Panglima utama ada di sana. Danjen Kopassus segala ikut. Saya membatin, sedang genting begini kok seluruh panglima, termasuk panglima ABRI malah pergi ke Malang. Padahal, komandan batalion sekalipun sudah diminta membuat perkiraan cepat, perkiraan operasi, begini, lantas bagaimana setelahnya. Tapi, ya sudah, saya patuh saja pada perintah. Saya ikut ke Malang.

Kembali ke Jakarta sekitar pukul 11.00 wib. Ketika hendak mendarat di Halim, ibu kota terlihat diselimuti asap hitam. Selanjutnya, seperti telah ditulis di berbagai media massa, saya membantu mengingatkan Sjafrie perlunya mengamankan ibu kota lewat patroli dengan panser di sepanjang Jl. Thamrin. Malam harinya, saya bertemu dengan sejumlah
orang di Makostrad. Itu yang kemudian dituduh mau merencanakan kerusuhan. Padahal, di tengah jalan sore itu saya ditelepon, karena Setiawan Djodi dan Bang Buyung Nasution ingin bertemu. Ternyata sudah ada beberapa orang di kantor saya, ada Fahmi Idris, Bambang Widjojanto, dan beberapa orang lain. Itu pertemuan terbuka, membicarakan situasi yang terakhir. Bang Buyung dominan sekali malam itu. Dia banyak bicara. Acara ditutup makan malam dan kemudian kami ada rapat staf di Mabes.

Kalau kemudian surat Muladi mengatakan saya bersalah karena gagal menjaga keselamatan negara sehingga menimbulkan kerusuhan 13-14 Mei, bagaimana ceritanya.

Pangkoops, selaku penanggung jawab keamanan ibu kota adalah Pangdam Sjafrie?

Mestinya iya. Penanggung jawab yang lebih tinggi ya panglima ABRI.

Dalam pemeriksaan di TGPF, mantan Ka BIA Zacky Makarim, konon
mengatakan bahwa sebulan sebelum peristiwa Trisakti, ada perkiraan situasi intelijen versi Anda, yang mengatakan, eskalasi meningkat dan dikhawatirkan akan ada martir di kalangan mahasiswa. Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan itu?

Situasinya memang demikian. Aksi mahasiswa kan bukan cuma di Jakarta, melainkan meluas ke daerah. Di Yogyakarta, aksi mahasiswa malah sempat bentrok. Berdasarkan analisis situasi, saya mengingatkan kemungkinan adanya eskalasi yang memanas dan kalau aksi mahasiswa meluas, bukan tidak mungkin jatuh korban atau ada pihak-pihak yang ingin ada korban di pihak mahasiswa. Itu saya ingatkan.

Tapi, justru Anda dituduh bertanggung jawab atas penembakan mahasiswa Trisakti?

Iyalah. Saya ini selalu dituduh. Apa untungnya bagi saya membuat
jatuh korban? Saat itu kan presidennya Pak Harto. Mertua saya. Saya bagian dari status quo itu. Kan begitu tuduhannya. Masak saya membuat situasi agar Pak Harto jatuh. Pak Harto jatuh kan saya jatuh juga. Sejarah kan begitu kejadiannya.

Mungkin Anda ingin menunjukkan bahwa Wiranto tidak kapabel mengamankan
Jakarta?

Tidak ada alasan juga. Motifnya tidak ada.

Bukankah Anda pernah disebut-sebut minta jabatan pangab dan katanya dijanjikan Habibie untuk jadi pangab?

Lebih dari tiga kali Habibie mengatakan kepada saya. “Bowo, kalau
saya jadi presiden, you pangab.” Itu faktanya. Habibie bahkan
mengatakan saya ini sudah dianggap anak ketiganya. Saya memang dekat dengan Habibie, karena saya mengagumi kepandaiannya, visinya. Meskipun sekarang saya kecewa karena dia menuduh saya berbuat sesuatu yang bohong. Saya merasa dikhianati. Bahwa saya ingin jadi pangab, apakah itu salah. Setiap prajurit, tentara, tentu bercita-cita menjadi pangab. Why not? Saya tidak pernah menyembunyikan itu. Bahwa kemudian dipolitisasi, seolah-olah pada saat genting, saat pergantian kepemimpinan 21 Mei 1998 itu, saya minta jadi pangab, silakan saja. Tapi, saya tak pernah minta jadi pangab kepada Habibie.

Benar tidak Anda pernah didesak jadi pangab sekitar 19-20 Mei itu?

Ada yang mendesak. Bahkan ada yang mengusulkan agar saya mengambil alih situasi. Saya tolak. Saya orang yang konstitusional. Wapres masih ada dan sehat. Menhankam/Pangab masih ada. Tidak ada alasan untuk mengambil alih. Kalau saya melakukan kudeta, setelah itu mau apa? Inkonstitusional, tidak demokratis, dan lebih berat lagi, secara psikologis saya ini kan terkait dengan keluarga Pak Harto. Kalau Pak Harto sudah menyerahkan ke Habibie, masak saya mau kudeta? Di luar itu semua, yang terpenting, saya berasal dari keturunan keluarga pejuang. Anda tahu paman saya gugur sebagai pahlawan muda. Kakek saya pejuang. Moyang saya, selalu berjuang melawan penjajah kolonial Belanda.
Bagaimana mungkin saya menodai garis keturunan yang begitu saya banggakan, dengan berpikir mengambil alih kekuasaan secara
inkonstitusional.

Ketika Habibie mengatakan Anda datang menemui Habibie pada 22 Mei 1998, benarkah Anda membawa senjata dan pasukan sehingga Habibie merasa terancam?

Senjata saya tanggalkan di depan pintu. Jangankan menghadap presiden, wong menghadap komandan kompi saja senjata harus dicopot. Bohong besar berita yang mengatakan saya hendak mengancam Habibie.

Jujur saja, kalau memang saya ingin, bisa saja. Jangan meremehkan pasukan Kopassus, tempat saya dibesarkan. Ingat, Pak Sarwo Edhi (almarhum) hanya butuh dua kompi untuk mengatasi situasi saat G-30-S/PKI. Dan anak buah saya memang ada yang sakit hati saya diberhentikan seperti itu. Pataka komando hendak diambil begitu saja tanpa sepengetahuan saya. Saya datang ke Habibie karena sebelumnya dia selalu berkata. “Bowo, kalau ada keragu-raguan, jangan segan-segan menemui saya.” Itulah yang saya lakukan. Menemui Habibie untuk bertanya apakah betul dia ingin mengganti saya dari jabatan pangkostrad. Habibie bilang turuti saja perintah atasan. Ini kemauan ayah mertua kamu juga. Jadi, Pak Harto memang minta saya diganti.

Soal anggapan bahwa para jenderal ingin menyingkirkan Anda, apakah ini disebabkan oleh sikap Anda sebelumnya yang disebut arogan, karena dekat dengan pusat kekuasaan?

Saya akui, itu ciri khas. Dan itu jadi senjata buat yang ingin
menjatuhkan. Tapi kita lihat kepemimpinan itu dari output. Bisa
tidak meraih prestasi kalau prajuritnya tak semangat. Semangat itu
tidak bisa dibeli dengan uang. Kadang-kadang mereka mau mati karena bendera. Kain itu harganya berapa? Tentara Romawi mati-matian demi bendera. Itu kan kebanggaan. Bagaimana? Saya ciptakan teriakan, berapa harganya? Saya dapatkan dari gaya suku dayak. Teriakan panjang itu bisa membangkitkan semangat, mengurangi ketakutan, dan menakutkan musuh. Pakai duit berapa? Tapi hal-hal ini tidak populer di mata the salon officer. Apa nih Prabowo pakai nyanyi-nyanyi segala. Pakai bendera, pakai teriakan. Kenapa orang fanatik membela sepakbola, sampai membakar, ini psikologi massa. Masa kita mau mati karena uang? Buat apa uangnya kalau kita harus mati.

Sebagai menantu presiden saat itu, tentu Anda lebih mudah naik pangkat dibanding yang lain. Ini bikin cemburu juga kan?

Ya, tapi akses kepada penguasa politik. Itu wajar. Jenderal Colin
Powell, peringkat ke berapa dia bisa jadi pangab AS. Dia bekas
sekretaris militer Bush waktu jadi wakil presiden. Jadi, waktu Bush
jadi presiden, dia jadi pangab. Bahwa saya punya akses kepada penguasa politik, saya sependapat. Tapi kan bukan hanya saya. Pak Wiranto kan dari ajudan presiden. Langsung kasdam, langsung pangdam, langsung pangkostrad. Itu kan tuduhan saja kepada saya. Coba dilihat berapa kali saya VC (kontak senjata langsung di medan operasi), berapa kali bertugas di daerah operasi, berapa kali tim saya di Kopassus merebut kejuaraan, berapa kali operasi militer saya selesaikan, apa yang saya buat di Mount Everest itu kan mengangkat bangsa. Berapa saya melatih prajurit komando dari beberapa negara. Itu kan tidak dilihat. Yang
dicari cuma daftar dosa saya. Ya memang kalau you dalam keadaan kalah politik, segala dosa bisa ditemukan. Dia keluar negeri nggak izin, dia ini, dia itu. Semua bisa ketemu. Kalau menang? Itu kan politik.

Jordania, seolah menjadi negara ibu yang kedua bagi Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Di Amman, ibu kota Yordania yang terletak di
jazirah Arab, mantan pangkostrad ini tinggal di apartemen. Prabowo, yang dicopot dari jabatan dan kariernya di ABRI, mengaku jatuh cinta pada Jordania tanpa sengaja. “Saat saya disingkirkan oleh ABRI, oleh elite politik di Indonesia, negeri ini menerima saya dengan baik,”
kata dia.


Persahabatannya dengan Raja Abdullah dimulai kala sang raja masih pangeran dan menjadi komandan tentara Jordania. Mereka bertemu di AS, tak lama setelah Prabowo selesai berobat di Jerman, setelah pensiun dari militer tahun lalu. Pangeran Abdullah menyatakan simpati dan mengundangnya mampir ke Amman.

Undangan itu dipenuhi Bowo. Pada hari dan jam yang ditentukan (sekitar pukul satu siang), Prabowo berkunjung ke markas tentara pimpinan Pangeran Abdullah. Terkejut dia karena untuk menyambut kehadirannya telah disiapkan upacara penyambutan tamu secara militer. Padahal Prabowo datang mengenakan busana kasual. Oleh anak buah Pangeran Abdullah, Prabowo “dipaksa” menginspeksi pasukan. Di ujung barisan, Pangeran Abdullah tampak tersenyum-senyum dan memeluk Bowo. “Di sini, Anda tetap jenderal,” bisik Abdullah. Tak lama kemudian, menjelang ayahnya, Raja Hussein mangkat, Abdullah dinobatkan sebagai putra mahkota dan kemudian menjadi Raja Jordania.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Foto: Saya Dikhianati Habibie

Faktasebenarnya.com - Wawancara dari Bangkok, Thailand, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto bicara soal penculikan aktivis, dugaan keterlibatannya dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998, serta hubungannya dengan Soeharto, Habibie, dan Wiranto.

Dari siaran berita di radio, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto
mendengar berita rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bentukan Mabes ABRI. Ia diberhentikan dari karier militernya. Hari itu, Selasa, 25 Agustus 1998. “Saya tidak kaget,” kata Prabowo. Sebelum DKP mulai bekerja, mantan pangkostrad ini sudah tahu hasilnya. Ia harus menepi. Adalah mertuanya sendiri, mantan presiden Soeharto, yang mengisyaratkan agar ia keluar saja dari militer. “Itu lebih baik bagi ABRI,” kata Pak Harto, sekitar dua bulan sebelum keputusan itu. Sejak lengser dari posisi presiden, 21 Mei 1998, hubungan antara Prabowo dan mertuanya merenggang. Dia dianggap berkoalisi dengan Habibie untuk menekan Soeharto agar lengser, menilik situasi yang makin panas di masyarakat.

Keyakinan Prabowo makin kuat saat bertemu dengan mantan pangab Jenderal TNI (Purn.) L.B. Moerdani, pada satu acara, tak lama sebelum DKP mengakhiri pemeriksaannya. Di situ, Benny memberi sinyal yang sama. Karier Prabowo di militer sudah tamat. “Jadi, keputusan untuk menyingkirkan saya sudah jatuh sebelum DKP dibentuk,” tutur mantan danjen Kopassus ini. DKP dibentuk untuk mengusut dugaan keterlibatan sejumlah perwira tinggi ABRI dalam kasus penculikan sembilan aktivis.
Sanksi diberhentikan dari karier militer, bahasa halus untuk dipecat, cuma milik Prabowo. Mantan danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi P.R., penerus posisi Prabowo yang diangkat jadi pangkostrad, pada 20 Maret 1998, cuma dicopot dari jabatannya. Status militer tetap. Begitu juga Kolonel Chairawan, mantan komandan grup IV Kopassus.

Prabowo pasrah. “Ini risiko jabatan sebagai komandan,” katanya. Penangkapan aktivis terjadi kala ia masih menjabat danjen Kopassus. Dalam pemeriksaan terbukti, Tim Mawar yang beranggotakan 11 prajurit Kopassus pimpinan Sersan Mayor Bambang Kristiono mengaku “mengamankan”
sembilan aktivis itu, untuk melempangkan jalan bagi SU MPR 1998. Yang dia sesalkan, keputusan DKP justru tak pernah diterimanya langsung. Keesokan harinya, Prabowo menghadap ke Mabes ABRI, menanyakan ihwal keputusan itu. Dia bertemu Kasum ABRI Letjen TNI Fahroel Rozi, salah seorang anggota DKP, yang lantas menganjurkan Prabowo bertemu Panglima
ABRI Jenderal TNI Wiranto.

Kesempatan diberikan keesokan hari, Kamis, 27 Agustus 1998. Pertemuan itu cuma berlangsung 10 menit. Mengenang pertemuan tersebut, Prabowo mencatat reaksi Wiranto membingungkan. Panglima ABRI ini bersikap
seolah-olah tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Prabowo. “Kamu kan tahu kondisinya,” begitu ucapan Wiranto kepada Prabowo. Prabowo pun tak mau berbasa-basi. “I don’t like it,” katanya. Seraya menatap mata Wiranto, Prabowo minta maaf atas kesalahan yang dibuatnya selaku prajurit ABRI. Prabowo juga pamit untuk ke luar negeri, melaksanakan umrah dan berobat. “Saya sering mengalami kecelakaan dalam bertugas. Karena itu, saya akan menggunakan kesempatan ke luar negeri untuk berobat di Jerman,” kata Bowo, panggilan akrabnya. Dia juga minta tolong agar surat pensiunnya dari ABRI segera dikeluarkan agar dirinya bisa membantu adiknya, Hashim Djojohadikusumo berbisnis di Timur Tengah. “Saya kan perlu mencari nafkah,” ujar Bowo. Surat pensiun itu akhirnya diteken pada 20 November 1998, sementara TGPF menyampaikan laporannya pada 3 November 1998 Itulah pertemuan terakhir dengan Wiranto. Setelah itu, sambil mengantar anak dan istrinya, yang hendak ke AS, Prabowo berpamitan ke Pak Harto di Cendana.

Kini, setahun lebih berlalu. Langkah Prabowo jadi pebisnis makin
mantap. Penampilannya tampak lebih santai dan terbuka. Prabowo yang kini memakai kacamata baca itu kelihatan lebih gemuk. “Pakai kacamata biar tampak lebih intelek,” kata Bowo sambil terbahak. Perjalanan bisnisnya membuat ia sering mampir ke negara tetangga, bertemu relasi setempat, pun kawan-kawan dari Indonesia.

Kamis (14 Oktober) lalu, ia mampir sehari ke Bangkok dalam
perjalanannya ke Boston, AS, untuk acara keluarga. Di Bangkok, Prabowo sempat berbincang-bincang dengan empat wartawan dari Indonesia, termasuk dari Panji. Penulis berkesempatan ngobrol blak-blakan dengan Prabowo Rabu malam, dilanjutkan Kamis pagi hingga malam harinya. Ia didampingi Fadli Zon. Sejumlah pertanyaan Panji dijawabnya dengan terbuka meski pada beberapa poin ia minta nirwarta (off the record). “Saya tak ingin menimbulkan perpecahan dan perasaan tidak enak pada siapa pun,” kata Bowo.

Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?

Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali. Mungkin tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu kan khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis. Saya pribadi tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan teknis di lapangan. Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998. Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.

Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?

Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah terjadi ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal yang memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.

Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus `diamankan’ dalam konteks SU MPR?

Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.

Dari siapa Anda terima daftar itu?

Saya tidak bisa katakan. Semua sudah saya katakan di DKP. Kita ini kan harus menjaga kehormatan institusi ABRI. Keterangan saya di DKP ada rekamannya.

Benarkah daftar itu Anda terima langsung dari RI 1, yakni presiden saat itu, Soeharto?

Saya sulit menjawab. Kepada Pak Harto saya sangat hormat. Beliau panglima saya. Kepala negara saya. Bahkan, lebih jauh lagi, beliau mertua saya, kakek dari anak saya. Bayangkan sulitnya posisi saya. Tapi semua itu sudah saya sampaikan ke DKP.

Anda tidak tanya pada Pak Harto daftar itu didapat dari mana?

Tentu saya tanya.

Pak Harto ngomong apa pada Anda waktu memberikan daftar itu?

Ha…ha…ha…. Pertanyaan bagus, tetapi sulit dijawab.

Kapan Anda terima daftar itu dari Pak Harto?

Beberapa hari setelah ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi.

Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?

Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah
didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang ada di situ. Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi. Yang tiga, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan. Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka. Semua mencari mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat brifing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari ditanya. Sudah dapat belum si ini… begitu. Kejar-kejaran semua. Itu pun, maaf ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh, kalian saya perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala. Mereka ini namanya mau mencari prestasi. Tapi saya puji waktu mereka dapat. Mereka kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak itu. Soalnya Andi Arief kan dikejar-kejar.

Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto? Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan pangab saat itu, Jenderal Feisal Tanjung menerima daftar serupa?

Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar itu memang sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum. Tapi, sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit. Apalagi saya tak mau memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni ABRI, khususnya TNI.

Bukankah hubungan Anda dan Pak Harto belakangan retak?

Itu benar dan sangat saya sesalkan. Mungkin ada yang memberikan masukan kepada Pak Harto, seolah-olah saya sudah tidak loyal kepada beliau. Saya dikatakan sudah main mata dengan Pak Habibie dan karena itu menyarakan agar Pak Harto lengser pada pertengahan Mei. Mungkin itu yang membuat Pak Harto marah kepada saya. Ironis, bukan? Oleh masyarakat saya dianggap sebagai status quo karena menjadi bagian dari
Pak Harto. Saya tidak menyesal. Memang saya menikah dengan putrinya. Tapi Pak Harto sendiri, dan keluarganya, justru marah kepada saya.

Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?

Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur, setelah terjadi peristiwa
Trisakti, saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing.
Tampaknya Pak Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik saat itu menghendaki demikian. Saya juga kemukakan ini sehari setelah Pak Harto kembali dari Kairo (15 Mei 1998, Red.). Aaplagi Pak Harto di Kairo memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser. Mungkin ada yang tidak suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan terus terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ masalahnya.

Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan aktivis?

Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak adil.
Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya. Mereka merakit 40 bom. Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat. Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi. Bom yang meledak di rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang orang bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada spesialisasinya. Saya tidak bisa bikin bom. Jadi kita ini mencegah peledakan bom di tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal. Kita harusnya dapat ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi masyarakat yang terancam peledakan itu. Soal tiga orang, memang kesalahan. Saya minta maaf pada Haryanto Taslam dan yang lain. Tapi dia juga akhirnya terima kasih. Untung yang menangkap saya. Kan hidup semua. Saya mau bertemu mereka.

Anda pernah berpikir tidak bahwa dokumen atau daftar yang berasal dari rusun Tanah Tinggi itu buatan pihak yang berniat jahat?

Belakangan saya berpikir juga. Jangan-jangan dokumen itu bikinan.
Dalam dokumen itu, seolah-olah ada rapat di rumah Megawati. Saya nggak bisa dan tidak mau menyalahkan anak buah. Saya katakan kepada mereka, you di pengadilan mau ngomong apa aja deh, saya akan ikuti. Saya diadili juga siap. Saya bilang, Haryanto Taslam saya perintahkan nggak untuk ditangkap? Tidak ada. Tapi saya ambil alih tanggung jawab. Di DKP pun saya katakan bahwa anak-anak itu tidak bersalah. Mereka adalah perwira-perwira yang terbaik. Saya tahu persis karena saya komandan mereka. Cek saja rekamannya di DKP. Tapi bahwa mungkin mereka salah menafsirkan, terlalu antusias, sehingga menjabarkan
perintah saya begitu, ya bisa saja. Atau ada titipan perintah dari
yang lain, saya tidak tahu. Intinya, saya mengaku bertanggung jawab.

Apa memang ada pihak yang ikut nimbrung saat itu memberikan perintah?

Bisa saja. Saya tidak tahu. Tapi tetap apa yang sudah terjadi adalah tanggung jawab saya. Tetap itu anak buah saya. Saya kan mesti percaya sama anak buah. Makanya saya nggak apa-apa diberhentikan. Saya nggak heran. Ini risiko saya. Iya kan?

Tapi kalau kemudian saya sudah berhenti, masih diisukan ini, itu,
dibuat begini, begitu. Ah…, saya merasa dikecewakan oleh Pak
Wiranto. Saya merasa harusnya dia tahu situasinya saat itu
bagaimana. Dia tahu kok ada perintah penyelidikan itu. Begitu dia
jadi pangab, saya juga laporkan, sedang ada operasi intelijen, sandi yudha, begini, begitu. Kepada beberapa menteri Pak Harto ngomong bahwa itu operasi intelijen. Tapi begitu Pak Harto tidak berkuasa, situasinya dimanfaatkan oleh perwira yang ingin menyingkirkan saya.

Apa betul AS berkepentingan agar Anda dipecat?

Tidak tahu. Tapi Cohen (Menhan AS William Cohen, Red.) kan ketemu saya juga.

Perintahnya menyelidiki kok bisa kepeleset menculik. Bagaimana itu?

Ya. Tapi dalam operasi intelijen itu kan biasanya kita ambil,
ditanyai, dan kalau bisa terus dia berkerja untuk kita. Kan begitu
prosedurnya. Sudahlah, itu kesalahan teknis, yang kemudian
dipolitisasi. Dan memang waktu itu saya harus dihabisi. Dulu Jenderal Soemitro dituduh terlibat Malari, mau menyaingi Pak Harto. Pak H.R. Dharsono dituduh terlibat kasus Tanjung Priok. Itu politik. Yang kemudian naik orang yang nggak bisa apa-apa, nggak pernah bikin inisiatif dan karenanya tidak pernah bikin salah. Lihat Prancis, itu kan negara yang menjunjung tinggi hak sasai manusia. Tapi, dia ledakkan kapal Greenpeace yang mau masuk ke perairan nasionalnya. Kalau sudah kepentingan nasional dia ledakkan itu.

Anda kan lama di luar negeri, besar di negara yang liberal, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kok Anda tetap mentolerir gaya penangkapan atau penculikan itu? Bukankah itu menjadi sorotan dunia internasional terhadap penegakan HAM di Indonesia?

Benar. Begini, secara moral, saya tidak salah karena orang-orang itu berniat berbuat kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Menurut saya membuat aksi pengeboman, membakar terminal, untuk mengorbankan orang-orang tidak berdosa. Mereka justru membahayakan hak asasi manusia orang lain. Tidak bisa dong. Kalau you berbeda dalam politik, you bertempur lewat partai politik. Jangan bikin aksi teror.

Informasi soal rencana pengeboman itu didapat dari interogasi, bukan kita ngarang. Dapat keterangan dari mereka. Anda dengar ancaman bom tiap minggu. Seluruh bank tutup, BI tutup. Korban kepada bangsa bagaimana. Itu aksi destabilisasi. Jadi, jangan salah, untuk menegakkan demokrasi, kita justru harus menjaga keamanan. Tidak bisa demokrasi tanpa keamanan. Itu duty kita, panggilan kita. Tapi, lawan-lawan saya lebih kuat. Punya media massa, punya kemampuan untuk perang psikologi massa.

Kok Anda dulu tidak segera membantah kalau memang merasa tidak bersalah?

Hashim memang menyuruh saya. Kamu harus jawab dong. Saya malas juga. Saya kan tidak berbuat. Saya percaya kebenaran akan muncul. Hashim bilang, “Tidak bisa dong kalau kamu diam berarti kamu mengakui itu benar.” Memang ada teori itu. Teori pengulangan kebohongan. Kalau diulang-ulang terus, orang jadi percaya. Itu teori yang digunakan Hitler kepada rakyat Jerman.

Anda tidak mau nuntut soal pemecatan itu karena tidak ingin
mempermalukan Pak Harto?

Benar, terutama itu. Juga tak ingin mencemari institusi ABRI,
khususnya TNI AD. Bagaimanapun juga Pak Harto jenderal bintang lima. Ini kan tidak baik dalam iklim dan budaya bangsa Indonesia. Apa pun yang terjadi. Ada masalah dilematis, bagaimanapun dia kakek dari anak saya. Itu yang dilematis. Walaupun dia kemudian membenci saya.

Sebelumnya, Prabowo merasa diperlakukan tidak adil kala dipaksa
menyerahkan jabatan sebagai pangkostrad pada 22 Mei 1998. “Saya tak sempat membuat memorandum serah terima jabatan. Istri saya, ketua Persit pun, tak sempat serah terima. Setahu saya, dalam sejarah ABRI, belum pernah ada perwira tinggi dipermalukan oleh institusinya, seperti yang saya alami,” kata Bowo. Dia memang digeser saat situasi politik gojang-ganjing dan Soeharto baru lengser pada 21 Mei 1998. Dugaan yang beredar saat itu, Bowo diganti karena dianggap hendak melancarkan kudeta kepada Habibie. Malam itu, sesudah pergantian presiden pagi harinya, situasi Jakarta memang genting. Sejumlah pasukan berseragam loreng tampak di seputar wilayah Istana Negara, Monas, Jakarta.

Dugaan terjadi pengepungan Istana sempat dibantah habis-habisan oleh Mabes ABRI. Padahal, sejumlah media massa memberitakannya. Kemudian, pada 22 Februari 1999, di depan sejumlah eksekutif pers dalam forum Asia-German Editors, di Istana Merdeka, Presiden Habibie bercerita soal pengepungan itu. Habibie mengaku keluarganya terancam malam itu, dan nyaris diungsikan. “Tidak usah ditutup-tutupi, kita tahulah yang
memimpin konsentrasi pasukan itu, orangnya Prabowo Subianto,” kata Habibie berapi-api. Dia mengaku diberi tahu Wiranto. Pers geger. Prabowo saat itu sudah di luar negeri. Lewat kawan dekatnya, ia membantah.

Dan, dua hari kemudian, dalam sidang di Komisi I DPR RI, Jenderal
Wiranto membantah ucapan Habibie. Menurutnya, itu bukan konsentrasi pasukan, melainkan konsolidasi. Tak ada yang berniat kudeta saat itu. Anehnya, Habibie tak bereaksi atas bantahan Wiranto itu. Sehingga publik makin bingung, mana yang benar, ucapan Habibie atau Wiranto. Benarkah Habibie dapat masukan dari Wiranto? Sebab dalam satu pertemuannya dengan tokoh Dewan Dakwah Islamiyah, 30 Juni 1998, Habibie mengaku diberi tahu soal konsentrasi pasukan itu oleh Letjen TNI Sintong Panjaitan, orang dekat Habibie yang kini menjabat
sesdalopbang.

Setelah berkelana di luar negeri, ketenangan Prabowo terusik oleh
ucapan Habibie itu, yang dikutip oleh pers luar negeri pula. Tapi,
bantahan Wiranto cukup menenangkannya. “Pak Wiranto harus membantah karena memang apa yang diucapkan Habibie tidak benar,” kata Bowo. Menurutnya, semua panglima saat itu menerima perintah dari Mabes ABRI. Saat situasi genting, ada pembagian tugas, bahwa Kopassus dipasrahi mengawal presiden dan wakil presiden, sedangkan Kostrad diminta menjaga objek vital dan strategis. Kata Prabowo, untuk melaksanakan perintah Mabes ABRI itulah sejumlah pasukan berada di sekitar kawasan Istana dan Monas. “Pak Wiranto tahu persis bahwa perintah itu ada. Saksinya banyak, para panglima komando,” kata Bowo

Dalam pemeriksaan di TGPF, ada kesan kegiatan Anda pada 13 Mei 1998 tidak diketahui. Muncul kecurigaan, Anda sedang apa saat itu? Apa sih yang Anda lakukan hari itu?

Saya mulai dari 12 Mei 1998. Malam itu, pukul 20.00 wib, ketika di
rumah Jl. Cendana No. 7, saya ditelepon Sjafrie (pangdam Jaya saat itu, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin). Kata dia, “Gawat nih Wo, ada mahasiswa yang tewas tertembak.” Saya lalu bergegas ke Makostrad. Saya sudah antisipasi, besok pasti ramai. Maka pasukan saya konsolidasi. Kalau perlu tambahan pasukan kan mesti disiapkan tempatnya. Mau ditaruh di mana mereka. Malam itu saya terus memantau situasi. Lalu, terpikir oleh saya, kelanjutan rencana acara Kostrad di Malang pada 14 Mei 1998. Rencananya inspektur upacara adalah Pangab Wiranto.
Pangkostrad juga harus hadir. Kalau ibu kota genting, apa kita masih pergi juga?

Keesokan harinya, sejak pukul 08.00 wib, saya mengontak Kol. Nur Muis dan menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran pangab dibatalkan saja karena situasi ibu kota genting. Biar saya saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana. Irup tetap Pak Wiranto dan saya selaku pangkostrad tetap hadir. Beberapa opsi usulan saya tawarkan kepada Pak Wiranto, yang intinya agar tidak meninggalkan ibu kota, karena keadaan sedang gawat. Posisi terpenting yang harus diamankan adalah ibu kota. Tapi, sampai sekitar delapan kali saya telepon, keputusan tetap sama. Itu terjadi sampai malam hari.

Jadi, pada 14 Mei, pukul 06.00 wib kita sudah berada di lapangan Halim Perdanakusumah. Saya kaget juga. Panglima utama ada di sana. Danjen Kopassus segala ikut. Saya membatin, sedang genting begini kok seluruh panglima, termasuk panglima ABRI malah pergi ke Malang. Padahal, komandan batalion sekalipun sudah diminta membuat perkiraan cepat, perkiraan operasi, begini, lantas bagaimana setelahnya. Tapi, ya sudah, saya patuh saja pada perintah. Saya ikut ke Malang.

Kembali ke Jakarta sekitar pukul 11.00 wib. Ketika hendak mendarat di Halim, ibu kota terlihat diselimuti asap hitam. Selanjutnya, seperti telah ditulis di berbagai media massa, saya membantu mengingatkan Sjafrie perlunya mengamankan ibu kota lewat patroli dengan panser di sepanjang Jl. Thamrin. Malam harinya, saya bertemu dengan sejumlah
orang di Makostrad. Itu yang kemudian dituduh mau merencanakan kerusuhan. Padahal, di tengah jalan sore itu saya ditelepon, karena Setiawan Djodi dan Bang Buyung Nasution ingin bertemu. Ternyata sudah ada beberapa orang di kantor saya, ada Fahmi Idris, Bambang Widjojanto, dan beberapa orang lain. Itu pertemuan terbuka, membicarakan situasi yang terakhir. Bang Buyung dominan sekali malam itu. Dia banyak bicara. Acara ditutup makan malam dan kemudian kami ada rapat staf di Mabes.

Kalau kemudian surat Muladi mengatakan saya bersalah karena gagal menjaga keselamatan negara sehingga menimbulkan kerusuhan 13-14 Mei, bagaimana ceritanya.

Pangkoops, selaku penanggung jawab keamanan ibu kota adalah Pangdam Sjafrie?

Mestinya iya. Penanggung jawab yang lebih tinggi ya panglima ABRI.

Dalam pemeriksaan di TGPF, mantan Ka BIA Zacky Makarim, konon
mengatakan bahwa sebulan sebelum peristiwa Trisakti, ada perkiraan situasi intelijen versi Anda, yang mengatakan, eskalasi meningkat dan dikhawatirkan akan ada martir di kalangan mahasiswa. Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan itu?

Situasinya memang demikian. Aksi mahasiswa kan bukan cuma di Jakarta, melainkan meluas ke daerah. Di Yogyakarta, aksi mahasiswa malah sempat bentrok. Berdasarkan analisis situasi, saya mengingatkan kemungkinan adanya eskalasi yang memanas dan kalau aksi mahasiswa meluas, bukan tidak mungkin jatuh korban atau ada pihak-pihak yang ingin ada korban di pihak mahasiswa. Itu saya ingatkan.

Tapi, justru Anda dituduh bertanggung jawab atas penembakan mahasiswa Trisakti?

Iyalah. Saya ini selalu dituduh. Apa untungnya bagi saya membuat
jatuh korban? Saat itu kan presidennya Pak Harto. Mertua saya. Saya bagian dari status quo itu. Kan begitu tuduhannya. Masak saya membuat situasi agar Pak Harto jatuh. Pak Harto jatuh kan saya jatuh juga. Sejarah kan begitu kejadiannya.

Mungkin Anda ingin menunjukkan bahwa Wiranto tidak kapabel mengamankan
Jakarta?

Tidak ada alasan juga. Motifnya tidak ada.

Bukankah Anda pernah disebut-sebut minta jabatan pangab dan katanya dijanjikan Habibie untuk jadi pangab?

Lebih dari tiga kali Habibie mengatakan kepada saya. “Bowo, kalau
saya jadi presiden, you pangab.” Itu faktanya. Habibie bahkan
mengatakan saya ini sudah dianggap anak ketiganya. Saya memang dekat dengan Habibie, karena saya mengagumi kepandaiannya, visinya. Meskipun sekarang saya kecewa karena dia menuduh saya berbuat sesuatu yang bohong. Saya merasa dikhianati. Bahwa saya ingin jadi pangab, apakah itu salah. Setiap prajurit, tentara, tentu bercita-cita menjadi pangab. Why not? Saya tidak pernah menyembunyikan itu. Bahwa kemudian dipolitisasi, seolah-olah pada saat genting, saat pergantian kepemimpinan 21 Mei 1998 itu, saya minta jadi pangab, silakan saja. Tapi, saya tak pernah minta jadi pangab kepada Habibie.

Benar tidak Anda pernah didesak jadi pangab sekitar 19-20 Mei itu?

Ada yang mendesak. Bahkan ada yang mengusulkan agar saya mengambil alih situasi. Saya tolak. Saya orang yang konstitusional. Wapres masih ada dan sehat. Menhankam/Pangab masih ada. Tidak ada alasan untuk mengambil alih. Kalau saya melakukan kudeta, setelah itu mau apa? Inkonstitusional, tidak demokratis, dan lebih berat lagi, secara psikologis saya ini kan terkait dengan keluarga Pak Harto. Kalau Pak Harto sudah menyerahkan ke Habibie, masak saya mau kudeta? Di luar itu semua, yang terpenting, saya berasal dari keturunan keluarga pejuang. Anda tahu paman saya gugur sebagai pahlawan muda. Kakek saya pejuang. Moyang saya, selalu berjuang melawan penjajah kolonial Belanda.
Bagaimana mungkin saya menodai garis keturunan yang begitu saya banggakan, dengan berpikir mengambil alih kekuasaan secara
inkonstitusional.

Ketika Habibie mengatakan Anda datang menemui Habibie pada 22 Mei 1998, benarkah Anda membawa senjata dan pasukan sehingga Habibie merasa terancam?

Senjata saya tanggalkan di depan pintu. Jangankan menghadap presiden, wong menghadap komandan kompi saja senjata harus dicopot. Bohong besar berita yang mengatakan saya hendak mengancam Habibie.

Jujur saja, kalau memang saya ingin, bisa saja. Jangan meremehkan pasukan Kopassus, tempat saya dibesarkan. Ingat, Pak Sarwo Edhi (almarhum) hanya butuh dua kompi untuk mengatasi situasi saat G-30-S/PKI. Dan anak buah saya memang ada yang sakit hati saya diberhentikan seperti itu. Pataka komando hendak diambil begitu saja tanpa sepengetahuan saya. Saya datang ke Habibie karena sebelumnya dia selalu berkata. “Bowo, kalau ada keragu-raguan, jangan segan-segan menemui saya.” Itulah yang saya lakukan. Menemui Habibie untuk bertanya apakah betul dia ingin mengganti saya dari jabatan pangkostrad. Habibie bilang turuti saja perintah atasan. Ini kemauan ayah mertua kamu juga. Jadi, Pak Harto memang minta saya diganti.

Soal anggapan bahwa para jenderal ingin menyingkirkan Anda, apakah ini disebabkan oleh sikap Anda sebelumnya yang disebut arogan, karena dekat dengan pusat kekuasaan?

Saya akui, itu ciri khas. Dan itu jadi senjata buat yang ingin
menjatuhkan. Tapi kita lihat kepemimpinan itu dari output. Bisa
tidak meraih prestasi kalau prajuritnya tak semangat. Semangat itu
tidak bisa dibeli dengan uang. Kadang-kadang mereka mau mati karena bendera. Kain itu harganya berapa? Tentara Romawi mati-matian demi bendera. Itu kan kebanggaan. Bagaimana? Saya ciptakan teriakan, berapa harganya? Saya dapatkan dari gaya suku dayak. Teriakan panjang itu bisa membangkitkan semangat, mengurangi ketakutan, dan menakutkan musuh. Pakai duit berapa? Tapi hal-hal ini tidak populer di mata the salon officer. Apa nih Prabowo pakai nyanyi-nyanyi segala. Pakai bendera, pakai teriakan. Kenapa orang fanatik membela sepakbola, sampai membakar, ini psikologi massa. Masa kita mau mati karena uang? Buat apa uangnya kalau kita harus mati.

Sebagai menantu presiden saat itu, tentu Anda lebih mudah naik pangkat dibanding yang lain. Ini bikin cemburu juga kan?

Ya, tapi akses kepada penguasa politik. Itu wajar. Jenderal Colin
Powell, peringkat ke berapa dia bisa jadi pangab AS. Dia bekas
sekretaris militer Bush waktu jadi wakil presiden. Jadi, waktu Bush
jadi presiden, dia jadi pangab. Bahwa saya punya akses kepada penguasa politik, saya sependapat. Tapi kan bukan hanya saya. Pak Wiranto kan dari ajudan presiden. Langsung kasdam, langsung pangdam, langsung pangkostrad. Itu kan tuduhan saja kepada saya. Coba dilihat berapa kali saya VC (kontak senjata langsung di medan operasi), berapa kali bertugas di daerah operasi, berapa kali tim saya di Kopassus merebut kejuaraan, berapa kali operasi militer saya selesaikan, apa yang saya buat di Mount Everest itu kan mengangkat bangsa. Berapa saya melatih prajurit komando dari beberapa negara. Itu kan tidak dilihat. Yang
dicari cuma daftar dosa saya. Ya memang kalau you dalam keadaan kalah politik, segala dosa bisa ditemukan. Dia keluar negeri nggak izin, dia ini, dia itu. Semua bisa ketemu. Kalau menang? Itu kan politik.

Jordania, seolah menjadi negara ibu yang kedua bagi Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Di Amman, ibu kota Yordania yang terletak di
jazirah Arab, mantan pangkostrad ini tinggal di apartemen. Prabowo, yang dicopot dari jabatan dan kariernya di ABRI, mengaku jatuh cinta pada Jordania tanpa sengaja. “Saat saya disingkirkan oleh ABRI, oleh elite politik di Indonesia, negeri ini menerima saya dengan baik,”
kata dia.

Persahabatannya dengan Raja Abdullah dimulai kala sang raja masih pangeran dan menjadi komandan tentara Jordania. Mereka bertemu di AS, tak lama setelah Prabowo selesai berobat di Jerman, setelah pensiun dari militer tahun lalu. Pangeran Abdullah menyatakan simpati dan mengundangnya mampir ke Amman.

Undangan itu dipenuhi Bowo. Pada hari dan jam yang ditentukan (sekitar pukul satu siang), Prabowo berkunjung ke markas tentara pimpinan Pangeran Abdullah. Terkejut dia karena untuk menyambut kehadirannya telah disiapkan upacara penyambutan tamu secara militer. Padahal Prabowo datang mengenakan busana kasual. Oleh anak buah Pangeran Abdullah, Prabowo “dipaksa” menginspeksi pasukan. Di ujung barisan, Pangeran Abdullah tampak tersenyum-senyum dan memeluk Bowo. “Di sini, Anda tetap jenderal,” bisik Abdullah. Tak lama kemudian, menjelang ayahnya, Raja Hussein mangkat, Abdullah dinobatkan sebagai putra mahkota dan kemudian menjadi Raja Jordania.
 
 
Character assasination terhadap Prabowo Subianto memang sangat luar biasa. Tak ada hari tanpa cemooh di media massa. Serangan bertubi-tubi oleh lawan-lawan politiknya, tidak membuat Prabowo kehilangan kendali. Ia merenung, melihat masa depan diri nya. Tak ada tempat buat dirinya lagi di TNI, institusi yang sangat ia cintai. Tempat ia ,menghabiskan sebagiab besar hidup nya. Untuk menenangkan diri nya, Prabowo teringat pada sahabat karib nya, Pangeran Abdullah dari Yordania. Ia memutuskan untuk mengunjungi sahabat nya itu, meninggalkan Jakarta yang oenuh intrik dan tipu muslihat.

Rupa nya sahabat karib nya semasa pendidikan militer di Amerika, mencermati perkembangan politik di Jakarta. Pangeran Abdullah melihat Prabowo sedang dijadikan sasaran politik oleh lawan-lawan nya. dalam sebuah persekongkolan yang sangat sistematis. Ketika mendengar Prabowo dicopot dari jabatan nya, Raja Abdullah menawarkan pesawat sewaktu-waktu diperlukan.

Bagaimanapun Prabowo yakin bahwa sejka lama musuh-musuh nya telah memutuskan untuk mengeluarkan ia dari TNI. Persiapan untuk ini tampak nya sudah matang. Mereka mungkin akan begitu mudah untuk membuat keputusan terhadap hidup nya. Mereka tahu Prabowo secara psikologis telah berhasil dilemahkan. Dalam pandangan publik dialah yang bertanggung jawab atas kejahatan yang baru-baru terjadi.

Jadi kalau ia korban dari "kejadian" meracuni secara instan, akankah seseorang mempermasalahkan untuk kemudian protes? Daripada menghabiskan waktu untuk memikirkan nasib nya di Jakarta, Prabowo memutuskan ke Yordania. Selanjutnya ia membutuhkan waktu untuk berfikir untuk meninggalkan ini semua.

Ketika Prabowo meninggalkan Indonesia, pada September 1998, ia langsung berangkat ke Amerika Serikat. Ia ingin mengunjungi putra nya yang sedang bersekolah di Boston. Ia telah ,mendengar juga bahwa Pangeran Abdullah sedang berada di Washington DC. Ayahnya, Raja Husein, sedang dirawat di rumah sakit di ibu kota negara itu. Setelah beberapa kali menelpon, mereka mengatur pertemuan dan Pangeran Abdullah mengatakan pada Prabowo bahwa ia akan disambut di Amman kapanpun.

Suatu hari kemudian Prabowo terbang menuju Yordania, kota persinggahan yang baru. Ia telah memberitahukan bahwa diri nya sedang dalam proses menjelang pensiun dari militer. Ia telah memikirkan diri nya sebagai seorang sipil walaupun secara resmi Markas Besar AD belum menerbitkan surat pensiun nya waktu itu. Dia memutuskan untuk melewati pintu gerbang resmi di bandara.

Suatu hari, ketika sedang berada di hotel nya di Amman, Prabowo mendapatkan pesan resmi yang menyatakan bahwa ia diundang ke Markas Angkatan Bersenjata Yordania. Pangeran Abdullah akan menerima nya sore hari dan sebuah mobil akan menjemputnya di hotel. Prabowo menggunakan pakaian sipil. Ia pernah mengunjungi markas tentara Yordania tetapi kini ia merasa bukan lagi seorang perwira.

Prabowo datang sedikit terlambat, dan saat sampai di gerbang, ia melihat barisan ganda pasukan yang membntuk penjagaan khusus kehormatan. Prabowo yakin bahwa pengunjung lain akan datang di waktu yang sama.

Ia keluar dari mobil dan segera berjalan menuju pintu samping. Segera satu-dua perwira berseragam mendatangi nya.

" Tidak Jenderal, tidak. anda harus lewat jalan ini untuk inspeksi Pengawal. "

Terkejut dan merasa terhormat, memeriksa barisan mengesankan Pasukan Bedouin. Pangeran Abdullah datang dan berkata pada nya sambil tertawa ringan:

" Bagi kami, anda tetap seorang Jendral ".
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pemberhentian dengan hormat Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto.

Isu Prabowo dipecat dari TNI merebak luas seiring pencalonan Prabowo Subianto menjadi Presiden 2014-2019. Masyarakat perlu mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi agar semua menjadi terang benderang. Pentingnya klarifikasi ini agar rakyat Indonesia bisa memilih presiden 9 Juli nanti dengan hati dingin dan jernih, tidak dikotori oleh kampanye hitam.

Dalam PP no 39 tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI, UU no. 34 tahun 2004 tentang TNI pasal 54, pemberhentian itu bisa berupa pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat.

Kronologi Pemberhentian Prabowo Subianto
Panglima ABRI Jendral TNI Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada tanggal 3 Agustus 1998.

Ketua Jenderal TNI Subagyo HS (selaku KSAD),
Wakil ketua:
- Letjen TNI Fachrul Razi (Kasum ABRI)
- Letjen TNI Yusuf Kartanegara (Irjen Dephankam).

Anggota
- Letjen TNI Soesilo Bambang Yudhoyono (Kassospol ABRI),
- Letjen TNI Agum Gumelar (Gubernur Lemhanas),
- Letjen TNI Djamiri Chaniago (Pangkostrad)
- Laksdya TNI Achmad Sutjipto (DanjenAkabri).

Hasil sidang DKP ini memberikan rekomendasi kepada presiden (BJ Habibie) untuk memberhentikan Letjend Prabowo Subianto dari dinas aktif militer yang di umumkan pada tanggal 24 Agustus 1998.

Sidang Keputusan Dewan kehormatan Perwira dilakukan tertutup, sehingga publik tidak punya akses terhadap dokumen keputusan DKP ini, namun pada tanggal 20 November 1998 Presiden BJ. Habibie menandatangani Surat Pensiun untuk Prabowo.

Pemberhentian dengan Pensiun = Pemberhentian dengan Hormat
Dari proses ini pemberhentian Prabowo ini adalah pemberhentian dengan hormat/ pensiun.

Karena Jika Seorang Prajurit TNI diberhentikan tidak dengan hormat maka otomatis dia akan kehilangan hak pensiunnya.

Seperti dinyatakan dalam Peraturan Menteri Pertahanan no. 32 tahun 2013 pasal 28 berbunyi:

“Hak yang diperoleh Prajurit TNI yang Diberhentikan Tidak Dengan Hormat tidak diberikan rawatan purnadinas kecuali Santunan Nilai Tunai Asuransi dari PT. ASABRI dan pengembalian Tabungan Wajib Perumahan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku“.

Rawatan Purnadinas di sini adalah salah satunya menyangkut pensiun.

Hak Prajurit yang Diberhentikan Dengan Hormat
Menurut UU no.34 tahun 2004 tentang TNI pasal 51 ayat (1) Prajurit yang diberhentikan dengan hormat memperoleh rawatan dan layanan purnadinas. dilanjutkan dengan ayat (2) Rawatan dan layanan purnadinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pensiun, tunjangan bersifat pensiun, tunjangan atau pesangon dan rawatan kesehatan.

Menurut PP no. 39 Tahun 2010 pasal 59 berbunyi: “Prajurit yang diberhentikan dengan hormat dari Dinas Keprajuritan, berkewajiban:
a. memelihara dan tidak menyalahgunakan perlengkapan perorangan yang diperolehnya“. Kemudian dilanjutkan dengan Pasal 61 ayat (1) Prajurit yang diberhentikan dengan hormat dari Dinas Keprajuritan, pada acara tertentu dapat menggunakan sebutan pangkatnya yang terakhir, mengenakan pakaian seragam TNI, dan mendapat perlakuan protokoler.

Fakta Prabowo Diberhentikan dengan Hormat/ Pensiun
Fakta-fakta yang dapat ditemui yang mendukung bahwa Prabowo Subianto diberhentikan secara hormat oleh Presiden BJ Habibie, bukan dipecat tidak hormat (Lihat foto)

1. PRABOWO MENGGUNAKAN PANGKAT TERAKHIR LETJEN (PURN)
Dalam berbagai kesempatan nama Letnan Jenderal TNI (pur) Prabowo Subianto, selalu dipergunakan. hal ini berarti bahwa Prabowo berhak menggunakan pangkat terakhirnya dengan tambahan purnawiran yang dapat diartikan sebagai Purnawirawan (pensiunan) TNI berpangkat terakhir Letnan Jendral.

2. MENDAPATKAN UANG PENSIUN

Prabowo-menyebut-jumlah-uang-pensiunnya

Dalam beberapa kesempatan, prabowo menceritakan mengenai uang pensiun bulanannya. Seperti saat menjadi pembicara di forum Indonesian Young Leaders Forum 2013 yang digelar HIPMI di Ballroom Pasific Place, Jakarta, Prabowo dengan santai menyebut jumlah gaji pensiun yang ia peroleh setiap bulannya. “Pensiunan seorang letnan jenderal seperti saya itu Rp 3,7 juta sebulan,” demikian prabowo mengungkapkan. (tempo.co).

3. ATRIBUT BENDERA PERWIRA TINGGI (RAPATI)
Di ruang kerjanya prabowo memajang dua bender yang satu bendera merah putih disampingnya ada bendera merah dengan bintang emas tiga buah? Bendera negara manakah itu? itu adalah bender perwira tinggi, karena pangkat terakhir Prabowo adalah letnan jenderal, sehingga berhak mendapatkan atribut bendera perwira tinggi (Rapati).

4. MENGGUNAKAN ATRIBUT PANGKAT DALAM ACARA RESMI
Sebagai bukti lagi bahwa prabowo dianggap pensiun atau diberhentikan dengan hormat adalah, prabowo diundang dalam acara-acara tertentu di kesatuan tempat dia berkarir dahulu dan menggunakan atribut panglima tingginya sebagai mana layaknya purnawirawan yang lain. Misalnya pada acara HUT Kopassus ke-61 di markas Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Selasa 16 April 2013. Dalam acara ini Prabowo menggunakan baret merah dengan lambang kopassus dan bintang tiga yang menandakan sebagai perwira tinggi berpangkat Letnan Jendral (purn).