Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kamis, 12 Juni 2014

Manuver Hendropriyono Ancam Kedaulatan Indonesia

Manuver Hendropriyono Ancam Kedaulatan Indonesia  

Hendropriyono (Foto: Okezone) JAKARTA - Sekretaris Jenderal Centre for Democracy and Sosial Justive Studies (CeDSoS) Umar Abduh, menilai manuver Hendropriyono dan menantunya Brigjend Andika Perkasa, dapat mengancam kedaulatan Indonesia.

Umar menjelaskan, sejak menjabat Ketua Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono sudah menggunakan menantunya yang masih berstatus sebagai perwira pasukan elite Sandhi Yudha Kopassus untuk memenuhi tujuan dan kepentingan operasi politik asing.

Hal tersebut diungkapkannya dalam sebuah buku berjudul Konspirasi Intelijen & Gerakan Islam Radikal (KIGIR). Buku tersebut juga menyuguhkan tentang dugaan adanya sandiwara dan berbagai manipulasi alur cerita, manipulasi aktor, viguran dalam drama kekerasan dan terorisme di Indonesia dengan target pemberangusan Jamaah Islamiyah.

"Saat itu Resolusi DK PBB (Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa) Nomor 1373 tentang pemberantasan terorisme global yang ditandatangani Presiden Megawati pada 24 Oktober 2001," jelas Umar dalam sebuah diskusi di Dapur Selera, Jakarta, Selasa (10/6/2014).

Dalam operasi tersebut, Jamaah Islamiyah yang dikomandoi Omar Farouq, Yassin Syawwal, Seyam Reda, dan Tengku Fauzi Hasbi Geudong diberi lebel pentolan teroris yang harus diburu, ditangkap dan dieksekusi.

Penyalahgunaan kekuasaan Hendro lainnya adalah operasi eliminasi Tengku Fauzi dan seluruh dokumen yang dimilikinya di Ambon pada 22 Februari 2003. "Dua bulan kemudian Hendro dengan deomstratif memamerkan dukungannya terhadap Pesantren Ma'had Al Zaytun, yang merupakan pesatren sesat," terang Umar.

Di akhir Jabatannya sebagai Kepala BIN, Hendro meninggalkan jabatan tanpa pamit sebulan menjelang pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada Oktober 2004.

"Pada momen itu dia juga mengevakuasi Kolonel AU Abdul Haris Doinny Brasco from Ciputat dengan menugaskannya sebagai sekretaris Kedubes RI di Yordania, sebelumnya dia mengevakuasi Andika Perkasa ke Amerika Serikat dengan cover cuti dinas untuk kuliah di Harvard Amerika hingga merai gelar MA MSc Phd," paparnya.

"Lima tahun cuti dinas dari Kopassus dan tanpa kabar tiba-tiba Andika Prakasa nongkrong di Suad Mabes AD dan empat tahun kemudian menjadi Danrem Kawal Sibolga Sumatera Utara dengan pangkat Kolonel. Dan dua bulan setelah itu diangkat menjadi Kadispenad dengan pangkat Brigjend," lanjutnya.

Menurut Umar, jika Hendro masih bermanuver politik artinya hal itu mengindikasi bahwa bisa saja posisi, peran dan manuver Andika Perkasa masih dalam jangkauanya selaku mertua.

Sehingga, wajar jika seorang Kadispenad berpangkat Brigjend berani menelikung keterangan seniornya yang Mayor Jenderal atas perintah Panglima TNI Jenderal Moeldoko.

"Saya memperingatkan tentang adanya potensi bahaya pada dua orang berbahaya ini, Hendro dan Andika, serta jaringan masyarakat, partai politik dan institusi yang mendukung serta memanfaatkannya," tegas Umar.

Pria yang berprofesi sebagai peneliti intelijen ini beranggapan, Hendro dan Andika memiliki nafsu jahat dengan cara mengadu domba dan merugikan agama dan bangsa. "Saya meyakini adanya bahaya besar atas keutuhan bangsa Indonesia, dengan membonceng momen Pilpres," katanya.

"Jika Umat Islam bersatu dengan TNI, maka bangsa Indonesia akan kuat menghadapi setiap ancaman para ekstrimis anti Islam, serta berdaulatnya Indonesia sebagai bangsa dan sebagai negara dari mereka yang mengatasnamakan pejuang Demokrasi, HAM dan pejuang Liberalisme yang terbukti maling dan korup," tuntasnya.

(sus)

Minggu, 08 Juni 2014

Melacak Tim Mawar

Ke manakah para perwira yang dulu terlibat dalam penculikan aktivis?
Apakah mereka masih memiliki karier militer setelah menjadi terpidana?
Apakah mereka masih terkait dengan gerakan politik mantan komandan mereka, Prabowo Subianto?
 
KONTROVERSI tentang Tim Mawar seakan tidak pernah lekang. Nama tim dari Kopassus yang melakukan penculikan para aktivis tahun 1997-1998 ini kembali mencuat terutama karena dikaitkan dengan sosok Prabowo Subianto, mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus yang kini menjadi calon kuat dalam pemilihan presiden RI. Prabowo adalah garis depan dan pusat dari kontroversi ini. Lawan-lawan politiknya menuduh bahwa dialah yang memerintahkan penculikan itu. Namun, Prabowo dan apparatchicks-nya di Partai Gerindra, dengan keras membantah hal tersebut. Mereka berusaha membangun ‘narasi’ bahwa mantan menantu Suharto itu tidak bersalah karena dia hanya menjalankan perintah atasannya.

Menariknya, di sisi lain, komandan tim penculik yang menjadi tersangka, mengaku di depan sidang pengadilan bahwa penculikan itu adalah inisiatif pribadinya. Komandan itu, Mayor Inf. Bambang Kristiono, dihukum 22 bulan penjara dan dipecat dari dinas militer. Bambang Kristiono juga mengaku bahwa timnya hanya menculik sembilan aktivis dan semua aktivis itu sudah dibebaskan. Ada tiga belas orang aktivis lain yang hilang sampai saat ini. Baik Prabowo Subianto maupun Tim Mawar, menolak bertanggung jawab atas nasib ketiga belas orang yang hilang ini. Cerita yang berkembang, ada ‘tim’ lain yang ikut menculik. Hingga saat ini, tidak ada kejelasan soal tiga belas yang hilang tersebut.

Para pelaku penculikan sudah diadili di pengadilan militer dan dihukum. Selama proses peradilan, terlihat banyak sekali kejanggalan selain juga tidak transparan. Awalnya, masyarakat diberitahu bahwa lima perwira dihukum dan dipecat dari dinas militer, sementara sisanya hanya dihukum dan tidak dipecat dari dinas militer. Namun, sekitar tahun 2006, masyarakat dikejutkan karena beberapa perwira yang diberitakan telah dipecat ini justru menjadi komandan Kodim (komando distrik militer) di beberapa daerah di Jawa dan di Ambon, Maluku. Kemudian, diketahui bahwa para perwira ini telah mengajukan banding atas keputusan pengadilan tingkat pertama. Di tingkat Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti), hakim memutuskan menambah hukuman tetapi tidak memecat mereka dari dinas militer, kecuali untuk Mayor Inf. Bambang Kristiono yang tetap dihukum 22 bulan penjara.1

Hampir tujuh belas tahun kemudian, ke manakah perwira-perwira Kopassus itu? Apakah karier militer mereka berhenti karena telah tercela melakukan suatu tindak pidana? Apakah mereka masih menjalin hubungan dengan bekas-bekas komandan mereka, terutama dengan Prabowo Subianto?

Penyelidikan mendalam atas beberapa perwira yang terlibat langsung dalam kasus penculikan itu menemukan fakta bahwa sebagian besar dari perwira-perwira ini menjalani karier militer dengan normal. Bahkan, beberapa di antara mereka memiliki karier yang menanjak di atas rata-rata dibandingkan rekan-rekan satu angkatannya di Akmil (akademi militer). Sementara, untuk perwira yang lebih senior, seperti Mayjen TNI (Pur) Muchdi Purwoprandjono-yang saat penculikan terbongkar menjabat sebagai Danjen Kopassus dan dicopot dari jabatannya-juga tidak mengalami hambatan berarti, baik dalam karier militernya maupun dalam kehidupan sipilnya setelah pensiun dari dinas militer. Demikian juga dengan Kol. Inf. Chairawan Kadarsyah Nusyirwan yang saat itu menjabat sebagai Komandan Grup-4 Kopassus. Dia memang diberhentikan dari kedudukan sebagai komandan Grup -4. tetapi dia kemudian berhasil menyelesaikan karier militernya dengan pangkat Mayor Jenderal.

Tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan tentang satuan tugas intelijen, yang oleh masyarakat dikenal dengan nama ‘Tim Mawar’ itu. Apakah sebenarnya Tim Mawar itu? Pertanyaan yang lebih penting: apakah ia benar-benar ada? Ada beberapa pihak yang meragukan bahwa tim ini sungguh pernah ada. Kemungkinannya adalah tim ini dinamakan ex post facto (setelah kejadian) dan ada lebih banyak perwira dan prajurit yang terlibat, tetapi tidak tersentuh oleh hukum.

Kemudian, kita akan membahas masing-masing perwira yang terlibat dalam kasus penculikan ini. Perjalanan karier mereka akan diteliti secara saksama. Ke mana mereka sesudah menjalani ‘hukuman’2 hingga saat ini? Tidak semua perwira-perwira ini bisa dilacak. Perwira-perwira yang bertugas di dunia intelijen terbukti lebih sulit untuk dilacak.

Penyelidikan untuk tulisan ini sebagian besar dilakukan lewat pencarian berita di media massa. Ada juga beberapa informan yang dihubungi baik lewat telepon maupun e-mail. Seluruh informan menolak diidentifikasikan karena mengkhawatirkan keselamatan mereka. Kekhawatiran itu menjadi bukti bahwa Indonesia masih merupakan wilayah berbahaya untuk melakukan kerja jurnalistik investigatif.
 
Tim Mawar: Apakah Sungguh Ada?
Hingga saat ini tidak ada yang tahu pasti apa itu Tim Mawar. Sebenarnya, keberadaan tim ini di luar kebiasaan operasi Kopassus. Berbagai studi militer Indonesia menunjukkan bahwa satuan Kopassus, yakni Grup-3 Sandi Yudha, mengemban fungsi sebagai intelijen tempur. Biasanya, dalam operasi, satuan intelijen Kopasssus diorganisasikan di dalam Satuan Tugas (Satgas). Satgas yang umum dikenal adalah Satgas Tribuana, yang pernah beroperasi di Timor Timur, Aceh dan Papua.3 Dari Satgas ini kemudian dibentuk satuan-satuan taktis (sattis) yang menangani satu tugas khusus seperti mengawasi satu kelompok, satu wilayah, melakukan penggalangan, atau inflitrasi.

Tidak terlalu jelas apakah ketika itu Tim Mawar adalah salah satu sattis di bawah komando Grup-4/Sandi Yudha. Di pengadilan militer, komandan Tim Mawar, Mayor Inf. Bambang Kristiono mengaku membentuk tim untuk melakukan penculikan atas inisiatif pribadi. Sulit untuk dimengerti bahwa satuan taktis dengan pola operasi dalam skala ini dan dilakukan di Markas Kopassus, Cijantung, dilakukan atas inisiatif seorang perwira menengah tanpa sepengetahuan atasannya.

Namun, ada hal-hal yang menarik dari Tim Mawar. Beberapa sumber yang dihubungi untuk tulisan ini mengatakan bahwa mereka sempat melihat beberapa perwira yang terlibat dalam penculikan 1998 perna bertugas di Dili, Timor-Timur, sebelum Pemilu 1997 dan pemilihan presiden 1998. Mereka tahu bahwa perwira-perwira tersebut adalah perwira-perwira Kopassus. Yang juga diketahui adalah beberapa perwira ini berkantor di kantor SGI.4

Sudah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat Timor-Timur bahwa penculikan dan penghilangan paksa merupakan metode kerja intelijen Indonesia di sana. Mungkinkah para perwira yang terlibat dalam penculikan ini sengaja ditarik dari tempat tugasnya di Timor-Timur, lalu ditugaskan di Jakarta? Jika benar ini adalah sebuah sattis di bawah Kopassus, pertanyaannya adalah: siapa yang membentuk? Kepada siapa tim ini bertanggungjawab? Bagaimana aliran komandonya?

Pertanyaan kedua yang sama pentingnya adalah seberapa besarkah tim ini? Yang kita ketahui dari proses peradilan adalah bahwa hanya ada delapan perwira pertama dan tiga bintara yang terlibat dalam penculikan. Komposisi terlihat sangat janggal mengingat banyaknya perwira dan sedikitnya prajurit yang terlibat. Ada juga spekulasi yang mengatakan bahwa sebenarnya jumlah anggota tim ini sebenarnya lebih besar daripada yang diungkap di pengadilan.

Terlalu banyak misteri yang meliputi tim ini. Namun, satu hal yang jelas, pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan dan perbuatan yang dilakukan tim ini tidak pernah dijawab dengan jelas.
 
Perwira-Perwira Terkait
Seperti yang kita ketahui, beberapa perwira yang terkait dengan Tim Mawar sudah menjalani hukuman. Mereka yang menanggung hukuman paling berat adalah para perwira pertama. Sementara, di level perwira tinggi dan menengah, hukuman maksimal yang dijatuhkan adalah pemberhentian dari dinas militer, ini dilakukan terhadap Prabowo Subianto. Atasan langsung dari tim penculik-Muchdi Pr. Dan Chairawan-hanya dibebaskan dari jabatannya. Muchdi Pr. dibebaskan dari jabatannya sebagai Komandan Jendral (Danjen) Kopassus dan Chairawan dibebastugaskan dari jabatannya sebagai komandan Grup-4/Sandi Yudha. Sementara itu, pelaku langsung di lapangan, Mayor Inf. Bambang Kristiono, dihukum dua puluh dua bulan penjara dan dipecat dari dinas militer.

Selain Prabowo Subianto, yang saat ini menjadi calon presiden RI 2014-2019, ke manakah perwira-perwira itu sekarang?
 1. Muchdi Purwopranjono(Akmil 1970)
Muchdi menamatkan kariernya dengan pangkat mayor Jenderal. Lulusan Akmil 1970 ini kembali ke dunia intelijen setelah diberhentikan sebagai komandan Kopassus. Muchdi dikenal sebagai Direktur V Badan Intelijen Nasional (BIN) yang membawahi keamanan dalam negeri. Pada masa jabatan itulah, Muchdi kembali terkenal karena diduga mendalangi pembunuhan aktivis HAM Munir bin Thalib. Muchdi sempat ditahan, tetapi lewat proses pengadilan yang sangat kontroversial, dia dibebaskan dari semua tuduhan.5

Bersama Prabowo Subianto, Muchdi terlibat dalam mendirikan partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), pada tahun 2006. Namun, dia meninggalkan Gerindra pada awal 2012, lalu memilih bergabung dengan PPP. Langkahnya meninggalkan Gerindra ini mengejutkan banyak pihak, karena tidak terlihat adanya konflik atau perselisihan antara Muchdi dengan Prabowo. Spekulasi yang menguar di banyak orang adalah Muchdi meninggalkan Gerindra agar dapat ‘menggarap PPP’ guna kepentingan Prabowo di dalam pemilihan presiden 2014.6 Muchdi juga bermanuver agar bisa duduk sebagai ketua umum PPP, tetapi gagal. Di dalam PPP sendiri, sebenarnya juga sudah ada Kivlan Zen, yang menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad semasa Prabowo menjadi Pangkostrad. Kivlan juga dikenal sebagai loyalis Prabowo.

Selain di PPP, Muchdi juga aktif di Muhammadiyah. Pada saat Muktamar Muhammadiyah 2010, ia berusaha untuk duduk dalam susunan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Namun dia gagal lagi. Di dalam Muhammadiyah, Muchdi menjadi ketua organisasi silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Dia bergabung dengan organisasi ini sejak 1963, sebelum terjun ke dunia militer. Menariknya, Tapak Suci juga bergabung di dalam Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), yang di dalamnya memuat Prabowo Subianto sebagai anggotanya. Keterlibatan Muchdi di dalam organisasi-organisasi Islam membuat orang menduga bahwa dia sebenarnya adalah ‘kaki Prabowo’ di dalam ormas-ormas Islam.

Selain aktif sebagai politisi, Muchdi juga menjadi komisaris perusahaan kehutanan, yakni PT. Rizki Kacida Reana. Perusahan ini memiliki beberapa konsesi hutan sebesar kurang lebih tiga puluh ribu hektare di beberapa wilayah di Kalimantan Timur.7 Perusahan ini dimiliki oleh Epi S. Daskian yang sekaligus menjadi CEO. Muchdi dan Epi S. Daskian sama-sama duduk dalam organisasi alumni PII (Pelajar Islam Indonesia)
 
2. Chairawan Kadarsyah Nusyirwan (Akmil 1980)
Ketika kasus penculikan pecah ke permukaan, Kol. Inf. Chairawan menjabat sebagai komandan Grup-4/ Sandi Yudha Kopassus. Akibatnya, Chairawan dicopot dari kedudukannya sebagai komandan. Dia ‘diparkir’ di Mabes AD, namun itu tidak berlangsung lama. Dia kemudian menjadi perwira di Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.

Chairawan besar di lingkungan Kopassus, khususnya Sandi Yudha. Sandi Yudha adalah bagian dari Kopassus yang bertugas untuk mengumpulkan data intelijen tempur (combat-intelligence). Namun, dalam pelaksanaannya, Sandi Yudha juga melakukan tugas-tugas penggalangan (mobilization) dan perang urat-syaraf (psychological warfare). Narasumber yang diwawancarai untuk tulisan ini menginformasikan bahwa Chairawan bertugas sebagai komandan SGI (Satuan Gugus Intelijen) di Timor Timur, sebelum dia menjadi Komandan Grup-4. Sebagai komandan SGI, dia mengendalikan semua operasi intelijen Kopassus di wilayah itu. Namun, sebagaimana yang terjadi dalam operasi-operasi militer di Indonesia, Kopassus memiliki keistimewaan sebagai pasukan elite. Mereka kerap beroperasi sendiri tanpa pengetahuan dan kendali dari komandan-komandan militer tingkat lokal. Itulah yang membuat SGI, kadang-kadang, melakukan tindakan tanpa sepengetahuan komandan lokal.

Di BAIS, Chairawan banyak menangani Aceh. Pada tahun 2004, dia terlihat mendampingi delegasi Uni Eropa yang memantau gencatan senjata antara Republik Indonesia dan pihak Gerakan Aceh Merdeka.9 Namanya muncul lagi ke permukaan ketika diangkat menjadi komandan Korem 011/Lilawangsa, yang dijabatnya lebih dari setahun (30 Januari 2005 hingga 29 Mei 2006. Setelah itu, Chairawan kemudian mendapat promosi ke pangkat Brigadir Jenderal dan dipindah menjadi Kepala Pos Wilayah (Kaposwil) Badan Intelijen Nasional di Aceh.10 Jabatan sebagai orang intelijen nomor satu di Aceh dipegangnya kira-kira selama dua tahun sebelum dia dimutasi ke Mabes TNI. Namanya muncul kembali dalam pusaran perpindahan jabatan di TNI pada bulan Mei 2010. Kali ini ia diangkat menjadi Kepala Dinas Jasmani TNI-AD (Kadisjasad). Karier selanjutnya ia menjabat sebagai staf ahli BIN.11 Chairawan pensiun dengan pangkat mayor jenderal.

Segera setelah pensiun, Chairawan menjabat sebagai Komisaris PT Cowell Development Tbk, sebuah perusahan pengembang (real estate) yang dimiliki publik dan terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI). PT Cowell banyak membangun perumahan di pinggiran Jakarta, Tangerang, dan saat ini melebarkan sayap hingga ke Kalimantan Timur.12

Tidak terlalu sulit diduga ke mana orientasi politik Chairawan disalurkan sesudah pensiun dari tentara. Tanpa menunggu terlalu lama, ia bergabung ke Gerindra dan langsung diangkat menjadi anggota Dewan Pembina partai.13 Dia juga menjadi ketua dewan pembina sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bernama Solidaritas Rakyat Peduli Indonesia (Sorpindo).14 Dalam kampanye Pemilihan Umum legislatif 2014, Chairawan sangat aktif berkampanye untuk Gerindra di daerah yang telah lama menjadi spesialisasinya, Aceh.
 
3. Bambang Kristiono (Akmil 1985)
Bambang Kristiono adalah bekas komandan Batalion 42, Grup-4/Sandi Yudha Kopassus pada 1998. Dia juga salah satu komandan ‘Tim Mawar.’ Setidaknya, itulah yang diakuinya di depan pengadilan militer. Kristiono mengambilalih semua tanggung jawab penculikan aktivis, dan dengan demikian, ia membebaskan semua komandan yang waktu itu menjadi atasannya dari tuntutan hukum. Bambang Kristiono menanggung beban ini sendirian. Dia satu-satunya yang dipecat dari kesatuan militer ditambah hukuman penjara selama dua puluh dua bulan.

Seandainya Bambang Kristiono tidak terlibat dalam penculikan itu, dia mungkin sudah menjadi jenderal. Rekan-rekan seangkatannya, yang juga berkarier di Kopasus, seperti Doni Munardo dan (alm.) I Made Agra Sudiantara, saat ini sudah menyandang pangkat Mayor Jenderal. Saat ini Mayjen Doni Munardo kini adalah Komandan Pasukan Pengawal Presiden (Paspamres) dan alm. Mayjen I Made Agra Sudiantara sebelum meninggal menjabat sebagai komandan Pusat Persenjataan Infantri (Pussenif).

Setelah dipecat, hidup Bambang Kristiono tergantung pada belas kasihan Prabowo Subianto. Dia diberi pekerjaan sebagai direktur utama PT Tribuana Antar Nusa.15 Awalnya Perusahan ini adalah milik Yayasan Kobame (Korps Baret Merah) yang didirikan pada tahun 1993.16 Kini, ia menjadi anak perusahan dari Nusantara Energy Group milik Prabowo Subianto, yang bergerak di bidang transportasi. Perusahan ini memiliki kapal feri yang melayani penyeberangan Merak-Bakauheni dan melayani jasa transportasi untuk pengeboran minyak.

Bambang Kristiono juga bekerja sebagai operator politik Prabowo. Dialah yang menghubungi Pius Lustrilanang, seorang korban penculikan Tim Mawar , lalu mengajaknya bergabung ke Gerindra.17 Pada 2009, Bambang juga aktif dalam tim kampanye Megawati-Prabowo. Saat itu, dia bertugas sebagai tim kunjungan dan penyelenggara event.
 
4. Fausani Syahrial Multhazar18 [Akmil 1988]
Dalam kasus penculikan, Multhazar mengaku sebagai wakil komandan Tim Mawar. Pangkatnya saat itu adalah kapten. Beberapa korban penculikan mengenalinya dengan nama samaran ‘Bobby.’ Pada persidangan di Mahkamah Militer, dia dijatuhi hukuman 22 bulan penjara, lalu dipecat dari dinas militer. Namun di tingkat banding, keputusan ini diubah menjadi 36 bulan penjara tanpa pemecatan dari dinas militer. 

Karier militer Multhazar pun berlangsung normal. Namanya tertera pada daftar siswa yang mengikuti Dikreg Seskoad (Pendidikan Reguler di Sekolah Staf dan Komando TNI-AD) pada tahun 2003. Pada saat mengikuti pendidikan ini dia sudah menyandang pangkat mayor. Tidak diketahui ke mana dia setelah mengikuti pendidikan ini. Namun, namanya kembali menghiasi media media saat menjabat sebagai Komandan Kodim (Dandim) 0719/Jepara (24 Juli 2006–Mei 2008).

Setelah dua tahun menjabat sebagai Dandim, Multhazar dipindahkan menjadi Kasrem 173/Prajavirabraja di Biak. Tidak diketahui berapa lama dia menjabat sebagai Kasrem (paling lama biasanya dua tahun) dan ke mana dia setelah lepas dari jabatan itu. Posisinya yang terakhir adalah sebagai Kepala Bagian Pengamanan Biro Umum Setjen Kemhan,19 dengan pangkat kolonel.
 
5. Drs. Nugroho Sulistyo Budi (Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, UGM, angkatan 1985)
Di antara semua perwira yang terlibat dalam kasus penculikan aktivis, Nugroho Sulistyo Budi barangkali adalah figur yang paling menarik. Dia adalah satu-satunya perwira yang bukan tamatan Akademi Militer (Akmil). Ia belajar ilmu politik di jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1985 dan lulus tahun 1990.20 Tidak diketahui apakah Nugroho masuk dinas militer selama menjalani pendidikan di UGM atau setelah lulus kuliah. 21 Juga tidak diketahui bagaimana dia masuk ke dalam Kopassus dengan perjalanan karier yang boleh dibilang mengesankan.22 Beberapa narasumber yang dihubungi untuk penulisan artikel ini mengatakan cukup terkejut ketika mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah perwira militer, dan terlebih lagi perwira Kopassus yang terkait dengan kasus penculikan aktivis. Sebagian mengenangnya sebagai penari Jawa yang handal. Sementara yang lain mengenangnya sebagai ‘Michael Jackson-nya Fisipol’ karena rambutnya yang ikal dan kulitnya yang gelap. Dia memang sangat mirip dengan Michael Jackson, raja musik pop itu.

Beberapa tahun setelah tamat dari UGM, Nugroho terlihat sebagai perwira SGI di Timor Timur. Beberapa orang yang mengenalnya mengatakan bahwa dia ‘sangat berubah’ ketika bertugas di Timor Timur. Organisasi-organisasi dan pengamat HAM memang mencatat bahwa sejak tahun 1991, khususnya sejak peristiwa Santa Cruz, militer Indonesia memakai metode penculikan dan penyiksaan untuk mengontrol gerakan aktivis-aktivis kemerdekaan Timor Timur.23

Seperti halnya perwira-perwira lain yang terlibat penculikan, Nugroho pun mengajukan banding atas hukuman yang dijatuhkan krpadanya. Akhirnya, ia dihukum 36 bulan penjara tanpa pemecatan. Tidak ada catatan ke mana dia setelah menjalani hukuman. Kemungkinan dia tetap berada di Kopassus. Namanya muncul kembali sebagai lulusan Seskoad (Sekolah Staff dan Komando TNI-AD) tahun 2005. Ini berarti dia telah mulai pendidikan setahun sebelumnya. Setelah pendidikan di Seskoad, Nugroho agaknya kembali bertugas sebagai staf intelijen di Kopassus. Namanya muncul sebagi peserta pada Asean Regional Forum (ARF) Conference on Terrorist Use of Internet, di Bali 6-8 November 2008, dan saat itu diketahui kalau dia sudah berpangkat letnan kolonel.

Karier Nugroho semakin menanjak ketika dia diangkat menjadi Komandan Kodim 0733-BS Semarang (4 Sept. 2009 – April 2011). Sekali pun kadang-kadang menjadi sorotan karena masa lalunya, Nugroho dikategorikan berhasil dalam menjalani jabatan sebagai Dandim.24 Setelah menjadi Dandim, Nugroho dikabarkan bertugas di Badan Intelijen Negara (BIN), lalu pangkatnya pun naik satu tingkat menjadi kolonel.
 
6. Yulius Selvanus[Akmil 1988]
Di antara semua anggota Tim Mawar, Yuliuslah yang mungkin paling misterius. Selepas menjalani ‘hukuman’, dia kembali ke Kopassus. Pada 2002, ada yang menyaksikan dia berada di Pusdik (Pusat Pendidikan) Kopassus di Batujajar dengan pangkat mayor.26 Tidak diketahui ke mana kariernya beranjak setelah itu. Hanya saja, pada 2004 dia menamatkan pendidikan di Seskoad. Tidak ada informasi apakah setelah itu Yulius masuk ke jalur territorial sebagaimana lazimnya perwira TNI-AD yang lulus dari Seskoad. Namanya kembali muncul pada 2009 sebagai Wakil Komandan Grup-1 Kopassus di Serang.27 Diduga, Yulius Selvanus sekarang bertugas di sebagai perwira di BAIS dengan pangkat kolonel.28
  
7. Untung Budiharto[Akmil 1988]
Berkebalikan dengan Yulius, karier Untung Budiharto terlihat paling transparan di antara semua perwira yang terlibat penculikan. Sebuah berita kecil yang dimuat oleh media online Detik.com29 menyatakan bahwa Untung sudah menjalani penuh hukumannya 32 bulan di penjara.30 Hal itu dinyatakan oleh Kepala Penerangan Kodam XVI Pattimura, Mayor Sukrianto Puluhulawan yang menyampaikan cerita versi Untung kepada wartawan. Saat wawancara itu diberikan (16 Mei 2007), Untung memang sedang bertugas di lingkungan Kodam XVI Pattimura, sebagai Kepala Staf Korem 151/Binaiya di Ambon. “Selama Sembilan bulan saya ditahan di Puspom, sisanya di Cimahi, Jawa Barat,” tutur Untung, seperti diceritakan kepada Kapendam XVI Pattimura. Usai menjalani hukuman, Untung Budiharto yang ketika itu masih berpangkat Kapten, langsung dipindahkan ke Ambon. Dia ditempatkan sebagai komandan intel Kodam XVI Pattimura. Itu terjadi pada tahun 2003.31 Pada tahun 2004, Untung diberi tugas baru sebagai Komandan Batalion 733/Masariku dengan pangkat Mayor.
Karier Untung melesat bak meteor selepas dia menjalani hukuman ‘penjara.’ Namun, cerita menjadi agak membingungkan ketika fakta lain muncul. Untung Budiharto tercatat dalam daftar lulusan Seskoad pada tahun 2002.32 Jika Untung mulai ditahan pada bulan Februari 1999, dijatuhi hukuman dua bulan kemudian, maka dengan hukuman 30 bulan, kemungkinan dia bebas dari penjara adalah pada Agustus 2001. Maka, sangat mengherankan karena hanya dalam waktu lima bulan kemudian dia sudah menjadi perwira siswa Seskoad.33

Dari komandan batalion, Untung meningkat menjadi komandan Kodim 1504/Pulau Ambon dan pulau-pulau Lease yang berkedudukan di Kota Ambon. Jabatan ini diembannya selama kurang dari dua tahun (2005-2006). Pada 2007, dia menjadi kepala staf Korem 151/Binaiya, juga di kKota Ambon. Karier selanjutnya untuk Untung adalah kembali ke basis semula, Kopassus.

Pada Juni 2009, dia diangkat menjadi asisten perencanaan (Asren) Kopassus.34 Jabatan ini diembannya hanya selama sembilan bulan. Pada Maret 2010, dia kembali dimutasi menjadi dosen di Seskoad. Jabatan selanjutnya adalah sebagai Pamen Ahli Kopassus Golongan IV Bidang Taktik Parakomando, sebagai staf pengajar di Pusat Pendidikan Kopassus di Batujajar. 35 Bulan April 2012, Untung Budiharto kembali dipindah menjadi komandan Resimen Induk (Rindam) Kodam IV/Diponegoro. Tugas dari Rindam adalah mendidik warga negara biasa yang ingin menjadi prajurit-prajurit TNI. Pada saat ini, pangkatnya sudah naik menjadi kolonel. Saat ini, Kol. Inf Untung Budiharto menjabat sebagai komandan Korem 045/Garuda Jaya36 yang berkedudukan di Provinsi Bangka dan Belitung.

Perjalanan karier Untung Budiharto tampaknya mulus-mulus saja. Jenjang kepangkatan yang dia capai saat ini sejajar dengan jenjang kepangkatan rekan-rekan satu angkatan di Akmil 1988 (a). Pada tahun ini, beberapa lulusan angkatan tersebut diperkirakan akan masuk ke jenjang bintang satu (brigadir jenderal). Hanya satu langkah lagi bagi Untung untuk menjadi jenderal.
 
8. Dadang Hendra Yuda (Akmil 1988)
Kapten Inf. Dadang Hendra Yudha menjabat sebagai Komandan Detasemen III Batalion 42 Kopassus pada waktu penculikan itu terjadi. Dalam pengadilan banding, Dadang dikenakan hukuman satu tahun empat bulan (enam belas bulan) atas keterlibatannya dalam penculikan itu.
Beberapa bulan setelah bebas dari hukuman pidana itu, Dadang segera masuk ke Seskoad. Dia tamat Seskoad pada 2001 dan pangkatnya saat itu adalah mayor. Dengan demikian, lagi-lagi, kita dihadapkan pada teka-teki, mengapa perwira yang sudah terbukti melakukan tindak kriminal dan diputus oleh pengadilan, bisa dengan cepat mendapat kenaikan pangkat, bahkan diijinkan untuk melanjutkan pendidikan untuk meningkatkan karier militernya?

Tidak banyak yang kita ketahui ke mana Dadang setelah selesai menjalani pendidikan di Seskoad. Namun, namanya kembali menghiasi media massa pada tahun 2007, ketika didapati dia menjadi Komandan Kodim 0801/Pacitan, Jawa Timur, dengan pangkat Letkol. Dadang dua kali menjabat sebagai Dandim. Pada Juli 2008, dia dipindah menjadi Dandim Kodim 0813/Bojonegoro.37

Setelah menjadi Komandan Kodim (Dandim), Dadang diangkat menjadi Kepala Staff Brigade Infantri 16/Wira Yudha [Kas Brigif 16/Wira Yudha].38 Posisi Dadang terakhir yang terlacak adalah sebagai Kasubdit Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) [2014].39 Di posisi ini, ia sudah menyandang pangkat kolonel.
 
9. Djaka Budi Utama [Akmil 1990]
Dalam proses banding hukuman atas keterlibatannya dalam penculikan, Djaka Budi Utama tetap dihukum satu tahun empat bulan. Tidak diketahui dimana dia bertugas setelah menjalani hukuman. Lama menghilang, pada tahun 2007 namanya muncul kembali sebagai Komandan Batalion 115/Macan Leuser di Aceh Selatan. Batalion ini didirikan pada tanggal 6 Desember 2004. Djaka Budi Utama adalah Komandan Batalion yang pertama dan menjabat cukup lama hingga diganti pada 29 Juni 2007.41

Djaka Budi Utama menyelesaikan pendidikan di Seskoad pada tahun 2004. Kemungkinan dia langsung menjadi komandan batalion selepas pendidikan itu. Kariernya semakin menanjak dengan jabatan baru sebagai Komandan Kodim 0908/Bontang, Kalimantan Timur. Dia menduduki jabatan strategis di kota kaya minyak ini hingga 27 Juli 2011. Pangkatnya pun naik menjadi letnan kolonel.

Pada 31 Juli 2012, Letkol Inf. Djaka Budi Utama diangkat menjadi Asisten Intelijen Kasdam Kodam Iskandar Muda, Nangroe Aceh Darrusalam. Jabatan ini membawanya kembali ke Aceh, tempat dia lama bertugas.42 Dia dimutasi dari jabatan Asintel pada 26 Maret 2014,43 hanya sebulan menjelang pemilihan legislatif dan empat bulan menjelang pemilihan presiden. Tidak diketahui dimana selanjutnya dia bertugas.

10. Fauka Noor Farid [Akmil 1992]
Fauka adalah perwira termuda dari semua perwira yang terlibat dalam kasus penculikan. Namun, seperti halnya dengan Yulius Selvanus, tidak banyak data tentang dirinya yang muncul ke permukaan. Tidak diketahui ke mana dia setelah ditahan. Namanya muncul di media pada tahun 2005 saat menjadi Komandan Detasemen Pemukul Satu Raider di Aceh.44 Saat itu, Fauka sudah berpangkat mayor.

Juga tidak diketahui apakah Fauka pernah menjadi perwira siswa di Seskoad. Namanya tidak ada dalam daftar lulusan alumni Seskoad. Dia juga tidak terlihat pernah menjadi komandan di satuan-satuan teritorial TNI-AD. Namun, sedikit keterangan tentang dirinya muncul dalam satu putusan Mahkamah Agung RI. Dalam keputusan atas perkara kepemilikan senjata api secara illegal yang melibatkan tertuduh yang bernama Harmonis Siaga Putra, Fauka diajukan sebagai saksi di pengadilan. Terdakwa, yang adalah seorang politisi lokal di Kotabumi, Lampung, memiliki senjata api, tetapi tidak memiliki surat ijin yang sah, yang dikeluarkan oleh kepolisian. Namun, ternyata terdakwa memiliki surat izin yang dikeluarkan oleh BAIS dan ditandatangani oleh Letkol. Inf. Fauka Noor Said. Dari putusan pengadilan itu, diketahui bahwa Fauka pernah menjabat sebagai Dan Sus Pa Intel BAIS (2009 – Agustus 2011) dan setelahnya menjabat sebagai Kepala Kelompok Khusus (Kopaksus) BAIS (Agustus 2011 – ?).45

Setelah itu, Fauka seolah lenyap ditelan bumi. Namun, diam-diam, dia muncul kembali sebagai orang sipil. Namanya tertera sebagai Juru Kampanye Nasional Partai Gerindra untuk Pemilu 2014 dalam daftar juru kampanye yang disahkan oleh KPU.46 Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi DPP Partai Gerindra, Ondy A. Saputra, yang dihubungi untuk kepentingan tulisan ini membenarkan bahwa Fauka memang anggota Gerindra dan menjadi juru kampanye nasional partai itu. Menurut Ondy, Fauka sudah ‘pensiun’ dari dinas militer sejak dua tahun lalu.47
 
Karier, The Aceh Connection, dan Prabowo Subianto

Apa yang bisa kita simpulkan dari perjalanan karir militer para perwira-perwira ini? Paling tidak, ada empat hal yang bisa ditarik dari perjalanan karier mereka.
 
 1. Hukuman pidana tidak berpengaruh terhadap karier dalam militer
Tujuh orang perwira yang dihukum karena penculikan ini ternyata tidak mengalami gangguan berarti dalam mengembangkan karier militernya. Beberapa dari mereka memiliki karier militer yang sangat maju dan laju kenaikan pangkatnya di atas rata-rata kawan-kawan seangkatannya. Taruhlah, misalnya, karier militer Kol. Inf. Untung Budiharto. Dia menjalani karier militer yang sangat lengkap: sebagai komandan batalyon, komandan territorial (Dandim dan sekarang Danrem), menjadi perwira staff (Asren Kopassus), dan menjadi pengajar di Seskoad serta di Kopassus. Dalam tradisi militer Indonesia, mutasi dan promosi yang ditapak oleh Untung Budiharto adalah jalur mutasi dan promosi ke jenjang jenderal. Tidak mengherankan jika Untung kemudian akan muncul di jajaran elite TNI-AD.

Empat perwira yang lulus dari angkatan 1988 (Multhazar, Untung, Yulius, dan Dadang) semuanya menyandang pangkat kolonel. Bahkan Drs. Nugroho Sulistyo Budi, yang masuk dari luar jalur Akmil, juga sudah menyandang pangkat kolonel. Yang lebih penting lagi, mereka adalah kolonel-kolonel senior yang masih jauh dari usia pensiun.48 Mereka tinggal selangkah lagi akan memasuki jenjang jenderal.49

Apakah cepatnya laju karir militer para perwira ini adalah sesuatu yang wajar di dalam militer Indonesia? Agaknya tidak. Ini adalah sebuah kekecualian. Perwira-perwira yang pernah dihukum karena melakukan tindak kriminal biasanya langsung ‘masuk kotak.’ Karirnya tidak akan berkembang, lalu dia dipindah ke pos-pos yang tidak penting. Namun, ada perwira-perwira yang sekalipun dijatuhi hukuman kriminal berdasarkan hukum militer tetap mendapatkan promosi karena dianggap sedang ‘menjalankan tugas negara.’

Hal ini terjadi tidak dalam kasus penculikan saja. Para perwira yang dipidana karena terbukti melakukan pembunuhan terhadap tokoh adat Papua Theys Hiyo Eluay pada 2001, ternyata terus mendapatkan promosi jabatan. Letkol . Inf. Hartomo (Akmil 1986), yang pada saat itu menjabat sebagai komandan Satgas Tribuana, sekarang sudah menyandang pangkat brigadir jenderal dan saat ini menjabat sebagai Komandan Pusat Intel Angkatan Darat (Danpusintelad). Hartomo adalah salah satu dari dua orang pertama di angkatannya yang mencapai pangkat Brigjen. Perwira lainnya adalah Bigjen TNI Hinsa Siburian, lulusan terbaik Akmil 1986, yang sekarang menjabat sebagai Kasdam Kodam XVII/Cendrawasih. Terdakwa lain, Mayor TNI Donny Hutabarat (Akmil 1990), sempat menjabat sebagai Komandan Kodim 0201/BS di Medan, dan sekarang menjabat sebagai Waasintel Kasdam Kodam I/Bukit Barisan. Donny Hutabarat dipromosikan menjadi Waasintel ketika Mayjen TNI Lodewijk Paulus, mantan Danjen Kopassus, menjabat sebangai Pangdam I/Bukit Barisan. Sementara, Kapten Inf. Agus Supriyanto (Akmil 1991), yang juga terlibat dalam pembunuhan itu, sempat menduduki jabatan sebagai komandan Batalion 303/Kostrad. Perwira terakhir yang terlibat dalam pembunuhan Theys adalah Lettu Inf. Rionardo (Akmil 1994). Sekarang dia diketahui menjabat sebagai Paban II Srenad di Mabes TNI-AD.

Semua kecenderungan ini memperlihatkan impunitas para perwira TNI dalam perkara-perkara kriminal yang melibatkan tugasnya sebagai militer. Persepsi yang berkembang di dalam TNI, semua kejahatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari ‘tugas negara’ dan penyelewengan dari tugas tidak dengan serta merta menjadikan perwira-perwira itu tidak cakap sebagai militer. 50

Tidak ada yang lebih tepat menggambarkan kecenderungan sikap TNI terhadap perwira-perwiranya yang secara terang-terangan melanggar HAM, ketimbang sikap mantan KSAD Jendral Ryamizard Ryacudu. Jendral yang pernah santer disebut akan menjadi calon wakil presiden untuk Jokowi ini, ketika menanggapi hukuman terhadap anggota TNI yang membunuh Theys, dengan gamblang mengatakan bahwa mereka adalah ‘pahlawan.’51

Penyelidikan secara mendalam terhadap perjalanan karir perwira-perwira ini juga mengungkapkan bahwa hukuman pidana yang mereka terima adalah bagian dari karir militer mereka. Dengan mudah mereka mendapat promosi setelah hukuman itu habis masanya.
 
 2. Karir Intelijen
Menjadi prajurit Sandi Yudha sama artinya dengan menjadi intelijen. Kenyataannya adalah semua perwira yang terlibat penculikan ini adalah perwira-perwira intelijen. Pertanyaannya adalah: layakkah mereka terus diberi kepercayaan untuk terus berkarya di dunia intelijen, yang dalam konteks Indonesia, sangat sulit pertanggungjawabannya itu?’ Empat dari delapan perwira yang terlibat dalam penculikan (Yulius, Nugroho, Dadang, dan Fauka) terus bergelut dalam dunia intelijen.

Kasus pembunuhan Munir mengajarkan bahwa dinas intelijen bisa dengan gampang digunakan untuk kepentingan pribadi. Memang tidak mungkin untuk mengharapkan transparansi dari dunia intelijen, tetapi bagaimana pun juga dunia intelijen itu haruslah accountable (bisa dipertanggungjawabkan). Bisakah diharapkan accountability dari perwira-perwira yang sudah terbukti dipengadilan melakukan tindakan-tindakan pidana yang tercela?

Kalau pun tujuannya adalah memberikan ‘kesempatan kedua’ untuk perwira-perwira ini, tidakkah lebih baik mereka diberikan tempat pada institusi-institusi yang transparan untuk publik?
 
 3. The Aceh Connection?
 Hal yang juga menarik untuk diamati, sebagian besar perwira-perwira yang terkait dengan penculikan ini juga memiliki karier yang terkait dengan Aceh. Chairawan menangani Aceh saat dia di BAIS, menjadi Danrem di sana, kemudian menjabat sebagai Kaposwil BIN. Perwira lain yang juga berkarier di Aceh adalah Djaka Budi Utama, yang mulai sebagai Komandan Batalion dan terakhir menjabat sebagai Asisten Intelijen Kodam Iskandar Muda. Fauka Noor Farid juga pernah bertugas di Aceh sebagai komandan pasukan detasemen pemukul (Denkul). Mengingat gejolak di Aceh sebelum perjanjian Helsinki, besar kemungkinan perwira-perwira yang lain juga bertugas di Aceh.

Bagi tiga orang ini, Aceh tentu bukan medan yang asing. Yang kemudian menarik untuk diperhatikan adalah bahwa partai lokal yang berkuasa di Aceh, Partai Aceh, dalam pemilihan umum legislatif 2014 memilih berkoalisi dengan Gerindra. Chairawan pun aktif berkampanye di Aceh.[53] Djaka Budi Utama, bekas anak buah Chairawan di Grup-4/Sandi Yudha bahkan menjabat Asintel Kodam dan hanya diganti sebulan sebelum pemilihan umum legislatif. Kedua orang ini pastilah sangat mengetahui situasi sosial politik serta konfigurasi kekuasaan di Aceh. Adakah orang-orang ini juga membantu terbangunnya koalisi aneh antara Partai Aceh dan Gerindra? Mungkin sejarah yang akan lebih mampu menjawab pertanyaan ini.
 
 4. Patronase Prabowo?
 Umumnya, ikatan antara komandan dengan anak buah sangat erat, sekalipun diikat oleh tali komando yang ketat. Mereka mengalami suka duka bersama di medan pertempuran. Namun, untuk konteks Indonesia, hubungan komandan dan anak buah bisa meningkat menjadi hubungan patronase. Komandan menjadi jalur untuk promosi ke jenjang kepangkatan lebih tinggi atau mutasi ke tempat-tenpat yang prestisius. Komandan juga menjamin kehidupan anak buahnya secara ekonomis.

Prabowo menjadi tipikal seorang komandan yang juga seorang patron. Sebagai menantu presiden, dia jelas memiliki jalur ke lingkaran paling elite di negeri ini. Dia juga memiliki akses ke sumber ekonomi yang nyaris tak terbatas. Yayasan Kobame (Korps Baret Merah) mencapai puncak kejayaannya ketika Prabowo masih di dalam Kopassus. Yayasan itu boleh jadi sudah bubar, tetapi beberapa perusahan di bawah Kobame akhirnya diambilalih oleh Prabowo. Dia ‘menghidupi’ beberapa mantan prajurit dan perwira Kopassus.

Kesetiaan bekas anak buah Prabowo juga tidak diragukan. Muchdi Pr. mendirikan Gerindra bersama Prabowo. Meskipun ia keluar, diragukan bahwa Muchdi sebenarnya berseberangan dengan Prabowo, adik kelas yang kemudian menjadi patronnya itu. Chairawan langsung bergabung dengan Prabowo begitu pensiun dari dinas tentara. Demikian juga dengan Bambang Triono. Dan terakhir, Fauka Noor Farid juga bergabung dengan partai politik bikinan Prabowo, Gerindra.

Kita tidak tahu apakah perwira-perwira yang masih berdinas aktif masih menjaga hubungan dengan Prabowo. Mungkin juga tidak. Namun, melihat postur Prabowo saat ini dalam politik Indonesia, tidak terlalu mengherankan juga kalau mereka–dan juga perwira-perwira lain yang pernah menjadi anak buahnya–masih menjaga hubungan dengan Prabowo, sekalipun tidak secara formal.
 
Akhirnya …
Seperti yang dikatakan di atas, semua hal yang kita ketahui dari para perwira yang pernah melakukan penculikan ini memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Namun, ada satu hal yang tegas dan jelas, yakni para perwira ini masih bisa menikmati karier militer yang sangat bagus sekalipun telah melakukan perbuatan pidana yang tercela.
 

bujanglapuk(forum vivanews)

penulis adalah peneliti masalah-masalah politik, militer dan jurnalis lepas(freelance). Tulisannya pernah muncul di prisma, jurnal indonesia dan inside indonesia.


.

Percobaan Pembunuhan Soekarno oleh Pilot Angkatan Udara Indonesia

Pengakuan Daniel Maukar Soal Penembakan Istana Merdeka


Quote:
Det…det…det…det…., rentetan suara di siang itu mengagetkan banyak orang. Roy yang tengah belajar di lantai dua SMP ……. dibuat tersentak. Tidak hanya di sekolahnya, warga Jakarta yang saat itu berada di sekitar Istana Merdeka Selatan, berhamburan mencari tahu asal suara dentuman itu. Bahkan KSAU Marsekal Suryadarma yang tengah rapat di gedung Dewan Nasional, bergegas keluar. Istana ditembak… istana ditembak….. karuan saja teriakan itu menyiutkan nyali setiap orang.
Hari itu, tepatnya 9 Maret 1960 sekitar pukul 12 siang, Istana Merdeka Selatan telah diberondong kanon 23 mm dari sebuah pesawat tempur Mikoyan-Gurevich MiG-17F Fresco nomor 1112 asal Skadron Udara 11. Penerbangnya Letnan II Pnb Daniel Alexander Maukar, callsign “Tiger”. Setelah kurang sukses melaksanakan tugasnya menembak kilang minyak Shell Oil di Plumpang Tanjung Priuk, Istana Merdeka dan Istana Bogor, Daniel Maukar akhirnya mendarat darurat di sebuah desa di Garut.

Masih untung dengan Presiden Soekarno. Pemimpin kharismatik ini siang itu kebetulan sedang memimpin sidang Dewan Nasional di sebuah gedung di samping Istana Merdeka. Gedung ini berjarak sekitar 20 m dari Istana. Seperti biasa, daerah di sekitar tempat sidang dijaga Polisi Pengawal Pribadi Presiden (H. Mangil Martowidjojo, Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967, terbit 1999). Salah satu peserta sidang justru KSAU Suryadi Suryadarma.

Nyaris sejak peristiwa itu terjadi hingga hari ini setelah berlalu 47 tahun, sedikit sekali pengetahuan orang soal itu. Tak kurang TNI AU sendiri, meski potongan-potongan cerita keberanian Maukar menjadi semacam kebanggaan di kalangan tertentu di TNI AU. Lalu kekuatan apa sesungguhnya yang membuat seorang perwira muda bernama Maukar nekat menembak Istana Presiden, bagaimana ia menyiapkan misi itu, bagaimana pula ia menyiapkan pelariannya ke Kadungoro, Leles, Garut, Jawa Barat; apa betul insiden itu terkait dengan rumor direbutnya kekasihnya Molly Mambo oleh Presiden Soekarno serta bagaimana ia bisa lolos dari hukuman seumur hidup.

"Tiger, Tiger, from Kemayoran tower, over." Panggilan itu berkali-kali menyahut di telinga Dani, namun tidak dibalas. "Tiger, Tiger, if you read me please check your fuel." Dani tetap bungkam, karena sekali ia membalas posisinya akan diketahui. Radio dimatikan. Pesawat melaju cukup kencang menuju Bandung. Benak Dani bergalau. Ia membayangkan reaksi Molly apabila tahu apa yang sudah dilakukannya. Pun membayangkan reaksi sang ayah. Hingga ia tidak menyadari sudah terbang jauh, tanpa kendali arah. Ketika tersadar, ia tidak tahu persis berada di mana. Namun Dani yakin, ia pasti sudah mendekati Garut.

Quote:
" Saya tidak akan meninggalkan negri ini, apapun yang terjadi, ada keluarga saya di sini, sekalipun saya harus mati"
Kata kata itu di ucapkan Dani Maukar, setelah brefing dengan Sam Karundeng, yang menyarankan setelah aksinya lebih baik Dani ke luar negri.

Sesuai rencana, Dani harus menemukan enam titik api unggun, tiga di kiri tiga di kanan, sebagai tanda landing site. Tapi apa lacur, di bawah ia melihat begitu banyak api unggun. Sepertinya petani sedang membakar gabah dan asapnya membumbung di mana-mana. Ketimbang pusing, Dani ambil langkah tepat ke selatan, berharap jatuh di laut. Ketinggian mulai diturunkan. Karena buruknya persiapan, memang tidak pernah ada komunikasi antara Bandung dengan tim penunggu di Garut. Jarak yang jauh untuk dicapai lewat darat. Tim yang mestinya ke Malambong untuk berkoordinasi, menurut Dani juga tidak pernah berangkat. Sampai akhirnya MIG-17 yang diterbangkannya mendarat darurat di persawahan Kadungoro, Leles, Garut, Jawa Barat, setelah tiga kali overhead untuk memastikan lokasi pendaratan.

Setelah menurut perhitungan yang pasti bahwa pesawat itu tidak melampaui batas waktu terbangnya. Maka kepada pangkalan-pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara dan Halim Perdanakusumah diperintahkan untuk mencari pesawat tersebut. Sebelumnya belly landing, Dani sudah menyiapkan pistolnya. Senjata ini akan digunakannya untuk bunuh diri seandainya pesawat terbenam lumpur saat pendaratan. Namun, belum sampai bunuh diri, ia keburu ditangkap tentara yang telah mencarinya dengan melakukan penyisiran wilayah Garut. Setelah ditangkap, sore harinya Komandan Lanud Tasikmalaya Kapten Sumantri dan Letnan Subaryono serta seorang perwira teknik datang mengunjunginya.

Di Jakarta, kekacauan segera terjadi sesaat setelah aksi Dani. Berita mulai tersebar, termasuk di lingkungan AURI. Anehnya, tidak satu pun tuduhan langsung terarah ke Dani. Begitu pun keluarga Maukar di daerah Menteng, tak ada prasangka apa-apa. Di kepala sang Ayah, itu pasti ulah Sofyan, anak Padang yang punya sedikit masalah dengan pemerintah. Sampai ketika dipanggil Provost AURI pun, sang ayah tenang-tenang saja. Ketika ditanya pendapatnya soal insiden yang terjadi hari ini, sang ayah hanya menjawab, "Orang itu harus bertanggung jawab!"

"Itu anak Bapak." Suara provos itu bagai petir di siang bolong di telinga Karel Herman Maukar. Daniel Alexander Maukar pun ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap.



Di kutip dari berbagai sumber

Sabtu, 07 Juni 2014

Prabowo Subianto Alias Omar

HM Aru Syeif Assadulah
Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Islam

Kendati hampir dipastikan hari ini, seluruh rakyat Indonesia mengenal nama Prabowo Subianto, tapi dipastikan pula tidak banyak yang tahu Prabowo punya nama alias di lingkungan sahabat dekatnya yakni: Omar. Nama Omar dimaksudkan dan mengacu sebagai Omar bin Khattab, Sahabat Rasulullah Muhammad Saw yang perkasa. Capres (Calon Presiden) yang mantan Komandan Jendral (Danjen) Kopassus ini juga menyandang nama panggilan sandi : 08 (Kosong Delapan) yang melekat pada nama Prabowo. Tapi yang paling populer di kalangan sahabat Prabowo, nama panggilan Omar, untuk Prabowo lebih sering digunakan. Nama ini bagai memberi spirit dan dorongan para sahabatnya agar Prabowo mengikuti keteladanan Khulafaurassyidin: Omar Ibn Khattab, yang memiliki jiwa kepahlawanan dan pemberani mendampingi Rasulullah Muhammad Saw saat menegakkan Islam. Kini ketika ia tampil menjadi Capres pada Pilpres 2014, ia acap dipanggil Haji Prabowo Subianto.

Panggilan Prabowo diawali dengan Haji, dipastikan bukan dimaksudkan untuk “membedaki” dirinya agar tampak menjadi Islami, dekat dengan Islam dan kalangan/umat Islam. Prabowo justru mencuat namanya karena kedekatannya dengan kalangan Islam pada tahun-tahun menjelang dan sesudah keruntuhan Presiden Soeharto (1998) yang juga mertuanya itu. Bahkan sejak 1988 ketika Presiden Soeharto mengubah haluan politik dengan merangkul Islam--dengan direstui berdirinya ICMI dan Bank Muamalat--kalangan minoritas yang merasa tersingkir mengkritik kebijakan Soeharto itu sebagai melahirkan politik Islam yang semakin mewarnai DPR-MPR juga kabinet yang disebutnya sinis : Ijo-Royo-Royo. ABRI pun diseretnya mengikuti trend politik ini dan dijuluki sebagai ABRI Hijau. Sejumlah jendral yang ikut menyemarakkan ABRI Hijau antara lain : Jendral Feisal Tandjung dan Jendral R. Hartono, masing-masing menjabat sebagai Pangab (Panglima ABRI) dan Kasad (Kepala Staf AD). R. Hartono tanpa segan-segan justru menjawab sindiran warna Hijau ABRI dengan perintah yang “galak”, “Setiap prajurit ABRI harus fanatik dengan agamanya,” seraya menjabarkan dengan kefanatikan itu maka setiap prajurit dengan agama apapun yang dianutnya akan menjadi taat dengan perintah agamanya dan akan menjadi kekuatan pembela Negara yang tangguh.

Di sekitar isu Ijo-Royo-Royo yang minor terhadap aspirasi umat Islam itu, Prabowo berdiri dan dianggap sebagai salah satu ABRI Hijau, bersama perwira-perwira muda lainnya, seperti : Fachrurozi (Jendral TNI), Subagyo HS (Jendral TNI), Sjafrie Sjamsoeddin (Letjen TNI), Muchdi PR (Mayjen TNI), Kivlan Zen (Mayjen TNI), Ghaffar Rachman (Mayjen TNI), Amphi Tanoedjiwa (Mayjen TNI), Adityawarman (Brigjen TNI), dan seterusnya. Tatkala Prabowo semakin dekat dengan citra ABRI Hijau itu, diam-diam Prabowo sudah berinisiatif “menyambangi” (sowan) menemui sejumlah tokoh Islam, seperti M. Natsir di kediamannya Jalan Jawa (kini Jalan HOS Cokroaminoto) No. 46 Menteng Jakarta Pusat. Penulis melihat pertemuan itu, di mana saat mau masuk ke rumah M. Natsir, Prabowo sempat melepas cincin emas dan kalung miliknya dititipkan pembantu M. Natsir, Sdr Aswadi. Saat itu Prabowo menduduki jabatan sebagai Komandan salah satu Group Kopassus berpangkat mayor.

Mengapa Prabowo menjadi dekat dengan Islam? Padahal Prabowo Subianto adalah putra Begawan Ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, yang dikenal sebagai tokoh Partai Sosialis Indonesia. Tidak ada jejak Islam. Riwayat Prabowo yang kariernya melaju pesat di Kopassus, sebagai Wadanjen, (Wakil Komandan Jendral), Danjen (Komandan Jendral), dan Pangkostrad, kiranya bisa menjawab pertanyaan itu.

Sejatinya yang mendasari sikap itu, karena Prabowo memiliki jiwa patriot sejati yang diiringi kejujuran jiwanya yang mendorong ia bersikap membela bahkan pro Islam yang diperlakukan diskriminatif sebagai mayoritas. Sekitar 1997 tatkala Prabowo sudah menduduki jabatan sebagai Wadanjen dan bahkan Danjen Kopassus, Prabowo acapkali mengundang dan hadir dalam diskusi politik-ekonomi di kalangan cendekiawan. Statemen Prabowo yang sangat kontroversial ditangkap kalangan minoritas, ketika ia acapkali menyampaikan pendiriannya bahwa: “Indonesia yang mayoritas hampir 90% penduduknya beragama Islam, maka sudah sewajarnya jika sistem yang dipakai adalah sistem yang Islam!” Prabowo kemudian memberikan contoh ilustrasi seperti yang kini berlaku di Philipina. Sistem yang berlaku di Philipina adalah sistem yang mengacu kepada tatanan Katolik. Hal itu menurut Prabowo sebagai sah-sah saja, karena penduduk Philipina mayoritas, 90%, beragama Katolik. Sikap Prabowo yang jujur ini sebenarnya hanya meneruskan pernyataan yang disampaikan BJ. Habibie yang sering menyatakan sikap pemerintah saat itu lebih adil dengan menganut asas proporsional. Komposisi anggota DPR-MPR juga susunan kabinet dikoreksi mendekati proporsional, walau belum proporsional mutlak.

Prabowo pun dianggap atau dituduh anti minoritas. Apalagi ketika diskusi sampai ke wilayah ekonomi, sikapnya yang amat terang-terangan membela ekonomi rakyat kecil seraya mengkritik dominasi konglomerat yang notabene terdiri 200-an kongkomerat keturunan Cina. Sejatinya Prabowo hanya membela hak-hak rakyat yang tersingkir di bidang ekonomi. Penulis, tahu Prabowo sangat bersahabat dengan PM Malaysia Mahathir Mohamad yang mampu melindungi hak-hak rakyat pribumi Melayu atas desakan dan dominasi peran ekonomi pendatang Cina dan India di Negeri Jiran. Mahathir sukses membela rakyat Melayu di Negeri Jiran. Mengapa tidak bisa diwujudkan di Indonesia, tanpa bermaksud mendiskriminasi golongan minoritas. Namun stigma sudah terbentuk seolah-olah Prabowo anti minoritas bahkan anti Cina. Tuduhan ini niscaya dirasakan berat bagi Prabowo, karena merasa diri tidak bermaksud mendiskriminasi siapapun, apalagi etnik tertentu Cina. Barangkali tatkala ia merancang partainya Gerindra dengan mencalonkan Ahok seorang Cina diusungnya menjadi Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, pada 2012, mendampingi Jokowi, mudah ditebak sebagai pembuktian untuk mementahkan tuduhan kepadanya yang diskriminatif bahkan anti Cina. Begitu halnya, dengan mengangkat beberapa orang yang diketahui sebagai korban penculikan, seperti Desmon Junaidi Mahesa, Pius Lustrilanang sebagai anggota penting di Gerindra, termasuk pembuktian yang lain.

Jiwa terbuka seorang Prabowo mengubah penampilan pasca kegagalan mencalonkan diri sebagai Cawapres bersama Megawati pada Pilpres 2009 yang lalu. Prabowo yang mewarisi kadar intelektual ayahandanya tidak ingin bersikap kaku menghadapi kritik-kritik keras yang menghantam dirinya. Barangkali cara yang ditempuh untuk membuktikan ia mencintai seluruh anak-anak negeri ini dengan cita-cita Gerakan Indonesia Rayanya (Gerindara), dan mengakomodasi siapapun anak-anak negeri ini termasuk mempromot Ahok. Yang terakhir ini, soal Ahok barangkali kembali bisa disalahpahami banyak pihak, khususnya umat Islam. Karena berpembawaan jujur, Prabowo sangat pantang berpura-pura.

Kedekatannya dengan kalangan Islam menjelang Pilpres Juli 2014 sekarang, seperti dirinci di muka, seperti kedekatan dengan para kyai niscaya bukan pura-pura, seperti ditampilkan peserta Pemilu, yang tiba-tiba menjadi akrab dengan pesantren, atau tiba-tiba mengenakan peci, dan berkalung sarung dan sorban. Kunjungan Prabowo ke kyai-kyai bukanlah hal baru. Tatkala ia menerima deraan tuduhan di sekitar lengsernya Presiden Soeharto, (1998), bahkan berakibat ia dicopot sebagai Letnan Jendral dan dinas TNI, ia menyingkir dan mendapat perlindungan dari para sahabatnya di dunia Islam. Prabowo mengungsi ke Jordania dalam perlindungan Pangeran Abdullah (kini Raja). Penulis berkesempatan menjenguk Prabowo di Amman Jordania dan mendapati Prabowo yang sangat dihormati para pemimpin Dunia Islam. Bersama ulama Indonesia KH. Cholil Ridwan (kini Ketua MUI), Prabowo direkomendasi Raja Jordania mengunjungi Qadafi di Libya, Pangeran Abdullah Raja Saudi Arabia di Istana Ryad. Karpet merah selalu dibentangkan menyambut kedatangan Prabowo di Negara-negara Islam itu. Bukti lain bersama-sama Ketua MPR Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif, Fadli Zon dan Muchdi PR, serta Ahmad Muzani, pada tahun 2000 kembali Prabowo mengunjungi Libya, Jordania, Irak, dan Iran di mana selalu dibentangkan karpet merah dan setiap kepala pemerintahan menyambut dengan hormat kedatangan Prabowo dkk dari Indonesia, negeri dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia.

Perhatiannya yang berlebih kepada Islam dipastikan karena sikap ksatrya sekaligus logika intelektual dan jiwa keadilannya karena memandang Islam memang pemilik negeri ini yang terbanyak dan sah. Ia pantas mendapat kue yang terbesar. Dalam perspektif itulah bisa dibaca pendiriannya berkaitan Islam menjelang dan menyongsong Pilpres 2014, di mana ia maju menjadi Capres bersaing dengan Joko Widodo. Bagi umat Islam jika ingin membaca jatidiri seorang Prabowo dari kacamata inilah bisa dibaca dengan jernih. Sebagai tambahan sikap persahabatan Prabowo terhadap kalangan Islam, baik dicatat tatkala ia hampir mengakhiri jabatannya sebagai Danjen Kopassus dan hendak diangkat sebagai Pangkostrad, Januari 1998, Prabowo mengundang tokoh-tokoh Islam dan ribuan santri untuk acara Buka Puasa Bersama di Markas Kopassus Cijantung Jakarta Timur. Di hadapan ribuan santri dan prajurit serta silih berganti berpidato Prabowo di mimbar, Prabowo menjanjikan untuk membersihkan para pengkhianat bangsa yang kini (saat itu 1998) mencengkeram NKRI sehingga terjeremus dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan. Deretan tokoh saling berpidato bergantian, mulai Ketua MUI. KH. Basri, Ketua Dewan Dakwah Dr. Anwar Haryono, Sekjen Dewan Dakwah Hussein Umar, Ketua Kisdi Ahmad Sumargono, Cholil Ridwan, KH. Abdul Rasyid, bahkan Rhoma Irama, Jimly Asshidiqie, Din Syamsuddin, Said Agil Munawar pun hadir di forum yang mengguncangkan para komprador itu. Hal ini untuk sekadar mengingat betapa Prabowo pernah sangat dekat bersama Islam. Karena prakarsa acaranya ini, Prabowo dituduh sektarian, anti minoritas. Dan kiranya untuk menetralisir tuduhan seperti inilah, belakangan Prabowo bersikap lebih luwes, dan teduh agar bisa dimengerti oleh semua kalangan yang beragam di negeri ini.

Prabowo bukanlah berlatar keluarga Islam yang puritan. Ia besar di lingkungan gaya hidup yang cenderung sekuler, dan banyak menghabiskan masa remaja di luar negeri. Walau demikian, ia tetaplah seorang Muslim, dan titel haji yang melekat pada dirinya karena ia memang melaksanakan haji beberapa kali umroh dengan penuh khusuk. Cholil Ridwan dalam sebuah acara Pengajian Politik Islam pernah menyanggah isu miring menjelang Pilpres yang menyebutkan Prabowo, bukan Islam, tidak pernah shalat. Kata Kyai Cholil ia pernah bersama-sama Prabowo dalam perjalanan di Timur Tengah dalam jangka dua minggu dan tidur di hotel yang sama dan ia selalu shalat jamaah Subuh bersama Prabowo. Prabowo shalat dan Islam. Entah karena keberpihakannya yang mendalam kepada Islam, tatkala banyak tokoh Islam memprakarsai berdirinya Partai Bulan Bintang, pada 1998, Prabowo bertindak mengulurkan bantuan finansial, sebagai dana awal untuk sosialisasi Partai Bulan Bintang yang baru berdiri pada 1998, ke seluruh Indonesia. Prabowo punya misi tertentu? Walllauhualam, catatan di atas dipastikan menjadi catatan faktual yang menyertai perjalanan seorang Prabowo Subianto alias Omar atau Kosong Delapan.

Minggu, 01 Juni 2014

Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?

Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis, namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam".

Lalu, Peter Beek menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS yang dioperasikan oleh anak didiknya di Kasebul, Sofjan Wanandi, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Hoemardani (baca kesaksian George Junus Aditjondro, murid Pater Beek).


Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam"

Tidak percaya gerakan anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem ada hubungan dengan kelompok anti Islam santri yang dihancurkan Prabowo?

Silakan perhatikan satu per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK, ada Ryamizard Ryacudu (menantu mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny untuk persiapan bila Presiden Soeharto mangkat).

Ada Agum Gumelar-Hendropriyono (dua malaikat pelindung/bodyguard Megawati yang disuruh Benny Moerdani); ada Andi Widjajanto (anak Theo Syafeii) ada Fahmi Idris (rumahnya adalah lokasi ketika ide Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 pertama kali dilontarkan Benny Moerdani); ada Luhut Panjaitan; ada Sutiyoso; ada Wiranto dan masih banyak lagi yang lain.

Lho, Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar sekali, bahkan Salim Said dan Jusuf Wanandi mencatat bahwa Wiranto menghadap Benny Moerdani beberapa saat setelah dilantik sebagai KSAD pada Juni 1997. Saat itu Benny memberi pesan sebagai berikut:




"Jadi, kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu."
(Salim Said, halaman 320)

Tentu saja Wiranto membantah dia memiliki hubungan dekat dengan Benny Moerdani namun kita memiliki cara membuktikan kebohongannya.


Pertama, dalam Memoirnya, Jusuf Wanandi menceritakan bahwa pasca jatuhnya Soeharto, Wiranto menerima dari Benny Moerdani daftar nama beberapa perwira yang dinilai sebagai "ABRI Hijau", dan dalam sebulan semua orang dalam daftar nama tersebut sudah disingkirkan Wiranto.

Ketika dikonfrontir mengenai hal ini Wiranto mengatakan cerita "daftar nama" adalah bohong.


Namun bila kita melihat catatan penting masa setelah Soeharto jatuh maka kita bisa melihat bahwa memang terjadi banyak perwira "hijau" di masa Wiranto yang waktu itu dimutasi dan hal ini sempat menuai protes.

Fakta bahwa Wiranto adalah satu-satunya orang Benny Moerdani yang masih tersisa di sekitar Soeharto menjawab sekali untuk selamanya mengapa Wiranto menjatuhkan semua kesalahan terkait Operasi Setan Gundul kepada Prabowo; mengatakan kepada BJ Habibie bahwa Prabowo mau melakukan kudeta sehingga Prabowo dicopot; dan menceritakan kepada mertua Prabowo, Soeharto bahwa Prabowo dan BJ Habibie bekerja sama menjatuhkan Soeharto, sehingga Prabowo diusir dan dipaksa bercerai dengan Titiek Soeharto. Hal ini sebab Wiranto adalah eksekutor dari rencana Benny Moerdani menjatuhkan karir dan menistakan Prabowo.

Membicarakan "kebejatan" Prabowo tentu tidak lengkap tanpa mengungkit Kerusuhan Mei 1998 yang ditudingkan pada dirinya padahal saat itu jelas-jelas Wiranto sebagai Panglima ABRI pergi ke Malang membawa semua kepala staf angkatan darat, laut dan udara serta menolak permintaan Prabowo untuk mengerahkan pasukan demi mengusir perusuh.

Berdasarkan temuan fakta di atas bahwa Benny Moerdani mau menjatuhkan Soeharto melalui kerusuhan rasial dan Wiranto adalah satu-satunya orang Benny di lingkar dalam Soeharto maka sangat patut diduga Wiranto memang sengaja melarang pasukan keluar dari barak menghalangi kerusuhan sampai marinir berinisiatif keluar kandang.

sumber:
http://m.voa-islam.com/news/opini/2014/05/25/30575/innalillahjenderal-jenderal-dalang-kerusuhan-mei-1998-mendukung-jokowi/