Soeharto memendam prasangka buruk bahwa Prabowo bersama-sama Habibie
sedang menggalang persekongkolan untuk menumbangkannya. Sebagaimana
tradisi dalam riwayat raja-raja Mataram yang dikudeta oleh kalangan
istana sendiri, maka “putra mahkota” Prabowo agaknya tengah mengatur
siasat untuk mendongkel sang raja, Soeharto. Cerita-cerita semacam ini
sudah beredar luas sedari awal tahun 1998 dan menjadi bahan spekulasi
politik yang semakin panas di kalangan masyarakat. Menurut Sumitro,
dalam hal ini Soeharto rupanya telah termakan isu yang diembuskan
putra-putrinya—yang di hari-hari terakhir memiliki hubungan yang semakin
buruk dengan Prabowo.
Cerita-cerita miring boleh jadi meluas dengan cepat, sebab diketahui
bahwa di luar istana terdapat pula sebarisan perwira tinggi ABRI yang
memandang dengan penuh perasaan cemburu terhadap karier Letjen Prabowo
yang menanjak dengan pesat. “Kenaikan pangkat yang cepat dari anak saya
itu sudah jelas mengundang ketidaksenangan bagi beberapa orang. Kondisi
kecemburuan seperti ini sudah merupakan sifat umum dari manusia di
manapun.[1]
Salah satunya yang tidak lagi menyembunyikan rasa bencinya terhadap
Prabowo ialah Pangab Jenderal Wiranto. Bersama kelompoknya, niscaya
Wiranto dalam posisi terus mengintai, dan bahkan mungkin sebagai pihak
yang berusaha mengambil inisiatif. Ia tentu tak menyia-nyiakan
kesempatan begitu melihat ada peluang agar dapat menghempaskan Prabowo.
Wiranto di sekitar tanggal 21 Mei 1998 kabarnya mengeluh kepada mantan
Presiden/Pangti Soeharto mengenai pergerakan Prabowo. Mendengar keluhan
itu, Soeharto langsung “menginstruksikan” agar Prabowo segera dilepaskan
dari pasukan. “Copot saja Prabowo dari Kostrad!” Wiranto, masih menurut
sumber yang sangat dipercaya pula, konon sempat bertanya lagi apakah
Prabowo harus dilempar ke teritorial, ke Irian Jaya, atau entah ke mana?
“Ndak usah, kasih saja pendidikan. Bukankah keluarganya intelektual,”
sergah Soeharto, tampaknya ia hendak menyindir keluarga Sumitro.
Malam hari sebelum pengumuman, Prabowo menelepon kepada ayahnya
memberitahu bahwa ia akan disingkirkan. “Saya dikhianati,” kata Prabowo.
Oleh siapa? “Papi nggak percaya kalau saya bilang, saya dikhianati oleh
mertua. Dia bilang kepada Wiranto, singkirkan saja Prabowo dari
pasukan,” tambah Prabowo.
Prabowo tentu saja sangat kecewa dengan perlakuan keluarga Cendana.
Untuk membela diri, Prabowo menulis surat kepada Soeharto. Tapi, justru
surat Prabowo itu dinilai tak pantas oleh keluarga Cendana.
Tanggal 25 Mei 1998: Letjen Prabowo Subianto resmi dicopot dari
Pangkostrad, dan dikirim ke Bandung untuk menjadi Komandan Sesko ABRI.
Tak berapa lama, setelah pemeriksaan Dewan Kehormatan Perwira (DKP),
bahkan karier militer Prabowo diakhiri oleh Wiranto. Akhirnya, Prabowo
memutuskan untuk memilih menjadi pengusaha di luar negeri, guna menyusun
hidup yang baru. Sebelum berangkat, ia sempat melapor kepada Pangab
Jenderal TNI Wiranto, dan kala itu Wiranto sempat berkomentar singkat,
“Ya, sudah pergi saja ke luar, tak apa-apa. Jauhkan pikiran kamu dari
Mahmil!”
Menyaksikan tragedi yang menimpa Prabowo, tentu saja sebagai orang tua,
Sumitro menganggap itu sebagai cobaan yang berat dalam kehidupan. Tapi,
itu tidak lantas membuat keluarga ini harus merasa terpukul apalagi
terpuruk. Dengan suara tetap lantang dan tenang Sumitro berkata,
“Prabowo mesti tetap tabah dan lebih kuat lagi. Masalahnya bukan ia
dipukul, tapi bagaimana ia bisa bertahan. Saya bangga Prabowo tabah.
Ujian buat saya dan isteri saya dalam kehidupan jauh lebih dari itu,
habis dari menteri lalu tiba-tiba jatuh jadi buronan, ha..ha..ha!”
Kepada Prabowo, Sumitro cuma berujar singkat, “Begini, sekarang kamu
dijadikan sasaran macam-macam. Jangan harapkan teman-teman kamu sendiri
akan membantu. Orang yang berhutang budi terhadap kamu pun bakal
meninggalkan kamu. Tapi, dalam keadaan segelap apa pun niscaya masih ada
orang-orang baru yang akan membantu. Jadi harus tabah. Kedua, jangan
merasa kasihan pada dirimu sendiri, jangan menjadi dendam, ini kehidupan
sendiri, hadapilah!” kata Sumitro seraya mengingatkan bahwa Sumitro
sudah beberapa kali mengalami hal serupa bahkan yang lebih buruk dari
itu.
Di depan DKP, Prabowo mengungkapkan mengenai daftar sembilan aktivis
yang harus diculik yang ia dapat dari atasannya, seraya mengatakan bahwa
kesembilan orang itu menjadi tanggung jawabnya dan telah ia lepaskan
serta semuanya masih hidup.
… Berarti yang mesti ditelusuri lebih jauh ialah siapakah yang memberi
perintah kepada Prabowo untuk menculik, KSAD-kah, Pangab atau
Pangti-kah?
Tindakan pertama ABRI segera setelah Soeharto lengser ialah berusaha
mengungkap kasus penculikan para aktivis pro-demokrasi. Begitu Pangab
Jenderal TNI Wiranto mengumumkan tujuh oknum anggota Kopassus sebagai
tersangka kasus penculikan, banyak pihak memuji langkah tersebut,
menilai bahwa ABRI tengah menuju perkembangan yang menggembirakan,
karena sudah mulai transparan jika ada anggotanya terlibat dalam perkara
besar.[2]
Wiranto lantas seakan-akan hendak memuaskan tuntutan masyarakat dengan
membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP), yang diketuai Kepala Staf
Angkatan Darat Jenderal Subagyo H.S. DKP kemudian memeriksa Letnan
Jenderal Prabowo Subianto, Mayor Jenderal Muchdi P.R. dan Kolonel
Chairawan. Hasilnya, Prabowo Subianto diakhiri masa dinasnya (istilah
lain dari diberhentikan dengan hormat) di ABRI. Sedangkan, Muchdi dan
Chairawan dibebaskan dari semua tugas dan jabatan struktural di ABRI.
Mereka terkena sanksi sehubungan dengan kasus penculikan yang dilakukan
oleh Tim Mawar Kopassus, antara bulan Februari 1998 hingga Maret 1998.
Tercatat belasan aktivis pro-demokrasi diculik, tiga di antaranya dapat
meloloskan diri, yaitu Desmond Mahesa, Pius Lustrilanang, dan Nezar
Patria.
Namun belakangan terbukti bahwa langkah Wiranto tersebut lebih bermakna
politis—kalau tidak boleh dikatakan mengelabui publik—ketimbang
kesungguhan institusi ABRI sendiri untuk mengungkap satu per satu kasus
yang mengemuka di masyarakat, sebagai cermin kesungguhan ABRI untuk
memperbaiki citra buruk dirinya. Kasus orang hilang sampai sekarang
tidak terjawab tuntas. Padahal, Prabowo sudah mengakui perbuatannya. Di
depan DKP, Prabowo mengungkapkan mengenai daftar sembilan aktivis yang
harus diculik yang ia dapat dari atasannya, seraya mengatakan bahwa
kesembilan orang itu menjadi tanggung jawabnya dan telah ia lepaskan
serta semuanya masih hidup.[3] Bahkan, Haryanto Taslam kabarnya mengakui
bahwa ia masih hidup karena Prabowo yang melepaskan.
Mengapa setelah DKP memeriksa Prabowo dan kawan-kawannya, pengusutan
kasus penculikan lantas berhenti. Bukankah yang bersangkutan sudah
bersedia dan menyatakan lebih senang bila kasusnya diselesaikan di
mahkamah militer, sebagaimana keinginan masyarakat luas yang sangat
berharap agar kasus ini dapat dituntaskan di mahkamah militer.[4] Dalam
kamus tentara tentu saja mustahil ada operasi tanpa perintah atasan.
Atau dengan kata lain, tidaklah mungkin seorang tentara berani mengambil
inisiatif untuk melakukan operasi militer tanpa diperintah atasannya,
apa pun pangkatnya. Berarti yang mesti ditelusuri lebih jauh ialah
siapakah yang memberi perintah kepada Prabowo untuk menculik, KSAD-kah,
Pangab atau Pangti-kah? Dengan mengikuti alur pertanyaan ini, maka tidak
dilanjutkannya kasus Prabowo ke mahkamah militer adalah karena bila
diungkap maka kemungkinan akan melibatkan banyak jenderal atau
membongkar rahasia di Angkatan Darat sendiri.
Di sini segera terlihat jelas muatan politis (baca: taktik dan tipu
daya) dari langkah Wiranto. Pertama, ia berusaha merebut simpati publik
dengan cara mengajukan sejumlah oknum Kopassus tadi dan bila perlu tidak
segan-segan menjatuhi mereka hukuman.[5] Jadi, jatuhnya vonis hukuman
buat anggota Tim Mawar seakan-akan hanya bermaksud menyenangkan publik.
Tak terhindarkan muncul kesan bahwa ketujuh anggota Kopassus itu menjadi
pihak yang dikorbankan. Penilaian ini didasarkan pada logika dalam
kemiliteran bahwa tidak mungkin seorang berpangkat mayor dapat mengambil
inisiatif sendiri atas suatu operasi.[6]
Kedua, dengan menangani lebih dahulu dan sesegera mungkin kasus
penculikan yang melibatkan Prabowo, berarti terbuka luas kesempatan bagi
Wiranto untuk menggeser Prabowo. Dan memang kelak, melalui
temuan-temuan yang diperoleh DKP (Dewan Kehormatan Perwira), Wiranto
punya alasan kuat untuk menamatkan karier Prabowo Subianto di milker.
Ketika kemudian penyelidikan atas kasus ini seakan- akan terhenti,
dengan tanpa melacak lebih lanjut ke tingkat yang lebih tinggi guna
mencari tabu siapa yang memberi perintah kepada Prabowo, publik segera
sadar bahwa pengungkapan kasus penculikan semata-mata mempunyai sasaran
tunggal: yakni menggeser Prabowo.
“Saya rasa, keadilan terhadap perihal Prabowo Subianto terlihat kabur
dan ngawur, karena seakan-akan segala tenaga menghujat terpusat pada
Kopassus dan Prabowo Subianto. Mengapa segala sesuatu berada di
pundaknya? Padahal, kita semua tahu banyak kesatuan lain dan perwira
tinggi lain yang terlibat di situ.”
Setelah berhasil menyingkirkan Prabowo, Jenderal TNI Wiranto kemudian
dengan leluasa melakukan konsolidasi (baca: pergeseran-pergeseran
personel) di dalam tubuh TNI. Langkah tersebut dinilai banyak kalangan
sebagai upaya membersihkan tubuh ABRI dari pengaruh Prabowo.[7]Puncak
upaya marginalisasi para perwira yang dekat dengan Prabowo ialah
dilakukannya mutasi besar-besaran 100 perwira ABRI pada 4 Januari 1999.
Dengan demikian, Jenderal Wiranto telah melakukan usaha-usaha serius dan
sistematis guna menyingkirkan Prabowo dan kelompoknya, di mana upaya
pengungkapan kasus penculikan aktivis sebagai entry point-nya.
“Saya rasa, keadilan terhadap perihal Prabowo Subianto terlihat kabur
dan ngawur, karena seakan-akan segala tenaga menghujat terpusat pada
Kopassus dan Prabowo Subianto. Mengapa segala sesuatu berada di
pundaknya? Padahal, kita semua tahu banyak kesatuan lain dan perwira
tinggi lain yang terlibat di situ.” kata Sumitro suatu waktu kepada
wartawan.[8] Sumitro mengeluarkan uneg-unegnya karena menyaksikan bahwa
isi pemberitaan dari kalangan media cetak dan elektronika sudah termakan
black propaganda yang diembuskan oleh pihak tertentu. Kalangan media
massa banyak mengembangkan opini dari sumber-sumber yang obyektivitasnya
diragukan. Dengan demikian, harapan akan keadilan dan sense of fair
treatment masih kurang.
Sumitro mengatakan, dirinya menghargai dan menghormati Prabowo Subianto
sebagai ksatria, serta berani mengambil tanggung jawab jika dalam
melaksanakan tugasnya ada kesalahan. “Namun, tak boleh lupa, ada
atasannya. Bahwa kalau ada penyimpangan di dalam ABRI maka ada dua
tingkat atasannya yang harus tahu.”
Ayah Prabowo juga mengemukakan keheranannya mengapa pada tanggal 14 Mei
1998, Pangab Jenderal TNI Wiranto tetap ngotot untuk memberangkatkan
semua jenderal penting ke Malang guna menghadiri upacara peralihan
Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dari Divisi I ke Divisi II, padahal
sudah ada info bahwa bakal ada kerusuhan. Prabowo pun telah mengingatkan
bahwa akan terjadi sesuatu, sehingga berpendapat agar Pangab dan
jenderal-jenderal yang menjabat posisi-posisi strategis—seperti Kasad,
Danjen Kopassus, dan juga dirinya (Pangkostrad)—agar tidak pergi ke
Malang. Prabowo mengatakan apakah tidak sebaiknya ia berada di Jakarta
untuk berjaga-jaga membantu Pangdam Mayjen Sjafrie Sjamsuddin. Namun,
Wiranto tetap bersikeras bahwa semua harus berangkat meninggalkan
Jakarta! Ini berarti mengorbankan keamanan Jakarta, untuk sebuah acara
tak begitu penting di Malang, sebab penyerahan pasukan di Malang
sebenarnya cukup dilakukan oleh Panglima Divisi! Padahal pada tanggal 12
Mei 1998 di Jakarta Barat sudah terjadi kerusuhan. Keadaan di Jakarta
dengan cepat memburuk akibat jatuhnya korban tertembaknya mahasiswa
Trisakti.
Seorang sumber harian Berita Buana[9] menyebutkan bahwa Prabowo berani
mengingatkan Wiranto—bahkan konon mengusulkan agar acara di Malang
ditunda[10]— karena dirinya mendapat informasi dari Kedutaan AS bahwa
akan terjadi gerakan sejuta massa di Jakarta.
Singkat cerita, dalam desain rekayasa itu (kalau memang benar itu ada),
Mabes ABRI tetap pada rencana semula: acara di Malang jalan terus!
Pangab akan tetap hadir, Pangkostrad hadir juga, KSAD juga turut ke
sana. Padahal, dalam keterangannya kepada TGPF, Kepala BIA menegaskan
bahwa karena peristiwa penembakan di Trisakti, semua pasukan harus siaga
satu![11]
Mengenai hal ini, Sumitro menilai sikap Wiranto sangatlah janggal dan
menduga keras tersembunyi maksud-maksud terselubung mengapa ia
“mengungsikan” para pimpinan pasukan ke luar Jakarta. Mengapa hanya
Sjafrie yang disisakan di Jakarta dengan jumlah pasukan sedikit? Apakah
ini sudah didesain? Bagi Sumitro hal inilah yang harus diusut tuntas
guna menyingkap misteri tebal di seputar kerusuhan 13-15 Mei 1998.
[Sumitro menilai sungguh aneh rekomendasi yang dikemukakan Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF) agar pemerintah mengusut pertemuan berbagai tokoh
tanggal 14 Mei 1998 di Makostrad].
Pertanyaan selanjutnya, kelompok manakah yang membuat rekayasa sehingga
dengan sengaja menyebabkan jatuhnya martir pada peristiwa penembakan
mahasiswa Trisakti, yang terbukti sangat berperanan dalam memanaskan
gerakan massa?
Pagi hari tanggal 14 Mei 1998, rombongan jenderal melenggang ke Malang.
Di saat yang sama kerusuhan sudah meletus di Jakarta! Dan, baru pukul
12.30 rombongan tiba di Jakarta, saat situasi sudah sangat terlambat,
sudah banyak gedung yang dibakar massa, sebagian Jakarta sudah hangus!
Ketika Jakarta benar-benar porak-poranda, masyarakat dibuat keheranan
karena Ibu Kota seakan-akan lowong tanpa adanya penjagaan pasukan
sama-sekali, sehingga kerusuhan dengan cepat meluas. Hasil rekayasa
siapakah ini?
+++
“Jelas sudah, dalam soal ini satu dari dua orang itu: Habibie atau Wiranto, pasti berdusta!” tegas Sumitro…
Presiden transisi B.J. Habibie di depan Forum Editor Asia-Jerman II di
Istana Merdeka, tanggal 15 Februari 1999 mengatakan, bahwa sehari
setelah Soeharto tumbang, Prabowo melakukan konsentrasi pasukan.
“Pasukan di bawah komando seseorang, yang namanya tidak usah
disembunyikan lagi, Jenderal Prabowo, sedang mengkonsentrasikan di
beberapa tempat termasuk di rumah saya,” ucap Habibie.
Anehnya, keterangan Habibie itu langsung dibantah oleh Pangab Jenderal
TNI Wiranto, dengan mengatakan bahwa keberadaan pasukan itu sesuai
dengan prosedur tetap: mengamankan presiden dan wapres di saat genting.
Padahal, dalam pernyataannya Habibie menyebutkan bahwa informasi
tersebut bersumber dari Wiranto. Mantan Pangdam Jaya Syafrie Sjamsuddin,
memastikan bahwa itu bukan pasukan Kostrad, melainkan pasukan Kopassus.
Dalam briefing Pangab di Markas Komando Garnisun, 14 Mei 1998, Pangab
memerintahkan kepada Pangkostrad Prabowo untuk mengamankan
instalasi-instalasi vital. Dankoman (Komandan Korps Marinir)
diperintahkan mengamankan konsulat dan kedubes, sedangkan Danjen
Kopassus disuruh mengamankan RI-1 dan RI-2. Semua tugas itu di bawah
kendali Pangkoops Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin.[12]
“Jelas sudah, dalam soal ini satu dari dua orang itu: Habibie atau
Wiranto, pasti berdusta!” tegas Sumitro, seraya menambahkan ia tidak
tahu apa maksud Habibie melontarkan isu semacam itu. Sumitro
menceritakan pula bahwa sewaktu Habibie terpilih untuk memangku jabatan
Wakil Presiden RI, Habibie secara khusus datang menemui Sumitro untuk
mohon doa restunya agar ia dapat menjalankan tugas yang dipercayakan
tersebut dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, Sumitro sangat kecewa
atas pernyataan-pernyataan Habibie yang selalu mendiskreditkan Prabowo.
Sumitro juga membantah isue bahwa Prabowo sempat memaksakan niat menjadi
Kepala Staf Angkatan Darat, bahkan Panglima ABRI.
“Itu cuma black propaganda yang dilancarkan oleh orang-orang yang
membenci Prabowo. Anda sekarang sudah bisa menduga-duga siapa-siapa
orang tersebut. Dan, terutama saya yakin dugaan Anda pasti tepat!” tutur
Sumitro.
*) Dicuplik dari buku Aristides Katoppo, dkk., Sumitro Djojohadikusumo:
Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (Jakarta: Sinar Harapan, 2000), Bab 46,
dengan judul asli “Soal Prabowo”.
[1] Wawancara Sumitro Djojohadikusumo dengan wartawan The Business Times, Singapura, edisi 15-16 Februari 1997.
[2] Simak misalnya komentar pengamat politik dan militer Indonesia Dr.
Harold Crouch. Ia menyebut langkah Wiranto itu sebagai suatu tindakan
yang luar biasa. Lihat, Merdeka, 16 Juli 1998. Pujian terlalu dini
dilontarkan pula oleh Prof. Daniel S. Lev, lihat dalam Merdeka, 21 Juni
1998.
[3] Prabowo berkesaksian bahwa ia tidak mengetahui hal-ihwal penculik 12
orang lainnya yang hingga sekarang masih belum kembali. Dengan
demikian, berarti ada pihak-pihak lain di luar Prabowo yang juga turut
“bermain” dan hingga sekarang belum terungkap
[4] Dalam jajak pendapat yang diadakan oleh majalah Gatra bersama
Laboratorium Ilmu Politik, FISIP UI, di tiga kota Jakarta, Dili, dan
Banda Aceh pada bulan September 1998 terungkap bahwa hampir semua
respoden yakni 97,6 persen menginginkan kasus tersebut dilanjutkan ke
mahkamah militer. Lihat Gatra, 10 Oktober 1998.
[5] Tujuh anggota Tim Mawar akhirnya dijatuhi hukuman, mereka
dipersalahkan karena “mengambil inisiatif sendiri” untuk mengadakan
serangkaian tindak penculikan terhadap para aktivis mahasiswa. Demikian
dakwaan yang dibacakan oleh Oditur Militer. Tentu saja keterangan ini
sungguh aneh dan sama sekali tak boleh dipercaya, mana mungkin dalam
tradisi militer seorang berpangkat mayor dapat memimpin suatu operasi
tanpa diketahui oleh atasannya? Seorang perwira tinggi ABRI ketika
dikonfirmasikan ihwal ini, cuma berkomentar singkat, “Hukukam tersebut
harus diterima. Itu memang risiko menjadi tentara!”
[6] Dalam dakwaan yang dibacakan oleh Oditur Militer Kolonel H. Harom
Widjaja, ide penculikan datang dari Mayor Bambang Kristiono, 38 tahun.
Komandan Pleton 42 Kopassus itu menilai aksi-aksi unjuk rasa yang
dilakukan para aktivis radikal sudah mengganggu stabilitas nasional. Mei
1997, Bambang membentuk satuan tugas Tim Mawar. Tim ini, lanjut dakwaan
Oditur Militer, beroperasi sangat rahasia dan tertutup, menggunakan
metode hitam dengan pos komando yang berdiri sendiri. Bambang lalu
memerintahkan anak buahnya untuk “mengamankan” para aktivis yang
dicurigai. Penculikan pertama dilakukan terhadap Desmond pada 3 Februari
1998. Lihat, Majalah D&R No. 20/XXX/28 Desember 1998.
[7] Para petinggi ABRI, termasuk Jenderal Wiranto, membantah adanya
pertikaian elit politik di tubuh tentara, termasuk mengenai
pengelompokan-pengelompokan yang membagi tentara, “ABRI Merah Putih” dan
“ABRI Hijau”. Namun, isu mengenai adanya persaingan antara kedua
kelompok ini bertium semakin santernya di luaran, dan isu itu banyak
bersumber dari kalangan dalam ABRI sendiri.
Sumber kaskus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar