Ketika itu sedang berlangsung Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Presiden Soekarno termasuk kepala negara yang hadir dalam sidang dengan agenda mendengarkan pandangan umum tiap negara anggota PBB itu. Silang pendapat terus terjadi di antara wakil negara yang hadir dan tak kunjung menunjukkan titik temu. Sebelum tiba giliran wakil Indonesia untuk menyampaikan pandangannya, Bung Karno dengan enteng berjalan ke kursi utusan negara India.
Ini jelas bukan pemandangan yang biasa terjadi dalam ruang sidang di markas PBB sehingga langsung menjadi pusat perhatian. Ditatap oleh puluhan wakil dari negara lain, Bung Karno berbisik pada Jawaharlal Nehru. Entah apa yang dibisikkan, hanya mereka berdua yang tahu. Yang jelas, Nehru kemudian mengangguk-angguk sembari tersenyum kepada koleganya itu.
Dalam jeda tidak terlalu lama, dari kursinya Bung Karno kemudian berjalan ke arah Gamal Abdul Nasser, wakil dari Mesir. Lagi-lagi “ulah” Proklamator RI ini menjadi pusat perhatian. Sama seperti sebelumnya, kembali Bung Karno berbisik yang disambut anggukan senang Nasser.
Tak pelak aksi lalu-lalang Bung Karno ini menimbulkan bisik-bisik di kalangan wakil-wakil negara Asia dan Afrika yang hadir. Seperti kita ketahui, ketika itu tiga orang ini, Nehru, Nasser, dan Soekarno adalah pemimpin bangsa Asia dan Afrika yang sangat berpengaruh. Ucapan, pandangan, dan gagasan mereka biasanya juga menjadi ide bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
Dan ketika Bung Karno menyampaikan pandangannya dengan mengusulkan diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika, hampir seluruh perwakilan dari Asia dan Afrika melakukan standing ovation memberikan aplaus tanda setuju atas gagasan Bung Karno. Pasalnya, mereka menganggap usulan tersebut telah diamini oleh Nehru dan Nasser. Buktinya, ketika Bung Karno berbisik, kedua tokoh besar itu mengangguk tanda setuju.
Di kamar hotel tempat delegasi Indonesia menginap, Muhammad Guntur Soekarno Putra, putra sulung Presiden RI pertama ini dengan rasa penasaran bertanya tentang apa gerangan yang dibisikkan ayahnya kepada kedua tokoh besar itu. Guntur memang paling sering diajak Bung Karno jika melawat ke luar negeri, termasuk saat berpidato di Markas Besar PBB. Rupanya Bung Karno mengatakan hal yang sama kepada Nehru dan Nasser.
Seperti dituliskan oleh Guntur dalam bukunya yang kini terbilang langka, Bung Karno Bapakku-Kawanku-Guruku, dia berbisik seperti ini: Yang Mulia, sepertinya sidang hari ini sangat melelahkan, bagaimana kalau nanti kita bertemu untuk makan malam bersama? Tentu saja kedua tokoh yang dibisiki tidak berani menolak dan akhirnya mengangguk, yang oleh wakil dari negara lain ditafsirkan sebagai sikap setuju atas gagasan Bung Karno.
Jujur, saya betul-betul terkesima dengan kecerdasan Bung Karno dalam berpolitik. Selain memang dikenal pintar berpidato, beliau ternyata juga lihai dalam berdiplomasi. Tak heran kalau di masanya Bung Karno begitu disegani oleh pemimpin-pemimpin negara besar di dunia. Dia tahu kapan harus “keras” dan kapan harus “lembut”. Mungkin situasinya jauh berbeda dengan sekarang, ketika negara tetangga tak malu-malu lagi menantang harga diri kita.
Saya sangat bisa mengerti dengan kemarahan yang muncul di tengah masyarakat dengan kasus terakhir, ditangkapnya tiga orang pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan oleh pemerintah Malaysia. Saya juga bisa memaklumi munculnya keinginan untuk berperang dengan negara tetangga itu ketika pejabat negara tersebut mengeluarkan pernyataan yang kurang santun. Sudah tak terhitung masalah muncul di antara kedua negara, yang sebagian besar menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai inferior. Ini jelas sangat mengganggu sentimen kebanggaan berbangsa dan bernegara.
Kendati demikian, saya tidak pernah percaya akan terjadinya perang antara Indonesia dan Malaysia. Terlalu banyak ikatan yang saling membutuhkan, baik dari segi ekonomi, sejarah, dan budaya. Selain itu, perang tak pernah menjadi solusi yang populer karena kerugian yang ditimbulkan, tidak peduli bagi mereka yang menang, apalagi bagi pihak yang kalah. Lantas, kenapa gairah untuk berperang itu begitu meledak-ledak, sementara di negeri seberang konflik yang ada ditanggapi dingin?
Saya merasa ini lebih kepada suasana batin masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah negara yang disebut-sebut kaya akan hasil bumi, wilayahnya luas tak terkira, dan penduduknya yang besar tak terhitung, ternyata kita belum apa-apa. Dengan semua kekayaan itu, sebagian masyarakat kita sulit untuk beranjak dari kemiskinan ketika sebagian lainnya sibuk menumpuk kekayaan. Begitu juga ketika pencuri mangga dihukum lebih lama ketimbang koruptor. Semuanya menimbulkan frustrasi.
Ketika suasana batin masyarakat sedang tak bagus, tiba-tiba Malaysia melakukan manuver politik yang tak perlu. Mereka yang tadinya jengkel dengan kondisi ekonomi, hukum, dan politik, menemukan musuh bersama untuk penyaluran akan kejengkelan itu. Marah-marah atau berunjuk rasa menuding pemerintah sendiri bisa jadi Anda akan berhadapan dengan pentungan polisi, tapi kalau memaki-maki pemerintah negara lain, siapa yang peduli? Maka jadilah sumpah serapah, membakar bendera, bahkan genderang perang ditabuh terhadap negara serumpun kita itu.
Dari literatur-literatur yang saya baca, tak sekalipun Indonesia dikenal sebagai negara yang haus perang. Alih-alih menjadi “jagoan”, Indonesia adalah negara bekas jajahan yang berhasil bangkit dari kekejaman bangsa lain. Jadi, sejatinya bangsa kita paham betul betapa perang tak akan pernah membawa kemaslahatan, sebagaimana negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia II juga tak pernah lagi memunculkan opsi perang dalam penyelesaian konflik politik luar negerinya.
Saya tidak mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang lemah, karena sejarah telah membuktikan kita tak pernah surut di gelanggang pertempuran saat mengusir pendudukan bangsa lain. Tapi, mestinya kita tak boleh gelap mata, emosional, dan gegabah dalam mengambil sikap untuk berperang atau tidak. Bagaimanapun, dunia sudah berubah, perang sudah tak lagi menjadi bukti kehandalan suatu bangsa. Tolok ukur kehebatan dan kebesaran sebuah bangsa kini tak lagi dinilai oleh semangat perang, kekuatan fisik, atau mutakhirnya mesin tempur.
Lihat saja negara-negara maju di Eropa dan di Asia, tak lagi memiliki sinyal untuk berperang. Sebaliknya, peperangan justru menjadi trend di negara-negara miskin di Afrika, Asia dan Amerika. Jadi, kalau perang saat ini menjadi prioritas kita, itu sama saja dengan langkah mundur. Sama dengan langkah mundur yang dilakukan Amerika Serikat saat menyerang Irak dengan segala keunggulannya. Kini, ketika Barack Obama memutuskan untuk keluar secara permanen dari Negeri 1001 Malam itu, tak ada yang berani mengatakan bahwa mereka telah memenangkan perang. Ribuan tentara yang tewas dan kemerosotan ekonomi menjadi ganjaran atas semangat perang Sang Adidaya.
Di lain sisi, membiarkan negara tetangga merendahkan kehormatan kita jelas tak bisa diterima. Pemerintah harus punya sikap dan bahasa yang jelas menyikapi masalah ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di Mabes TNI di Cilangkap mengatakan bahwa pemerintah menginginkan penyelesaian yang cepat, tegas dan tepat. Tapi, kita tidak berharap itu hanya ada tertulis di teks pidato, melainkan berada pada tataran tindakan. Bukti inilah yang belum dilihat oleh masyarakat.
Cukup sudah pemerintah terlihat lemah selama ini. Tak berdaya pada koruptor, takluk dengan pengemplang pajak, dan menutup mata terhadap pembalak hutan. Saatnya pemerintah memperlihatkan bahwa mereka berdaulat dan memegang amanat Konstitusi untuk menjaga kedaulatan serta kehormatan bangsa ini. Kita tentu tak mau harga diri bangsa menjadi tergadai hanya karena rakyat kita banyak mencari makan di negara lain lantaran ketidakberdayaan pemerintah menyediakan lapangan kerja di negeri sendiri.
Pada konteks inilah ketegasan itu diperlukan. Kita tak harus mengajak negara lain untuk berperang sebagai bentuk ketegasan itu. Kita hanya perlu menjelaskan tanpa harus berputar-putar tentang apa yang kita mau secara terukur dan masuk akal. Setelah itu biarlah diplomasi berjalan sembari melihat sejauh mana kedekatan dua bangsa serumpun yang diagung-agungkan itu bisa menyelesaikan masalahnya tanpa harus menarik picu bedil.
Kembali kepada Bung Karno, sebagai seorang pemimpin besar bukannya dia tak pernah gagal. Ketika menentang penggabungan Kalimantan Utara (Sabah, Serawak dan Brunei) dengan Kerajaan Malaysia, Soekarno langsung mengobarkan semangat “Ganyang Malaysia” dan menyatakan perang. Namun, perang itu sendiri tak begitu serius dan pertempuran skala kecil itu akhirnya terhenti setelah banyak pasukan Indonesia yang tertangkap atau tewas dalam penyusupan ke Kalimantan utara. Yang jelas, ini membuktikan bahwa perang tetap dimungkinan, meski itu adalah pilihan yang berat.
Seorang teman mengatakan kepada saya, bagaimana mungkin kita mampu berperang dengan bangsa lain kalau menghadapi kelompok kecil seperti Gerakan Aceh Merdeka atau pemberontak Timor Timur saja kita sudah kewalahan. Saya yakin, teman ini tak bermaksud untuk mengecilkan kemampuan kita, tapi lebih kepada harapan untuk mengedepankan otak sebelum otot, mendahulukan logika ketimbang perasaan.
Contohnya, saat baru tiba di AS dalam sebuah lawatan kenegaraan, Presiden Kennedy memperkenalkan tim pengawal khusus yang akan mendampingi Presiden Soekarno selama berada di negara itu. Ketika berada di kamar hotel, Bung Karno memanggil komandan pengawalnya. Sang pengawal ditanya tentang senjata yang mereka gunakan. Tak pelak Bung Karno pun terkagum-kagum melihat senjata sang pengawal. “Kalah jauh pengawal presiden di Indonesia soal kecanggihan senjatanya,” ujar Bung Karno. Perbincangan terus berlanjut.
Saat Bung Karno menanyakan apakah sang komandan pengawal itu pernah membunuh orang selama berdinas, yang bersangkutan mengatakan belum pernah. Jawaban itu kontan membuat Proklamator RI ini terkekeh. “Kalau untuk yang ini pengawal Presiden Indonesia lebih hebat, rata-rata mereka sudah pernah membunuh belasan tentara Belanda,” ucap Bung Karno. Kita memang harus tahu kapan saatnya merendah dan kapan membusungkan dada.
Tulisan oleh Rinaldo
Sumber: Liputan6 Blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar