Ke manakah para perwira yang dulu terlibat dalam penculikan aktivis?
Apakah mereka masih memiliki karier militer setelah menjadi terpidana?
Apakah mereka masih terkait dengan gerakan politik mantan komandan mereka, Prabowo Subianto?
KONTROVERSI tentang Tim Mawar seakan tidak pernah lekang. Nama tim dari
Kopassus yang melakukan penculikan para aktivis tahun 1997-1998 ini
kembali mencuat terutama karena dikaitkan dengan sosok Prabowo Subianto,
mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus yang kini menjadi calon kuat
dalam pemilihan presiden RI. Prabowo adalah garis depan dan pusat dari
kontroversi ini. Lawan-lawan politiknya menuduh bahwa dialah yang
memerintahkan penculikan itu. Namun, Prabowo dan apparatchicks-nya di
Partai Gerindra, dengan keras membantah hal tersebut. Mereka berusaha
membangun ‘narasi’ bahwa mantan menantu Suharto itu tidak bersalah
karena dia hanya menjalankan perintah atasannya.
Menariknya, di sisi lain, komandan tim penculik yang menjadi tersangka,
mengaku di depan sidang pengadilan bahwa penculikan itu adalah inisiatif
pribadinya. Komandan itu, Mayor Inf. Bambang Kristiono, dihukum 22
bulan penjara dan dipecat dari dinas militer. Bambang Kristiono juga
mengaku bahwa timnya hanya menculik sembilan aktivis dan semua aktivis
itu sudah dibebaskan. Ada tiga belas orang aktivis lain yang hilang
sampai saat ini. Baik Prabowo Subianto maupun Tim Mawar, menolak
bertanggung jawab atas nasib ketiga belas orang yang hilang ini. Cerita
yang berkembang, ada ‘tim’ lain yang ikut menculik. Hingga saat ini,
tidak ada kejelasan soal tiga belas yang hilang tersebut.
Para pelaku penculikan sudah diadili di pengadilan militer dan dihukum.
Selama proses peradilan, terlihat banyak sekali kejanggalan selain juga
tidak transparan. Awalnya, masyarakat diberitahu bahwa lima perwira
dihukum dan dipecat dari dinas militer, sementara sisanya hanya dihukum
dan tidak dipecat dari dinas militer. Namun, sekitar tahun 2006,
masyarakat dikejutkan karena beberapa perwira yang diberitakan telah
dipecat ini justru menjadi komandan Kodim (komando distrik militer) di
beberapa daerah di Jawa dan di Ambon, Maluku. Kemudian, diketahui bahwa
para perwira ini telah mengajukan banding atas keputusan pengadilan
tingkat pertama. Di tingkat Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti), hakim
memutuskan menambah hukuman tetapi tidak memecat mereka dari dinas
militer, kecuali untuk Mayor Inf. Bambang Kristiono yang tetap dihukum
22 bulan penjara.1
Hampir tujuh belas tahun kemudian, ke manakah perwira-perwira Kopassus
itu? Apakah karier militer mereka berhenti karena telah tercela
melakukan suatu tindak pidana? Apakah mereka masih menjalin hubungan
dengan bekas-bekas komandan mereka, terutama dengan Prabowo Subianto?
Penyelidikan mendalam atas beberapa perwira yang terlibat langsung dalam
kasus penculikan itu menemukan fakta bahwa sebagian besar dari
perwira-perwira ini menjalani karier militer dengan normal. Bahkan,
beberapa di antara mereka memiliki karier yang menanjak di atas
rata-rata dibandingkan rekan-rekan satu angkatannya di Akmil (akademi
militer). Sementara, untuk perwira yang lebih senior, seperti Mayjen TNI
(Pur) Muchdi Purwoprandjono-yang saat penculikan terbongkar menjabat
sebagai Danjen Kopassus dan dicopot dari jabatannya-juga tidak mengalami
hambatan berarti, baik dalam karier militernya maupun dalam kehidupan
sipilnya setelah pensiun dari dinas militer. Demikian juga dengan Kol.
Inf. Chairawan Kadarsyah Nusyirwan yang saat itu menjabat sebagai
Komandan Grup-4 Kopassus. Dia memang diberhentikan dari kedudukan
sebagai komandan Grup -4. tetapi dia kemudian berhasil menyelesaikan
karier militernya dengan pangkat Mayor Jenderal.
Tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan tentang satuan tugas
intelijen, yang oleh masyarakat dikenal dengan nama ‘Tim Mawar’ itu.
Apakah sebenarnya Tim Mawar itu? Pertanyaan yang lebih penting: apakah
ia benar-benar ada? Ada beberapa pihak yang meragukan bahwa tim ini
sungguh pernah ada. Kemungkinannya adalah tim ini dinamakan ex post
facto (setelah kejadian) dan ada lebih banyak perwira dan prajurit yang
terlibat, tetapi tidak tersentuh oleh hukum.
Kemudian, kita akan membahas masing-masing perwira yang terlibat dalam
kasus penculikan ini. Perjalanan karier mereka akan diteliti secara
saksama. Ke mana mereka sesudah menjalani ‘hukuman’2 hingga saat ini?
Tidak semua perwira-perwira ini bisa dilacak. Perwira-perwira yang
bertugas di dunia intelijen terbukti lebih sulit untuk dilacak.
Penyelidikan untuk tulisan ini sebagian besar dilakukan lewat pencarian
berita di media massa. Ada juga beberapa informan yang dihubungi baik
lewat telepon maupun e-mail. Seluruh informan menolak diidentifikasikan
karena mengkhawatirkan keselamatan mereka. Kekhawatiran itu menjadi
bukti bahwa Indonesia masih merupakan wilayah berbahaya untuk melakukan
kerja jurnalistik investigatif.
Tim Mawar: Apakah Sungguh Ada?
Hingga saat ini tidak ada yang tahu pasti apa itu Tim Mawar. Sebenarnya,
keberadaan tim ini di luar kebiasaan operasi Kopassus. Berbagai studi
militer Indonesia menunjukkan bahwa satuan Kopassus, yakni Grup-3 Sandi
Yudha, mengemban fungsi sebagai intelijen tempur. Biasanya, dalam
operasi, satuan intelijen Kopasssus diorganisasikan di dalam Satuan
Tugas (Satgas). Satgas yang umum dikenal adalah Satgas Tribuana, yang
pernah beroperasi di Timor Timur, Aceh dan Papua.3 Dari Satgas ini
kemudian dibentuk satuan-satuan taktis (sattis) yang menangani satu
tugas khusus seperti mengawasi satu kelompok, satu wilayah, melakukan
penggalangan, atau inflitrasi.
Tidak terlalu jelas apakah ketika itu Tim Mawar adalah salah satu sattis
di bawah komando Grup-4/Sandi Yudha. Di pengadilan militer, komandan
Tim Mawar, Mayor Inf. Bambang Kristiono mengaku membentuk tim untuk
melakukan penculikan atas inisiatif pribadi. Sulit untuk dimengerti
bahwa satuan taktis dengan pola operasi dalam skala ini dan dilakukan di
Markas Kopassus, Cijantung, dilakukan atas inisiatif seorang perwira
menengah tanpa sepengetahuan atasannya.
Namun, ada hal-hal yang menarik dari Tim Mawar. Beberapa sumber yang
dihubungi untuk tulisan ini mengatakan bahwa mereka sempat melihat
beberapa perwira yang terlibat dalam penculikan 1998 perna bertugas di
Dili, Timor-Timur, sebelum Pemilu 1997 dan pemilihan presiden 1998.
Mereka tahu bahwa perwira-perwira tersebut adalah perwira-perwira
Kopassus. Yang juga diketahui adalah beberapa perwira ini berkantor di
kantor SGI.4
Sudah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat Timor-Timur bahwa
penculikan dan penghilangan paksa merupakan metode kerja intelijen
Indonesia di sana. Mungkinkah para perwira yang terlibat dalam
penculikan ini sengaja ditarik dari tempat tugasnya di Timor-Timur, lalu
ditugaskan di Jakarta? Jika benar ini adalah sebuah sattis di bawah
Kopassus, pertanyaannya adalah: siapa yang membentuk? Kepada siapa tim
ini bertanggungjawab? Bagaimana aliran komandonya?
Pertanyaan kedua yang sama pentingnya adalah seberapa besarkah tim ini?
Yang kita ketahui dari proses peradilan adalah bahwa hanya ada delapan
perwira pertama dan tiga bintara yang terlibat dalam penculikan.
Komposisi terlihat sangat janggal mengingat banyaknya perwira dan
sedikitnya prajurit yang terlibat. Ada juga spekulasi yang mengatakan
bahwa sebenarnya jumlah anggota tim ini sebenarnya lebih besar daripada
yang diungkap di pengadilan.
Terlalu banyak misteri yang meliputi tim ini. Namun, satu hal yang
jelas, pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan dan perbuatan yang
dilakukan tim ini tidak pernah dijawab dengan jelas.
Perwira-Perwira TerkaitSeperti yang kita ketahui, beberapa perwira yang terkait dengan Tim
Mawar sudah menjalani hukuman. Mereka yang menanggung hukuman paling
berat adalah para perwira pertama. Sementara, di level perwira tinggi
dan menengah, hukuman maksimal yang dijatuhkan adalah pemberhentian dari
dinas militer, ini dilakukan terhadap Prabowo Subianto. Atasan langsung
dari tim penculik-Muchdi Pr. Dan Chairawan-hanya dibebaskan dari jabatannya. Muchdi Pr.
dibebaskan dari jabatannya sebagai Komandan Jendral (Danjen) Kopassus
dan Chairawan dibebastugaskan dari jabatannya sebagai komandan
Grup-4/Sandi Yudha. Sementara itu, pelaku langsung di lapangan, Mayor
Inf. Bambang Kristiono, dihukum dua puluh dua bulan penjara dan dipecat
dari dinas militer.
Selain Prabowo Subianto, yang saat ini menjadi calon presiden RI 2014-2019, ke manakah perwira-perwira itu sekarang?
1. Muchdi Purwopranjono(Akmil 1970)
Muchdi menamatkan kariernya dengan pangkat mayor Jenderal. Lulusan Akmil
1970 ini kembali ke dunia intelijen setelah diberhentikan sebagai
komandan Kopassus. Muchdi dikenal sebagai Direktur V Badan Intelijen
Nasional (BIN) yang membawahi keamanan dalam negeri. Pada masa jabatan
itulah, Muchdi kembali terkenal karena diduga mendalangi pembunuhan
aktivis HAM Munir bin Thalib. Muchdi sempat ditahan, tetapi lewat proses
pengadilan yang sangat kontroversial, dia dibebaskan dari semua
tuduhan.5
Bersama Prabowo Subianto, Muchdi terlibat dalam mendirikan partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), pada tahun 2006. Namun, dia
meninggalkan Gerindra pada awal 2012, lalu memilih bergabung dengan PPP.
Langkahnya meninggalkan Gerindra ini mengejutkan banyak pihak, karena
tidak terlihat adanya konflik atau perselisihan antara Muchdi dengan
Prabowo. Spekulasi yang menguar di banyak orang adalah Muchdi
meninggalkan Gerindra agar dapat ‘menggarap PPP’ guna kepentingan
Prabowo di dalam pemilihan presiden 2014.6 Muchdi juga bermanuver agar
bisa duduk sebagai ketua umum PPP, tetapi gagal. Di dalam PPP sendiri,
sebenarnya juga sudah ada Kivlan Zen, yang menjabat sebagai Kepala Staf
Kostrad semasa Prabowo menjadi Pangkostrad. Kivlan juga dikenal sebagai
loyalis Prabowo.
Selain di PPP, Muchdi juga aktif di Muhammadiyah. Pada saat Muktamar
Muhammadiyah 2010, ia berusaha untuk duduk dalam susunan Pengurus Pusat
(PP) Muhammadiyah. Namun dia gagal lagi. Di dalam Muhammadiyah, Muchdi
menjadi ketua organisasi silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Dia
bergabung dengan organisasi ini sejak 1963, sebelum terjun ke dunia
militer. Menariknya, Tapak Suci juga bergabung di dalam Ikatan Pencak
Silat Indonesia (IPSI), yang di dalamnya memuat Prabowo Subianto sebagai
anggotanya. Keterlibatan Muchdi di dalam organisasi-organisasi Islam
membuat orang menduga bahwa dia sebenarnya adalah ‘kaki Prabowo’ di
dalam ormas-ormas Islam.
Selain aktif sebagai politisi, Muchdi juga menjadi komisaris perusahaan
kehutanan, yakni PT. Rizki Kacida Reana. Perusahan ini memiliki beberapa
konsesi hutan sebesar kurang lebih tiga puluh ribu hektare di beberapa
wilayah di Kalimantan Timur.7 Perusahan ini dimiliki oleh Epi S. Daskian
yang sekaligus menjadi CEO. Muchdi dan Epi S. Daskian sama-sama duduk
dalam organisasi alumni PII (Pelajar Islam Indonesia)
2. Chairawan Kadarsyah Nusyirwan (Akmil 1980)
Ketika kasus penculikan pecah ke permukaan, Kol. Inf. Chairawan menjabat
sebagai komandan Grup-4/ Sandi Yudha Kopassus. Akibatnya, Chairawan
dicopot dari kedudukannya sebagai komandan. Dia ‘diparkir’ di Mabes AD,
namun itu tidak berlangsung lama. Dia kemudian menjadi perwira di Badan
Intelijen Strategis (BAIS) TNI.
Chairawan besar di lingkungan Kopassus, khususnya Sandi Yudha. Sandi
Yudha adalah bagian dari Kopassus yang bertugas untuk mengumpulkan data
intelijen tempur (combat-intelligence). Namun, dalam pelaksanaannya,
Sandi Yudha juga melakukan tugas-tugas penggalangan (mobilization) dan
perang urat-syaraf (psychological warfare). Narasumber yang diwawancarai
untuk tulisan ini menginformasikan bahwa Chairawan bertugas sebagai
komandan SGI (Satuan Gugus Intelijen) di Timor Timur, sebelum dia
menjadi Komandan Grup-4. Sebagai komandan SGI, dia mengendalikan semua
operasi intelijen Kopassus di wilayah itu. Namun, sebagaimana yang
terjadi dalam operasi-operasi militer di Indonesia, Kopassus memiliki
keistimewaan sebagai pasukan elite. Mereka kerap beroperasi sendiri
tanpa pengetahuan dan kendali dari komandan-komandan militer tingkat
lokal. Itulah yang membuat SGI, kadang-kadang, melakukan tindakan tanpa
sepengetahuan komandan lokal.
Di BAIS, Chairawan banyak menangani Aceh. Pada tahun 2004, dia terlihat
mendampingi delegasi Uni Eropa yang memantau gencatan senjata antara
Republik Indonesia dan pihak Gerakan Aceh Merdeka.9 Namanya muncul lagi
ke permukaan ketika diangkat menjadi komandan Korem 011/Lilawangsa, yang
dijabatnya lebih dari setahun (30 Januari 2005 hingga 29 Mei 2006.
Setelah itu, Chairawan kemudian mendapat promosi ke pangkat Brigadir
Jenderal dan dipindah menjadi Kepala Pos Wilayah (Kaposwil) Badan
Intelijen Nasional di Aceh.10 Jabatan sebagai orang intelijen nomor satu
di Aceh dipegangnya kira-kira selama dua tahun sebelum dia dimutasi ke
Mabes TNI. Namanya muncul kembali dalam pusaran perpindahan jabatan di
TNI pada bulan Mei 2010. Kali ini ia diangkat menjadi Kepala Dinas
Jasmani TNI-AD (Kadisjasad). Karier selanjutnya ia menjabat sebagai staf
ahli BIN.11 Chairawan pensiun dengan pangkat mayor jenderal.
Segera setelah pensiun, Chairawan menjabat sebagai Komisaris PT Cowell
Development Tbk, sebuah perusahan pengembang (real estate) yang dimiliki
publik dan terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI). PT Cowell banyak
membangun perumahan di pinggiran Jakarta, Tangerang, dan saat ini
melebarkan sayap hingga ke Kalimantan Timur.12
Tidak terlalu sulit diduga ke mana orientasi politik Chairawan
disalurkan sesudah pensiun dari tentara. Tanpa menunggu terlalu lama, ia
bergabung ke Gerindra dan langsung diangkat menjadi anggota Dewan
Pembina partai.13 Dia juga menjadi ketua dewan pembina sebuah organisasi
kemasyarakatan (ormas) yang bernama Solidaritas Rakyat Peduli Indonesia
(Sorpindo).14 Dalam kampanye Pemilihan Umum legislatif 2014, Chairawan
sangat aktif berkampanye untuk Gerindra di daerah yang telah lama
menjadi spesialisasinya, Aceh.
3. Bambang Kristiono (Akmil 1985)
Bambang Kristiono adalah bekas komandan Batalion 42, Grup-4/Sandi Yudha
Kopassus pada 1998. Dia juga salah satu komandan ‘Tim Mawar.’
Setidaknya, itulah yang diakuinya di depan pengadilan militer. Kristiono
mengambilalih semua tanggung jawab penculikan aktivis, dan dengan
demikian, ia membebaskan semua komandan yang waktu itu menjadi atasannya
dari tuntutan hukum. Bambang Kristiono menanggung beban ini sendirian.
Dia satu-satunya yang dipecat dari kesatuan militer ditambah hukuman
penjara selama dua puluh dua bulan.
Seandainya Bambang Kristiono tidak terlibat dalam penculikan itu, dia
mungkin sudah menjadi jenderal. Rekan-rekan seangkatannya, yang juga
berkarier di Kopasus, seperti Doni Munardo dan (alm.) I Made Agra
Sudiantara, saat ini sudah menyandang pangkat Mayor Jenderal. Saat ini
Mayjen Doni Munardo kini adalah Komandan Pasukan Pengawal Presiden
(Paspamres) dan alm. Mayjen I Made Agra Sudiantara sebelum meninggal
menjabat sebagai komandan Pusat Persenjataan Infantri (Pussenif).
Setelah dipecat, hidup Bambang Kristiono tergantung pada belas kasihan
Prabowo Subianto. Dia diberi pekerjaan sebagai direktur utama PT
Tribuana Antar Nusa.15 Awalnya Perusahan ini adalah milik Yayasan Kobame
(Korps Baret Merah) yang didirikan pada tahun 1993.16 Kini, ia menjadi
anak perusahan dari Nusantara Energy Group milik Prabowo Subianto, yang
bergerak di bidang transportasi. Perusahan ini memiliki kapal feri yang
melayani penyeberangan Merak-Bakauheni dan melayani jasa transportasi
untuk pengeboran minyak.
Bambang Kristiono juga bekerja sebagai operator politik Prabowo. Dialah
yang menghubungi Pius Lustrilanang, seorang korban penculikan Tim Mawar ,
lalu mengajaknya bergabung ke Gerindra.17 Pada 2009, Bambang juga aktif
dalam tim kampanye Megawati-Prabowo. Saat itu, dia bertugas sebagai tim
kunjungan dan penyelenggara event.
4. Fausani Syahrial Multhazar18 [Akmil 1988]
Dalam kasus penculikan, Multhazar mengaku sebagai wakil komandan Tim
Mawar. Pangkatnya saat itu adalah kapten. Beberapa korban penculikan
mengenalinya dengan nama samaran ‘Bobby.’ Pada persidangan di Mahkamah
Militer, dia dijatuhi hukuman 22 bulan penjara, lalu dipecat dari dinas
militer. Namun di tingkat banding, keputusan ini diubah menjadi 36 bulan
penjara tanpa pemecatan dari dinas militer.
Karier militer Multhazar pun berlangsung normal. Namanya tertera pada
daftar siswa yang mengikuti Dikreg Seskoad (Pendidikan Reguler di
Sekolah Staf dan Komando TNI-AD) pada tahun 2003. Pada saat mengikuti
pendidikan ini dia sudah menyandang pangkat mayor. Tidak diketahui ke
mana dia setelah mengikuti pendidikan ini. Namun, namanya kembali
menghiasi media media saat menjabat sebagai Komandan Kodim (Dandim)
0719/Jepara (24 Juli 2006–Mei 2008).
Setelah dua tahun menjabat sebagai Dandim, Multhazar dipindahkan menjadi
Kasrem 173/Prajavirabraja di Biak. Tidak diketahui berapa lama dia
menjabat sebagai Kasrem (paling lama biasanya dua tahun) dan ke mana dia
setelah lepas dari jabatan itu. Posisinya yang terakhir adalah sebagai
Kepala Bagian Pengamanan Biro Umum Setjen Kemhan,19 dengan pangkat
kolonel.
5. Drs. Nugroho Sulistyo Budi (Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, UGM, angkatan 1985)
Di antara semua perwira yang terlibat dalam kasus penculikan aktivis,
Nugroho Sulistyo Budi barangkali adalah figur yang paling menarik. Dia
adalah satu-satunya perwira yang bukan tamatan Akademi Militer (Akmil).
Ia belajar ilmu politik di jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu-ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1985
dan lulus tahun 1990.20 Tidak diketahui apakah Nugroho masuk dinas
militer selama menjalani pendidikan di UGM atau setelah lulus kuliah. 21
Juga tidak diketahui bagaimana dia masuk ke dalam Kopassus dengan
perjalanan karier yang boleh dibilang mengesankan.22 Beberapa narasumber
yang dihubungi untuk penulisan artikel ini mengatakan cukup terkejut
ketika mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah perwira militer, dan
terlebih lagi perwira Kopassus yang terkait dengan kasus penculikan
aktivis. Sebagian mengenangnya sebagai penari Jawa yang handal.
Sementara yang lain mengenangnya sebagai ‘Michael Jackson-nya Fisipol’
karena rambutnya yang ikal dan kulitnya yang gelap. Dia memang sangat
mirip dengan Michael Jackson, raja musik pop itu.
Beberapa tahun setelah tamat dari UGM, Nugroho terlihat sebagai perwira
SGI di Timor Timur. Beberapa orang yang mengenalnya mengatakan bahwa dia
‘sangat berubah’ ketika bertugas di Timor Timur. Organisasi-organisasi
dan pengamat HAM memang mencatat bahwa sejak tahun 1991, khususnya sejak
peristiwa Santa Cruz, militer Indonesia memakai metode penculikan dan
penyiksaan untuk mengontrol gerakan aktivis-aktivis kemerdekaan Timor
Timur.23
Seperti halnya perwira-perwira lain yang terlibat penculikan, Nugroho
pun mengajukan banding atas hukuman yang dijatuhkan krpadanya. Akhirnya,
ia dihukum 36 bulan penjara tanpa pemecatan. Tidak ada catatan ke mana
dia setelah menjalani hukuman. Kemungkinan dia tetap berada di Kopassus.
Namanya muncul kembali sebagai lulusan Seskoad (Sekolah Staff dan
Komando TNI-AD) tahun 2005. Ini berarti dia telah mulai pendidikan
setahun sebelumnya. Setelah pendidikan di Seskoad, Nugroho agaknya
kembali bertugas sebagai staf intelijen di Kopassus. Namanya muncul
sebagi peserta pada Asean Regional Forum (ARF) Conference on Terrorist
Use of Internet, di Bali 6-8 November 2008, dan saat itu diketahui kalau
dia sudah berpangkat letnan kolonel.
Karier Nugroho semakin menanjak ketika dia diangkat menjadi Komandan
Kodim 0733-BS Semarang (4 Sept. 2009 – April 2011). Sekali pun
kadang-kadang menjadi sorotan karena masa lalunya, Nugroho dikategorikan
berhasil dalam menjalani jabatan sebagai Dandim.24 Setelah menjadi
Dandim, Nugroho dikabarkan bertugas di Badan Intelijen Negara (BIN),
lalu pangkatnya pun naik satu tingkat menjadi kolonel.
6. Yulius Selvanus[Akmil 1988]
Di antara semua anggota Tim Mawar, Yuliuslah yang mungkin paling
misterius. Selepas menjalani ‘hukuman’, dia kembali ke Kopassus. Pada
2002, ada yang menyaksikan dia berada di Pusdik (Pusat Pendidikan)
Kopassus di Batujajar dengan pangkat mayor.26 Tidak diketahui ke mana
kariernya beranjak setelah itu. Hanya saja, pada 2004 dia menamatkan
pendidikan di Seskoad. Tidak ada informasi apakah setelah itu Yulius
masuk ke jalur territorial sebagaimana lazimnya perwira TNI-AD yang
lulus dari Seskoad. Namanya kembali muncul pada 2009 sebagai Wakil
Komandan Grup-1 Kopassus di Serang.27 Diduga, Yulius Selvanus sekarang
bertugas di sebagai perwira di BAIS dengan pangkat kolonel.28
7. Untung Budiharto[Akmil 1988]
Berkebalikan dengan Yulius, karier Untung Budiharto terlihat paling
transparan di antara semua perwira yang terlibat penculikan. Sebuah
berita kecil yang dimuat oleh media online Detik.com29 menyatakan bahwa
Untung sudah menjalani penuh hukumannya 32 bulan di penjara.30 Hal itu
dinyatakan oleh Kepala Penerangan Kodam XVI Pattimura, Mayor Sukrianto
Puluhulawan yang menyampaikan cerita versi Untung kepada wartawan. Saat
wawancara itu diberikan (16 Mei 2007), Untung memang sedang bertugas di
lingkungan Kodam XVI Pattimura, sebagai Kepala Staf Korem 151/Binaiya di
Ambon. “Selama Sembilan bulan saya ditahan di Puspom, sisanya di
Cimahi, Jawa Barat,” tutur Untung, seperti diceritakan kepada Kapendam
XVI Pattimura. Usai menjalani hukuman, Untung Budiharto yang ketika itu
masih berpangkat Kapten, langsung dipindahkan ke Ambon. Dia ditempatkan
sebagai komandan intel Kodam XVI Pattimura. Itu terjadi pada tahun
2003.31 Pada tahun 2004, Untung diberi tugas baru sebagai Komandan
Batalion 733/Masariku dengan pangkat Mayor.
Karier Untung melesat bak meteor selepas dia menjalani hukuman
‘penjara.’ Namun, cerita menjadi agak membingungkan ketika fakta lain
muncul. Untung Budiharto tercatat dalam daftar lulusan Seskoad pada
tahun 2002.32 Jika Untung mulai ditahan pada bulan Februari 1999,
dijatuhi hukuman dua bulan kemudian, maka dengan hukuman 30 bulan,
kemungkinan dia bebas dari penjara adalah pada Agustus 2001. Maka,
sangat mengherankan karena hanya dalam waktu lima bulan kemudian dia
sudah menjadi perwira siswa Seskoad.33
Dari komandan batalion, Untung meningkat menjadi komandan Kodim
1504/Pulau Ambon dan pulau-pulau Lease yang berkedudukan di Kota Ambon.
Jabatan ini diembannya selama kurang dari dua tahun (2005-2006). Pada
2007, dia menjadi kepala staf Korem 151/Binaiya, juga di kKota Ambon.
Karier selanjutnya untuk Untung adalah kembali ke basis semula,
Kopassus.
Pada Juni 2009, dia diangkat menjadi asisten perencanaan (Asren)
Kopassus.34 Jabatan ini diembannya hanya selama sembilan bulan. Pada
Maret 2010, dia kembali dimutasi menjadi dosen di Seskoad. Jabatan
selanjutnya adalah sebagai Pamen Ahli Kopassus Golongan IV Bidang Taktik
Parakomando, sebagai staf pengajar di Pusat Pendidikan Kopassus di
Batujajar. 35 Bulan April 2012, Untung Budiharto kembali dipindah
menjadi komandan Resimen Induk (Rindam) Kodam IV/Diponegoro. Tugas dari
Rindam adalah mendidik warga negara biasa yang ingin menjadi
prajurit-prajurit TNI. Pada saat ini, pangkatnya sudah naik menjadi
kolonel. Saat ini, Kol. Inf Untung Budiharto menjabat sebagai komandan
Korem 045/Garuda Jaya36 yang berkedudukan di Provinsi Bangka dan
Belitung.
Perjalanan karier Untung Budiharto tampaknya mulus-mulus saja. Jenjang
kepangkatan yang dia capai saat ini sejajar dengan jenjang kepangkatan
rekan-rekan satu angkatan di Akmil 1988 (a). Pada tahun ini, beberapa
lulusan angkatan tersebut diperkirakan akan masuk ke jenjang bintang
satu (brigadir jenderal). Hanya satu langkah lagi bagi Untung untuk
menjadi jenderal.
8. Dadang Hendra Yuda (Akmil 1988)
Kapten Inf. Dadang Hendra Yudha menjabat sebagai Komandan Detasemen III
Batalion 42 Kopassus pada waktu penculikan itu terjadi. Dalam pengadilan
banding, Dadang dikenakan hukuman satu tahun empat bulan (enam belas
bulan) atas keterlibatannya dalam penculikan itu.
Beberapa bulan setelah bebas dari hukuman pidana itu, Dadang segera
masuk ke Seskoad. Dia tamat Seskoad pada 2001 dan pangkatnya saat itu
adalah mayor. Dengan demikian, lagi-lagi, kita dihadapkan pada
teka-teki, mengapa perwira yang sudah terbukti melakukan tindak kriminal
dan diputus oleh pengadilan, bisa dengan cepat mendapat kenaikan
pangkat, bahkan diijinkan untuk melanjutkan pendidikan untuk
meningkatkan karier militernya?
Tidak banyak yang kita ketahui ke mana Dadang setelah selesai menjalani
pendidikan di Seskoad. Namun, namanya kembali menghiasi media massa pada
tahun 2007, ketika didapati dia menjadi Komandan Kodim 0801/Pacitan,
Jawa Timur, dengan pangkat Letkol. Dadang dua kali menjabat sebagai
Dandim. Pada Juli 2008, dia dipindah menjadi Dandim Kodim
0813/Bojonegoro.37
Setelah menjadi Komandan Kodim (Dandim), Dadang diangkat menjadi Kepala
Staff Brigade Infantri 16/Wira Yudha [Kas Brigif 16/Wira Yudha].38
Posisi Dadang terakhir yang terlacak adalah sebagai Kasubdit
Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) [2014].39
Di posisi ini, ia sudah menyandang pangkat kolonel.
9. Djaka Budi Utama [Akmil 1990]
Dalam proses banding hukuman atas keterlibatannya dalam penculikan,
Djaka Budi Utama tetap dihukum satu tahun empat bulan. Tidak diketahui
dimana dia bertugas setelah menjalani hukuman. Lama menghilang, pada
tahun 2007 namanya muncul kembali sebagai Komandan Batalion 115/Macan
Leuser di Aceh Selatan. Batalion ini didirikan pada tanggal 6 Desember
2004. Djaka Budi Utama adalah Komandan Batalion yang pertama dan
menjabat cukup lama hingga diganti pada 29 Juni 2007.41
Djaka Budi Utama menyelesaikan pendidikan di Seskoad pada tahun 2004.
Kemungkinan dia langsung menjadi komandan batalion selepas pendidikan
itu. Kariernya semakin menanjak dengan jabatan baru sebagai Komandan
Kodim 0908/Bontang, Kalimantan Timur. Dia menduduki jabatan strategis di
kota kaya minyak ini hingga 27 Juli 2011. Pangkatnya pun naik menjadi
letnan kolonel.
Pada 31 Juli 2012, Letkol Inf. Djaka Budi Utama diangkat menjadi Asisten
Intelijen Kasdam Kodam Iskandar Muda, Nangroe Aceh Darrusalam. Jabatan
ini membawanya kembali ke Aceh, tempat dia lama bertugas.42 Dia dimutasi
dari jabatan Asintel pada 26 Maret 2014,43 hanya sebulan menjelang
pemilihan legislatif dan empat bulan menjelang pemilihan presiden. Tidak
diketahui dimana selanjutnya dia bertugas.
10. Fauka Noor Farid [Akmil 1992]
Fauka adalah perwira termuda dari semua perwira yang terlibat dalam
kasus penculikan. Namun, seperti halnya dengan Yulius Selvanus, tidak
banyak data tentang dirinya yang muncul ke permukaan. Tidak diketahui ke
mana dia setelah ditahan. Namanya muncul di media pada tahun 2005 saat
menjadi Komandan Detasemen Pemukul Satu Raider di Aceh.44 Saat itu,
Fauka sudah berpangkat mayor.
Juga tidak diketahui apakah Fauka pernah menjadi perwira siswa di
Seskoad. Namanya tidak ada dalam daftar lulusan alumni Seskoad. Dia juga
tidak terlihat pernah menjadi komandan di satuan-satuan teritorial
TNI-AD. Namun, sedikit keterangan tentang dirinya muncul dalam satu
putusan Mahkamah Agung RI. Dalam keputusan atas perkara kepemilikan
senjata api secara illegal yang melibatkan tertuduh yang bernama
Harmonis Siaga Putra, Fauka diajukan sebagai saksi di pengadilan.
Terdakwa, yang adalah seorang politisi lokal di Kotabumi, Lampung,
memiliki senjata api, tetapi tidak memiliki surat ijin yang sah, yang
dikeluarkan oleh kepolisian. Namun, ternyata terdakwa memiliki surat
izin yang dikeluarkan oleh BAIS dan ditandatangani oleh Letkol. Inf.
Fauka Noor Said. Dari putusan pengadilan itu, diketahui bahwa Fauka
pernah menjabat sebagai Dan Sus Pa Intel BAIS (2009 – Agustus 2011) dan
setelahnya menjabat sebagai Kepala Kelompok Khusus (Kopaksus) BAIS
(Agustus 2011 – ?).45
Setelah itu, Fauka seolah lenyap ditelan bumi. Namun, diam-diam, dia
muncul kembali sebagai orang sipil. Namanya tertera sebagai Juru
Kampanye Nasional Partai Gerindra untuk Pemilu 2014 dalam daftar juru
kampanye yang disahkan oleh KPU.46 Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi
DPP Partai Gerindra, Ondy A. Saputra, yang dihubungi untuk kepentingan
tulisan ini membenarkan bahwa Fauka memang anggota Gerindra dan menjadi
juru kampanye nasional partai itu. Menurut Ondy, Fauka sudah ‘pensiun’
dari dinas militer sejak dua tahun lalu.47
Karier, The Aceh Connection, dan Prabowo Subianto
Apa yang bisa kita simpulkan dari perjalanan karir militer para
perwira-perwira ini? Paling tidak, ada empat hal yang bisa ditarik dari
perjalanan karier mereka.
1. Hukuman pidana tidak berpengaruh terhadap karier dalam militer
Tujuh orang perwira yang dihukum karena penculikan ini ternyata tidak
mengalami gangguan berarti dalam mengembangkan karier militernya.
Beberapa dari mereka memiliki karier militer yang sangat maju dan laju
kenaikan pangkatnya di atas rata-rata kawan-kawan seangkatannya.
Taruhlah, misalnya, karier militer Kol. Inf. Untung Budiharto. Dia
menjalani karier militer yang sangat lengkap: sebagai komandan batalyon,
komandan territorial (Dandim dan sekarang Danrem), menjadi perwira
staff (Asren Kopassus), dan menjadi pengajar di Seskoad serta di
Kopassus. Dalam tradisi militer Indonesia, mutasi dan promosi yang
ditapak oleh Untung Budiharto adalah jalur mutasi dan promosi ke jenjang
jenderal. Tidak mengherankan jika Untung kemudian akan muncul di
jajaran elite TNI-AD.
Empat perwira yang lulus dari angkatan 1988 (Multhazar, Untung, Yulius,
dan Dadang) semuanya menyandang pangkat kolonel. Bahkan Drs. Nugroho
Sulistyo Budi, yang masuk dari luar jalur Akmil, juga sudah menyandang
pangkat kolonel. Yang lebih penting lagi, mereka adalah kolonel-kolonel
senior yang masih jauh dari usia pensiun.48 Mereka tinggal selangkah
lagi akan memasuki jenjang jenderal.49
Apakah cepatnya laju karir militer para perwira ini adalah sesuatu yang
wajar di dalam militer Indonesia? Agaknya tidak. Ini adalah sebuah
kekecualian. Perwira-perwira yang pernah dihukum karena melakukan tindak
kriminal biasanya langsung ‘masuk kotak.’ Karirnya tidak akan
berkembang, lalu dia dipindah ke pos-pos yang tidak penting. Namun, ada
perwira-perwira yang sekalipun dijatuhi hukuman kriminal berdasarkan
hukum militer tetap mendapatkan promosi karena dianggap sedang
‘menjalankan tugas negara.’
Hal ini terjadi tidak dalam kasus penculikan saja. Para perwira yang
dipidana karena terbukti melakukan pembunuhan terhadap tokoh adat Papua
Theys Hiyo Eluay pada 2001, ternyata terus mendapatkan promosi jabatan.
Letkol . Inf. Hartomo (Akmil 1986), yang pada saat itu menjabat sebagai
komandan Satgas Tribuana, sekarang sudah menyandang pangkat brigadir
jenderal dan saat ini menjabat sebagai Komandan Pusat Intel Angkatan
Darat (Danpusintelad). Hartomo adalah salah satu dari dua orang pertama
di angkatannya yang mencapai pangkat Brigjen. Perwira lainnya adalah
Bigjen TNI Hinsa Siburian, lulusan terbaik Akmil 1986, yang sekarang
menjabat sebagai Kasdam Kodam XVII/Cendrawasih. Terdakwa lain, Mayor TNI
Donny Hutabarat (Akmil 1990), sempat menjabat sebagai Komandan Kodim
0201/BS di Medan, dan sekarang menjabat sebagai Waasintel Kasdam Kodam
I/Bukit Barisan. Donny Hutabarat dipromosikan menjadi Waasintel ketika
Mayjen TNI Lodewijk Paulus, mantan Danjen Kopassus, menjabat sebangai
Pangdam I/Bukit Barisan. Sementara, Kapten Inf. Agus Supriyanto (Akmil
1991), yang juga terlibat dalam pembunuhan itu, sempat menduduki jabatan
sebagai komandan Batalion 303/Kostrad. Perwira terakhir yang terlibat
dalam pembunuhan Theys adalah Lettu Inf. Rionardo (Akmil 1994). Sekarang
dia diketahui menjabat sebagai Paban II Srenad di Mabes TNI-AD.
Semua kecenderungan ini memperlihatkan impunitas para perwira TNI dalam
perkara-perkara kriminal yang melibatkan tugasnya sebagai militer.
Persepsi yang berkembang di dalam TNI, semua kejahatan tersebut
dilakukan sebagai bagian dari ‘tugas negara’ dan penyelewengan dari
tugas tidak dengan serta merta menjadikan perwira-perwira itu tidak
cakap sebagai militer. 50
Tidak ada yang lebih tepat menggambarkan kecenderungan sikap TNI
terhadap perwira-perwiranya yang secara terang-terangan melanggar HAM,
ketimbang sikap mantan KSAD Jendral Ryamizard Ryacudu. Jendral yang
pernah santer disebut akan menjadi calon wakil presiden untuk Jokowi
ini, ketika menanggapi hukuman terhadap anggota TNI yang membunuh Theys,
dengan gamblang mengatakan bahwa mereka adalah ‘pahlawan.’51
Penyelidikan secara mendalam terhadap perjalanan karir perwira-perwira
ini juga mengungkapkan bahwa hukuman pidana yang mereka terima adalah
bagian dari karir militer mereka. Dengan mudah mereka mendapat promosi
setelah hukuman itu habis masanya.
2. Karir Intelijen
Menjadi prajurit Sandi Yudha sama artinya dengan menjadi intelijen.
Kenyataannya adalah semua perwira yang terlibat penculikan ini adalah
perwira-perwira intelijen. Pertanyaannya adalah: layakkah mereka terus
diberi kepercayaan untuk terus berkarya di dunia intelijen, yang dalam
konteks Indonesia, sangat sulit pertanggungjawabannya itu?’ Empat dari
delapan perwira yang terlibat dalam penculikan (Yulius, Nugroho, Dadang,
dan Fauka) terus bergelut dalam dunia intelijen.
Kasus pembunuhan Munir mengajarkan bahwa dinas intelijen bisa dengan
gampang digunakan untuk kepentingan pribadi. Memang tidak mungkin untuk
mengharapkan transparansi dari dunia intelijen, tetapi bagaimana pun
juga dunia intelijen itu haruslah accountable (bisa
dipertanggungjawabkan). Bisakah diharapkan accountability dari
perwira-perwira yang sudah terbukti dipengadilan melakukan
tindakan-tindakan pidana yang tercela?
Kalau pun tujuannya adalah memberikan ‘kesempatan kedua’ untuk
perwira-perwira ini, tidakkah lebih baik mereka diberikan tempat pada
institusi-institusi yang transparan untuk publik?
3. The Aceh Connection?
Hal yang juga menarik untuk diamati, sebagian besar perwira-perwira yang
terkait dengan penculikan ini juga memiliki karier yang terkait dengan
Aceh. Chairawan menangani Aceh saat dia di BAIS, menjadi Danrem di sana,
kemudian menjabat sebagai Kaposwil BIN. Perwira lain yang juga
berkarier di Aceh adalah Djaka Budi Utama, yang mulai sebagai Komandan
Batalion dan terakhir menjabat sebagai Asisten Intelijen Kodam Iskandar
Muda. Fauka Noor Farid juga pernah bertugas di Aceh sebagai komandan
pasukan detasemen pemukul (Denkul). Mengingat gejolak di Aceh sebelum
perjanjian Helsinki, besar kemungkinan perwira-perwira yang lain juga
bertugas di Aceh.
Bagi tiga orang ini, Aceh tentu bukan medan yang asing. Yang kemudian
menarik untuk diperhatikan adalah bahwa partai lokal yang berkuasa di
Aceh, Partai Aceh, dalam pemilihan umum legislatif 2014 memilih
berkoalisi dengan Gerindra. Chairawan pun aktif berkampanye di Aceh.[53]
Djaka Budi Utama, bekas anak buah Chairawan di Grup-4/Sandi Yudha
bahkan menjabat Asintel Kodam dan hanya diganti sebulan sebelum
pemilihan umum legislatif. Kedua orang ini pastilah sangat mengetahui
situasi sosial politik serta konfigurasi kekuasaan di Aceh. Adakah
orang-orang ini juga membantu terbangunnya koalisi aneh antara Partai
Aceh dan Gerindra? Mungkin sejarah yang akan lebih mampu menjawab
pertanyaan ini.
4. Patronase Prabowo?
Umumnya, ikatan antara komandan dengan anak buah sangat erat, sekalipun
diikat oleh tali komando yang ketat. Mereka mengalami suka duka bersama
di medan pertempuran. Namun, untuk konteks Indonesia, hubungan komandan
dan anak buah bisa meningkat menjadi hubungan patronase. Komandan
menjadi jalur untuk promosi ke jenjang kepangkatan lebih tinggi atau
mutasi ke tempat-tenpat yang prestisius. Komandan juga menjamin
kehidupan anak buahnya secara ekonomis.
Prabowo menjadi tipikal seorang komandan yang juga seorang patron.
Sebagai menantu presiden, dia jelas memiliki jalur ke lingkaran paling
elite di negeri ini. Dia juga memiliki akses ke sumber ekonomi yang
nyaris tak terbatas. Yayasan Kobame (Korps Baret Merah) mencapai puncak
kejayaannya ketika Prabowo masih di dalam Kopassus. Yayasan itu boleh
jadi sudah bubar, tetapi beberapa perusahan di bawah Kobame akhirnya
diambilalih oleh Prabowo. Dia ‘menghidupi’ beberapa mantan prajurit dan
perwira Kopassus.
Kesetiaan bekas anak buah Prabowo juga tidak diragukan. Muchdi
Pr.
mendirikan Gerindra bersama Prabowo. Meskipun ia keluar, diragukan
bahwa Muchdi sebenarnya berseberangan dengan Prabowo, adik kelas yang
kemudian menjadi patronnya itu. Chairawan langsung bergabung dengan
Prabowo begitu pensiun dari dinas tentara. Demikian juga dengan Bambang
Triono. Dan terakhir, Fauka Noor Farid juga bergabung dengan partai
politik bikinan Prabowo, Gerindra.
Kita tidak tahu apakah perwira-perwira yang masih berdinas aktif masih
menjaga hubungan dengan Prabowo. Mungkin juga tidak. Namun, melihat
postur Prabowo saat ini dalam politik Indonesia, tidak terlalu
mengherankan juga kalau mereka–dan juga perwira-perwira lain yang pernah
menjadi anak buahnya–masih menjaga hubungan dengan Prabowo, sekalipun
tidak secara formal.
Akhirnya …
Seperti yang dikatakan di atas, semua hal yang kita ketahui dari para
perwira yang pernah melakukan penculikan ini memunculkan lebih banyak
pertanyaan ketimbang jawaban. Namun, ada satu hal yang tegas dan jelas,
yakni para perwira ini masih bisa menikmati karier militer yang sangat
bagus sekalipun telah melakukan perbuatan pidana yang tercela.
bujanglapuk(forum vivanews)
penulis adalah peneliti masalah-masalah politik, militer dan jurnalis lepas(freelance). Tulisannya pernah muncul di prisma, jurnal indonesia dan inside indonesia.
.