Keluarga blasteran Palestina-Israel sekarang menjadi sasaran tembak baru Israel. Akhir-akhir ini, kelompok Yahudi nasionalis yang fanatik, menggelar aksi demonstrasi di jalanan menentang pernikahan campuran ini. Jumlah gadis Yahudi yang memilih suami dari kalangan Palestina makin banyak jumlahnya di wilayah mereka.
Dalam unjuk rasa di Bat Yam, mereka membawa aneka porster berisi penentangan kawin campuran ini. "Gadis Yahudi Hanyalah untuk orang Yahudi", demikian antara lain bunyi poster itu.
Pasangan Yahudi-Palestina memang tidak umum di Israel. Namun jumlah mereka kini terus bertambah, umumnya dari mereka yang berasal dari latar belakang liberal.
Rona, seorang wanita dari kalangan profesional Yahudi yang berusia awal tiga puluhan, mengaku tak ada yang salah dengan berhubungan dengan pemuda Palestina. Wanita yang minta namanya disamarkan ini telah menjalin hubungannya dengan seorang pria Palestina r selama hampir empat tahun.
Sementara orangtuanya tahu dan telah bertemu pacar Rona, Rona mengatakan bahwa dia berada pada titik di mana dia adalah "aktif berbohong" ke seluruh keluarganya.
"Saya tidak tahu bagaimana mengartikulasikan reaksi mereka," kata Rona. "Saya berpikir bahwa bibi dan paman saya tahu bahwa ada seseorang ... dan mereka pasti tahu bahwa dia Arab. Mengenalkan mereka pada keluarga bagi mereka sama dengan membawa pulang pembunuh."
Menurutnya, bagi keluarga Yahudi, lebih baik membawa pulang pecundang Yahudi ketimbang pemuda Arab.
Sebaliknya, Rona mengatakan bahwa tidak merasa ada rasisme berasal dari keluarga pacarnya. Tapi, karena situasi politik, ada saat-saat ia merasa kesenjangan di antara mereka.
Meskipun nasionalis religius Israel mulai berteriak-teriak menentang saat ini, sejatinya kawin campur Arab-Yahudi sudah berlangsung lama. Iris Agmon, seorang profesor di departemen Timur Tengah di Ben Gurion University mengatakan dalam catatan pengadilan syariah Ottoman, wanita Yahudi boleh menikah dengan pemuda Muslim setelah sebelumnya dia menjadi mualaf. "Dan kecenderungannya, wanita Yahudi yang menikah dengan Arab dia akan berpindah agama menjadi Muslim," katanya.
Setelah pemerintahan Ottoman berakhir, mandat Inggris juga melegalkan pernikahan pasangan beda ras ini. Deborah Bernstein, seorang profesor di departemen sosiologi dan antropologi Universitas Haifa mengatakan bahwa meskipun tidak ada dokumentasi sistematis atau bahkan diskusi tentang subjek ini, "Tapi jelas bahwa fenomena seperti ini memang ada".
Dia menemukan kisah keluarga kawin campur ini saat meneliti buku bahasa Ibrani tentang perempuan di Tel Aviv. Menurutnya, banyak dokumen-dokumen lain yang menunjukkan hubungan tersebut. "Bahkan, ada seorang wanita Yahudi yang memilih bercerai dengan suaminya untuk menikah dengan pria Arab," ujarnya.
Dalam kebanyakan kasus, Bernstein mengatakan, wanita Yahudi memeluk Islam sebelum menikah pasangan Arab mereka. Dia percaya bahwa mayoritas dari pasangan itu meninggalkan Israel ketika Israel mendirikan negara pada tahun 1948.
Bernstein menambahkan bahwa masyarakat Yahudi sejah dulu sangat kuat menentang perkawinan campuran. Tapi, kadang-kadang, protes terhadap hubungan semacam berlari ke arah lain - meninggalkan dampak abadi pada generasi yang akan datang.
Cucu yang lahir dari setengah darah Palestina, misalnya, menurut hukum agama Yahudi ia bukan orang Yahudi. Itu sebabnya, banyak wanita Yahudi yang memilih merahasiakan identitas suaminya atau malah keluar dari keluarganya.
Karena tetap menjadi isu yang sangat sensitif bagi kedua komunitas, sejumlah pasangan Yahudi-Palestina menolak permintaan wartawan Al Jazeera untuk sebuah wawancara. Beberapa begitu khawatir tentang reaksi keluarga, mereka tidak memberitahu orang tua mereka tentang pasangan mereka.
Sumber : suaramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar