Krisis Palestina mulai menginternasional di masa modern sejak pemerintahan khalifah Utsmaniyah yaitu Abdul Hamid. Saat itu, para pemuda Yahudi dengan bantuan Negara-negara barat, terutama Inggris, berusaha keras untuk mewujudkan tempat bermukim bagi mereka di daerah Palestina. Mereka berupaya untuk memicu timbulnya krisis keuangan di Negara Khilafah Ustmaniyah.
Hertzl, pemimpin senior Yahudi saat itu, pada tahun 1901 M menawarkan sejumlah uang kepada bendahara Negara Khlilafah Ustmaniyah sebagai imbalan atas rencana tersebut. Namun, Khalifah Abdul Hamid menolak tawaran Hertzl mentah-mentah.
Lemahnya Negara Utsmaniyah, di mana Palestina berada di bawah pemerintahannya (1516-1917), berperan dalam keberhasilan proyek Zionis untuk menduduki Palestina. Pembentukan Negara Israel ini mendapat dukungan kuat dari Inggris. Pada tahun itu juga, Inggris menetapkan sebuah perjanjian yang disebutnya dengan perjanjian Balfour, Isi perjanjian itu adalah, bahwa Inggris menjanjikan kepada Yahudi untuk dapat menduduki palestina dan mendirikan Negara bagi mereka di sana. Ketika perang dunia I berakhir dan Negara Khalifah telah diruntuhkan, muncul negara-negara pemenang (Liga Bangsa-bangsa) yang berperan menetapkan pemberian mandat Inggris atas Palestina tahun 1922 M. Isinya antara lain Inggris akan merealisasikan Perjanjian Balfour.
Posisi Inggris dalam Campur Tangan Masalah Palestina
Inggris mulai mengambil langkah yang melapangkan jalan bagi Yahudi untuk memasuki Palestina dari berbagai penjuru dunia. Inggris juga melatih dan mempersenjatai mereka. Usai perang dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan pembagian (daerah Palestina) melalui resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum dengan nomor 181 pada tanggal 29 oktober 1947. Keputusan tersebut membagi dua Palestina, antara penduduknya dan kaum pendatang Yahudi. Setelah Inggris berhasil menyelesaikan persoalan tersebut, mereka memutuskan untuk menyerahkan sebagian besar wilayah Palestina kepada Yahudi dan mendirikan sebuah Negara bagi mereka.
Inggris telah merancang sebuah skenario kasat mata yaitu mewujudkan perang yang direkayasa, antara para penguasa Arab yang juga menjadi kaki tangan mereka –saat itu ada tujuh penguasa— dengan Yahudi. Perang tersebut dirancang dengan alasan untuk mencegah Yahudi mendirikan negaranya. Tujuannya adalah, agar hasil akhir perang bisa menunjukkan bahwa yahudi berhasil memukul mundur pasukan gabungan tujuh Negara Arab. Inggris memberikan dukungan berupa kekuatan dan keberanian kepada Yahudi. Begitulah manfaat dari persekutuan para “kaki tangan” Inggris yang bertujuan agar setelah peristiwa itu Yahudi dapat menyatakan dirinya berhasil mengalahkan pasukan gabungan tujuh Negara Arab. Mereka menyebutnya sebagai perang kemerdekaan, dan akhirnya mereka mendeklarasikan sebuah Negara pada tanggal 15 Mei 1948.
Segera setelah itu mereka mencari pengakuan Negara-negara Barat atas berdirinya negara Yahudi. Negara-negara besar saat itu seperti Amerika, Inggris dan Perancis berlomba-lomba memberi pengakuan. Negara-negara Barat yang secara de facto bercokol di wilayah tersebut terutama inggris dan Amerika, bersama-sama merumuskan resolusi untuk masalah Palestina, yang dikemudian hari mereka namakan sebagai “Krisis Timur Tengah”. Seluruhnya ditujukan untuk melayani kepentingan negara-negara Barat itu, dengan cara mewujudkan berdirinya negara Yahudi serta memelihara eksistensinya dikawasan Timur Tengah, yang berdampak pada ketidakstabilan kehidupan negara-negara Arab dan umat Islam.
Upaya Perlawana Rakyat Palestina, Arab dan Islam
Dengan kondisi serba sulit yang dialami oleh bangsa Palestina setelah perang dunia I, kondisi keterpurukan dunia Arab yang berada disekelilingnya –dan dunia Islam secara umum—karena cengkeraman penjajah, kelemahan potensi-potensi material, tidak adanya instrument penekan, kekuatan politik yang lemah bila dibandingkan dengan apa yang dinikmati oleh proyek Zionis dari dukungan Yahudi internasional, dan perlindungan yang diberikan oleh Negara-negara super power; maka sesungguhnya komitmen dengan hak mereka yang sempurna di Palestina dan persistensi merebut kemerdekaan mereka walau dengan biaya apa pun, menjadi trade-mark aktivitas jihadi rakyat Palestina sepanjang periode penjajahan ini.
Disampiang merebaknya pembantaian terhadap rakyat Palestina, upaya penghancuran masjid suci Al-Aqsha juga menjadi perhatian seluruh umat. Berbagai aksi perlawanan terus berlanjut mewarnai hari-hari Palestina, baik perlawanan secara diplomatis maupun secara militer. Anak bangsa ini terus memikul beban-beban hidup yang terlalu berat. Bangsa Palestina juga sudah merasakan redupnya dukungan negara-negara Arab dari segi persenjataan dan pelengkapan perang lainnya sampai pada level yang menyedihkan. Namun demikian, mereka berhasil menanamkan kegelisahan, kegoncangan, dan ketakutan dalam diri Yahudi untuk masa yang lama.
Sebenarnya militansi rakyat Palestina, bangsa Arab dan Islam dalam jihad dan pengorbanan adalah sangat besar. Namun, kepemimpinan politis dan militernya tetap saja menjadi faktor kegagalan. Sebagai contoh, pergerakan Ikhwanul Muslimin (IM) Mesir yang ikut berpartisipasi besar-besaran untuk menyelamatkan Palestina. Pada tahun 1948, Syahid Hasan al-Banna menyukarelakan darah sepuluh ribu IM sebagai kloter pertama masuk dalam kancah peperangan melawan penjajah Zionis. Tapi pemerintahan Mesir terus menekan dan mempersempit ruang gerak mereka dengan cara melarang bepergian kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas.
Tak jarang dari kalangan Rakyat Palestina sendiri pun setelah meletusnya intifadhah terus melakukan aksi-aksi perlawanan bersenjata. Mereka tidak memiliki pilihan lain untuk melakukan aksi tersebut karena Zionis Yahudi telah menjajah mereka dengan cara yang paling keji. Maka mulailah ijtihad perlawanan rakyat Palestina yang dikenal dengan aksi Istisyhadiah sebagai bentuk perlawana terakhir yang mampu membuat gemetar Zionis Yahudi bila mendengar aksi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar