PRESIDEN Soekarno menggelar rapat di Istana Negara. Beberapa petinggi militer diundang. Soekarno ingin menjelaskan mengenai tuduhan komunis terhadap Menteri Pertahanan Iwa Kusuma Sumantri.
Tuduhan komunis ini bisa dibilang merupakan dampak dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Sebagai menteri pertahanan, dia ingin mengadakan perbaikan, khususnya di angkatan darat. Dia lalu memutuskan setiap kepala staf angkatan dapat menghubungi langsung menteri pertahanan sehingga jabatan kepala staf angkatan perang, yang diduduki T.B. Simatupang, ditiadakan. Inilah yang membuat Fraksi Masyumi mengajukan mosi untuk pembatalan mosi itu. Mosi itu tak diterima karena kalah suara.Reaksi makin keras ketika Iwa menunjuk Kolonel Zulkifli Lubis menjadi wakil kepala staf angkatan darat dan para perwira yang dikenal “anti-Peristiwa 17 Oktober 1952″, seperti Kol. Abimanyu dan Letkol Sapari, diangkat menjadi perwira tinggi di markas besar angkatan darat. Dari situlah dia dituduh komunis.
Iwa sendiri enggan menjawab tuduhan itu karena bisa memperkeruh suasana. Beruntung masih ada Soekarno, yang dalam rapat itu, mengatakan dengan lantang, “Iwa seorang nasionalis-revolusioner!
Sejak itulah tuduhan itu mereda. Dan sejarah akan mencatat bahwa dia memang bukan komunis, seperti yang Iwa Kusuma Sumantri sendiri katakan.
Tuduhan komunis memang bukan kali pertama menimpanya. Keluarganya bahkan sudah mengkhawatirkannya ketika Iwa bersama Semaun diutus organisasinya, Perhimpunan Indonesia, ke Moskow untuk mempelajari program Front Persatuan (Eenheidsfront). Pun ketika dia terlibat dalam Peristiwa 3 Juli yang dipimpin Tan Malaka. Mungkin stigma komunis itu pula yang menyebabkan namanya (sengaja) dilupakan orde baru.
Anak Kepala Sekolah
Iwa Kusuma Sumantri dilahirkan pada 30 Mei 1899 di Ciamis, Jawa Barat. Dia putra sulung dari keluarga Raden Wiramantri, Kepala Sekolah Rendah yang kemudian menjadi Penilik Sekolah (School Opziener) di Ciamis. Dia beruntung bisa menikmati pendidikan yang baik.
Pendidikannya dimulai dari Eerste Klasse School (Sekolah Kelas Satu) pada 1910 di Ciamis, dan kemudian dilanjutkan ke Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar berpengantar bahasa Belanda untuk anak-anak kalangan menak pribumi. Pada 1915 Iwa masuk sekolah calon amtenar, yaitu Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Bandung. Setahun kemudian dia keluar karena sedari awal merasa tak sesuai dengan cita-citanya. Dia lalu masuk Sekolah Menengah Hukum (Recht School) di Batavia. Di sini lah Iwa aktif dalam organisasi pemuda Tri Koro Darmo, yang nantinya menjadi Jong Java, dan mendapat gemblengan politik.
Lima tahun kemudian, Iwa menyelesaikan sekolah hukumnya. Dia lalu bekerja pada kantor pengadilan negeri di Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Pada 1922, dia melanjutkan studinya ke Fakultas Hukum Universitas Leiden di Belanda.
Di Belanda, Iwa terlibat dalam Indische Vereeniging, organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeniging, dan akhirnya Perhimpunan Indonesia (PI) atas usul Iwa pada periode kepemimpinan Dr Sukiman. Pada 1923-1924 dia menjadi ketua organisasi tersebut. Dalam periode inilah ditetapkan azas organisasi yang nonkooperasi.
Lulus dari Universitas Leiden pada 1925, ketika PI dipimpin Boedyarto dan Mohammad Hatta, dia bersama Semaun diutus ke Moskow untuk mempelajari program Front Persatuan (Eenheidsfront) yang sedang didengung-dengungkan Rusia. Intinya, bagaimana merapatkan barisan secara internasional melawan penjajahan. Dia berada di Rusia selama 1,5 tahun.
Kepergian ini mengkhawatirkan keluarganya; jangan-jangan dia terpengaruh komunisme. Iwa tak bisa menjelaskannya karena sulitnya komunikasi. Selama di Rusia dia sempat menulis sebuah buku tentang petani di Indonesia berjudul The Peasant Movement in Indonesia. Meski mulanya tertarik pada sosialisme, ia tak pernah tertarik menjadi komunis. Ia melihat perbedaan antara praktik dan teori dari ajaran tersebut di Rusia.
Tapi, kendala komunikasi itu berdampak pada kehidupan pribadinya. Hubungan pernikahan gantungnya dengan Emma Puradireja yang sudah berjalan sebelum dia berangkat ke Belanda, kandas di tengah jalan. Iwa kemudian menikah dengan seorang gadis Rusia, Anna Ivanova, dan mempunyai seorang anak perempuan. Adik Ivanova kawin dengan Semaoen.
Kebahagiaan ini terputus ketika Iwa kembali ke Indonesia pada 1927 untuk melanjutkan perjuangannya. Istri dan anaknya terpaksa ditinggalkan karena kebijakan pemerintah setempat yang tak mengizinkan warganya ke luar negeri tanpa alasan kuat. Bertahun-tahun kemudian, karena tak jelas kapan bertemu lagi dengan anak-istrinya di Rusia, dia menikah lagi dengan Kuraesin Argawinata, seorang putri kerabatnya yang menetap di rumah pamannya, Dr Abdul Manap. Dari pernikahan ini dia mempunyai enam orang anak.
Jadi Tahanan Politik
Kedatangan Iwa di Indonesia disambut hangat. Dia bahkan langsung menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).
Dia kemudian memutuskan untuk pindah ke Medan dan membuka kantor pengacara sendiri. Di tempat baru itu ia terkenal sebagai pengacara yang membela kepentingan rakyat, terutama buruh perkebunan Deli yang terkena poenale sanctie, hukuman yang dijatuhkan kepada para buruh yang dianggap melanggar kontrak kerja.
Di sini Iwa menjadi penasihat Persatuan Sopir dan Pekerja Bengkel (Persatuan Motoris Indonesia), ketua Perkumpulan Sekerja Opium Regie Bond luar Jawa dan Madura (ORBLOM), dan penasihat Indonesisch National Padvinders Organisatie (INPO), sebuah organisasi kepanduan.
Iwa juga memimpin surat kabar bernama Mata Hari Indonesia. Dia sering mengkritik pemerintah kolonial melalui tulisan-tulisannya. Pada Juli 1929 dia ditangkap dan dipenjara selama satu tahun di Medan, kemudian dipindahkan ke penjara Glodok dan penjara Struis-Wyck di Jakarta. Selanjutnya, dia bersama keluarganya dibuang dan diasingkan ke Banda Neira di Maluku.
Selama 10 tahun 7 bulan di Banda Neira, Iwa mempelajari bahasa Arab dan memperdalam ilmu agama Islam dari sahabatnya, Syekh Abdullah bin Abdurakhman. Dia juga menulis buku berjudul Nabi Muhammad dan Empat Khalifah. Pada 1941 dia dipindahkan ke Makassar. Atas permintaannya, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengizinkannya untuk mengajar di sekolah Taman Siswa Makassar.
Ketika Jepang menduduki Kota Makassar pada 8 Februari 1943, dia bersama keluarganya menyingkir ke luar kota. Tetapi dia diminta oleh Jepang agar membantu Nazamudin Daeng Malea yang diangkat jadi Wali Kota Makassar. Setelah keadaan Makassar tenang dia berhenti bekerja sebagai pembantu wali kota, kemudian diangkat menjadi Kepala Pengadilan Makassar.
Ketika Jepang mulai melakukan operasi pembersihan terhadap intelektual Indonesia di luar Jawa yang mulai dilakukan di Barjarmasin, Iwa berusaha pindah ke Jawa. Usahanya terealisasi. Dengan perahu Bugis dia berlayar ke Jawa dengan istri yang sedang hamil besar dan 4 orang anak. Setelah lima hari mengarungi lautan, mereka mendarat di pelabuhan Surabaya. Dari sini perjalanan dilanjutkan ke kampung halaman mereka, yaitu Ciamis.
Dia tak lama tinggal di Ciamis karena harus menghidupi keluarganya. Dia pergi ke Bandung, tapi karena tak beroleh pekerjaan, dia hengkang ke Jakarta. Di sini dia bekerja lagi sebagai advokat bersama Mr A.A. Maramis, pemimpin pergerakan nasional. Selain itu, dia membantu kantor Riset Kaigun (Angkatan Laut Jepang) cabang Jakarta yang dipimpin Ahmad Subarjo. Iwa juga mengajar Hukum Internasional kepada para pemuda di Asrama Indonesia Merdeka.
Di masa ini Iwa menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dia punya peranan penting dalam penyusunan teks proklamasi. Atas usulnya, kata “maklumat” dalam teks proklamasi diganti “proklamasi”. Saat Soekarno-Hatta membuat testamen politik 1 Oktober 1945, Iwa juga menjadi salah seorang yang dipercaya meneruskan kepemimpinan nasional.
Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka, Iwa Kusuma Sumantri diangkat menjadi Menteri Sosial dan Perburuhan pada Kabinet RI pertama yang dipimpin Presiden Soekarno. Setelah itu dia beroposisi terhadap Kabinet Syahrir, dan melibatkan diri dalam Peristiwa 3 Juli yang menyebabkannya ditangkap bersama tokoh-tokoh lainnya, seperti Tan Malaka, Mohammad Yamin, Sukarni, dan sebagainya, dan dipenjara selama satu setengah tahun di Jawa Timur, Yogya, dan Magelang.
Dalam autobiografinya dia mengakui tak sejalan dengan politik pemerintah waktu itu. Dia lebih sejalan dengan perjuangan rakyat yang revolusioner, seperti Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka. Iwa tak setuju dengan tindakan Syahrir yang melakukan diplomasi (kompromi) dengan Pemerintah Belanda.
Mereka akhirnya diberi grasi oleh presiden pada 9 Agustus 1946, dan direhabilitasi namanya karena tak terbukti bersalah.
Saat Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948 dan menduduki Kota Yogyakarta, Iwa ikut ditangkap bersama Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Mereka baru dilepaskan setelah perjanjian Roem-Royen.
Pada 1949 Iwa bergabung dengan Partai Murba yang didirikan Tan Malaka pada 7 November 1948, tetapi tidak menjadi anggota resmi hanya sebagai anggota kehormatan. Karena itu, ketika menjadi anggota DPR, Iwa tak mewakili Parta Murba, melainkan masuk dalam fraksi Progresif. Meski demikian, Partai Murba lah yang menyokongnya hingga menjadi menteri pertahanan pada masa Kabinet Ali Wongso-Arifin yang dibentuk pada 1953 di bawah pimpinan Perdana Menteri Mr Ali Sastroamijoyo.
Bebannya cukup berat, karena sebagai Menhan dari sipil dia harus menghadapi pemberontakan daerah seperti DI/TII di Aceh dan Jawa Barat. Iwa menentang pemberontakan itu, tapi juga tak menyetujui sikap pemerintah yang “Jakarta sentris”. Masalah ini diperberat dengan tuduhan komunis yang dialamatkan kepadanya oleh orang-orang yang tak setuju dengan kebijakannya. Tuduhan itu baru mereda setelah ada pembelaan dari Presiden Soekarno.
Iwa sendiri kemudian memberi penjelasan melalui autobiografinya yang dia tulis pada 1971, dia menyatakan dirinya bukan komunis. Dia malah pernah mengecam komunis sebagai refleksi dari rivalitas antara PKI dan Murba.
Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya pada 1955, Iwa nonaktif dari politik. Dia pulang kampung dan aktif di Badan Musyawarah Sunda. Karier politiknya ternyata masih berlanjut. Dia menjadi anggota Dewan Nasional yang baru dibentuk Presiden Sukarno, menjadi Presiden (Rektor) pertama Universitas Padjadjaran Bandung, dan kemudian menjadi Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Terakhir dia diangkat sebagai menteri negara pada 1962, dan berakhir sampai 1966.
Pada 1971 Iwa Kusuma Sumantri dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo karena menderita penyakit jantung. Setelah beberapa waktu dirawat, pada 27 September 1971, pukul 21.07, dia meninggal dunia. Sesuai pesannya sebelum meninggal dan permintaan keluarga, dia dimakamkan di Pemakaman Karet.
Iwa Kusuma Sumantri yang punya nama samaran S. Dingley, pernah dilupakan pemerintah orde baru. Pada masa pemerintahan Megawati, namanya kemudian diakui sebagai pahlawan nasional.*(budi/bsumber)
Sumber : http://www.mesias.8k.com/iwakusuma.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar