Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 25 Mei 2014

LB. MOERDANI – MILITER & INTELEJEN SEJATI



KISAH DUA ORANG PRAJURIT.
Soeharto membenci sekaligus menyayangi Benny Moerdani. Lama terputus, hubungan keduanya pulih setelah lengsernya sang Presiden.

"Biar jenderal atau Menteri,yang bertindak inkostitusional akan saya gebug!" Kata-kata itu meluncur dari mulut Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto di atas pesawat kepresidenan, pertengahan 1989. Ketika itu dia dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke Beograd, Yugoslavia.

Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto tak menyebut nama tapi publik tahu siapa yang dimaksud. Leonardus Benyamin Moerdani. Di akhir 1980-an sang Presiden memang sedang sengit-sengitnya kepada Benny. Bawahan yang paling dia percaya itu berani menganjurkan dia untuk tidak lagi menjadi presiden serta menentang anak-anaknya.

Itulah isu yang berkembang. Mayjen (Pur)Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Kostrad, malah mengatakan Benny ingin melakukan kudeta. Informasi ini yang menurut Kivlan dilaporkan Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra Prabowo Subianto kepada mertuanya yang berujung pemecatan Benny dari jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang Umum MPR 1988.

Benny tegas-tegas membantahnya. "Bagi saya seorang prajurit yang pernah melawan pemimpin tertingginya berarti sudah cacat seumur hidupnya," katanya kepada Brigjen (Pur) FX Bachtiar yang menanyakan hal itu.

Kata-kata Benny itu dikutip Bachtiar dalam artikelnya di biografi "LB Moerdani Pengabdian Tanpa Akhir" yang terbit Desember 2004. Puluhan sahabat dan kenalan yang ikut menuliskan pengalaman mereka mengatakan Benny seorang loyalis. Ucapan Benny kepada Letjen (pur) Sofian Effendy menggambarkan hal itu: "Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto adalah guru saya. Dia yang membesarkan saya.

Membesarkan? Ya. Mereka berkenalan dalam Operasi Mandala untuk merebut Irian Barat pada 1961. Soeharto, sang Komandan, mengagumi keberanian Kapten Benny yang ketika itu memimpin Pasukan Naga. Mereka kembali bertemu pada 1965 kala Benny ditempatkan di satuan intelijen Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang dipimpin Soeharto.

Hubungan mereka kian dekat. Setelah berkuasa, pada 1974 Soeharto mengangkat Benny menjadi Kepala Perwakilan RI di Seoul, Korea Selatan. Tapi Benny sering meninggalkan posnya karena punya tugas "sampingan": mengawal Soeharto dalam berbagai lawatan ke luar negeri. Lakon pengawal tak resmi ini dia jalankan hingga bertahun-tahun.

Saking percayanya, Pada 1975 Soeharto menunjuk Benny memimpin Operasi Seroja ke Timor Timur. Dan Benny sukses. Enam tahun kemudian, dia ditugaskan memimpin pasukan Kopasandha membebaskan pesawat GadudaWoyla DC-9 yang dibajak di Bandar Udara Don Muang, Thailand. Ada yang mengatakan itu rekayasa Soeharto agar bisa mendongkrak pangkat Benny.

Benar atau tidak, yang pasti sejak itu karir Benny maju pesat. Puncaknya ketika Soeharto menunjuk Benny sebagai Panglima ABRI dalam Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Kabinet Pembangunan IV (1983-1988). Tapi, laporan Prabowo membuat Soeharto marah dan "memensiunkan" anak emasnya itu lebih awal.

Mantan dokter tentara dalam dalam Operasi Mandala Ben Mboi, bercerita, Soeharto sudah lama jengkel pada Benny. Soalnya, dia berani meminta si Bos "menjauhkan" anak-anaknya dari kekuasaan. Itu dia sampaikan ketika keduanya bermain bilyar, sendirian, di Cendana. Saat itu Benny sudah menjadi Pangab. "Ketika saya angkat masalah anak-anak itu, Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Pak Harto berhenti bermain, masuk kamar tidur dan tinggalkan saya di kamar bilyar," ujar Benny kepada Ben

Anehnya, Soeharto seperti tak bisa benar-benar membenci Benny. Ketika munyusun kabinetnya pada 1988, Benny mendapatkan pos Menteri pertahanan dan keamanan. Keputusan tak terduga itu membuat Benny kalah taruhan dan harus membayar Laksamana (Pur) Sudomo satu set golf plus 2.000 bola.

Padahal ketika bertemu Sudomo beberapa waktu sebelum pengumunan kabinet, Soeharto masih amat marah pada Benny. Itu karena Benny mengusulkan penguasa Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Orde Baru untuk mundur dari pentas politik setelah 1993. Benny kuatir, kalau diteruskan nasib Soeharto akan seperti Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Presiden Soekarno: diturunkan dengan paksa.

Soeharto akhirnya diturunkan setelah huru-hara pada 1997. Tapi itu justru berkah bagi kedua "sahabat" yang hampir sepuluh tahun marahan. Pada ulang tahun Soeharto pertama setelah lengser—8 Juni 1998— Benny datang. Keduanya kembali saling mengunjungi dan berkirim kartu ucapan hingga Benny berpulang pada 29 Agustus 2004.
Jenazah disemayamkan rumah duka Jalan Terusan Hang Lekir IV/43, Jakarta Selatan dan kemudian di Markas Besar TNI Angkatan Darat. Upacara penghormatan jenazah di Mabes AD dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu. Dimakamkan hari itu pula pukul 13.45 Wib di Taman Makam Pahlawan Nasional pahlawan Kalibata, dengan inspektur upacara Panglima TNI Jenderal Panglima TNI RI (2002) Endriartono Sutarto. Sedangkan upacara keagamaan dipimpin Pastur Suito Panito.

Penghormatan yang mengiringi kepergiannya sangat terasa khidmat. Bendera Merah Putih yang dibentangkan setinggi dada serta tembakan salvo mengiringi jenazah Benny ke liang lahat.

Para pelayat, mulai dari kerabat, sejumlah pejabat dan mantan pejabat negara, baik sipil maupun militer, berduyun-duyun mengantarkannya dari kediaman di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, ke Mabes TNI Angkatan Darat hingga ke TMP Kalibata.

Mantan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Presiden Soeharto didamping putrinya, Siti Hardiyanti Rukmana, serta Jenderal (Purn) Presiden Republik Indonesia Keenam (2004-2014) Susilo Bambang Yudhoyono yang didampingi istrinya, Ibu Negara 2004-2014 Kristiani Herawati melayat ke kediaman almarhum.

Sementara Presiden Presiden Republik Indonesia Kelima (2001-2004) Megawati Soekarnoputri beserta suami, Taufik Kiemas, menghadiri upacara penghormatan terakhir dan serah terima jenazah mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) itu saat almarhum disemayamkan di Mabes TNI AD.

Saat disemayamkan di Mabes TNI AD, hadir mantan Presiden KH Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001) Abdurrahman Wahid, Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) Letnan Jenderal Bibit Waluyo, sejumlah purnawirawan TNI, serta beberapa pejabat pemerintahan era Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Orde Baru, seperti Menteri Penerangan (1983-1997) dan Ketua DPR/MPR (1997-1998) Harmoko, Menteri Luar Negeri RI (1987-1999) Ali Alatas, dan Fuad Hassan.

Begitu pula di pemakaman, hadir sejumlah pejabat, mantan pejabat militer dan tokoh-tokoh lainnya, antara lain mantan Wakil Presiden Jenderal (Purn) Wakil Presiden Republik Indonesia (1993-1998) Try Sutrisno dan mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Edi Sudrajat, Des Alwi, Frans Seda dan sejumlah pengamat dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), seperti Harry Tjan Silalahi, Sofjan Wanandi, dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2011-sekarang) Mari Elka Pangestu.

Sebagai rasa hormat kepada almarhum, Panglima TNI memerintahkan seluruh markas jajaran TNI di seluruh Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang selama tujuh hari, terhitung mulai 29 Agustus 2004. penghormatan itu diberikan mengingat jasa-jasa Benny kepada ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan negara.

Hari-hari sebelumnya sejumlah pejabat dan tokoh menjenguknya yang tengah dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) lantai 4 kamar bernomor 408 RSPAD sejak hari Selasa (6/7). Dia antara tokoh yang menjenguknya: Panglima TNI Jendral Panglima TNI RI (2002) Endriartono Sutarto dan Taufik Kiemas.

L.B. Moerdani meninggalkan seorang istri, Hartini dan seorang putri, Irene Ria Moerdani serta lima orang cucu). Semasa menjabat Menhankam/Pangab, jenderal bintang empat ini sangat disegani di negeri ini. Pada saat menjabat Menhankam/Pangab, dia malah disebut-sebut sebagai orang nomor dua terkuat setelah Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Presiden Soeharto. Dia memang dikenal seorang jenderal yang tegas, sosoknya benar-benar militer sejati.

Prestasinya terukir sebagai penata organisasi intelijen di tubuh militer. Benny, demikian panggilan akrabnya, merupakan penggagas Badan Intelijen Strategis (Bais) pada 1983. Sebuah lembaga intelijen melengkapi lembaga serupa yang sudah ada yakni Badan Koordinasi Intelijen Negara (1969). Dia juga sukses mereorganisasi sejumlah komando daerah militer dan memodernisir peralatan TNI semasa menjabat Pangab.

Mantan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini juga sukses dalam sejumlah operasi militer. Di antaranya Operasi Seroja di Timor Timur pada 1975 dan Operasi Woyla 1981.

Dia juga dikenal sebagai negarawan yang dijuluki kalangan diplomat asing sebagai the only statesman in Indonesia.

Legendaris
Benny dikenang sebagai peletak modernitas ABRI. Banyak hal yang telah diperbuat LB Moerdani semasa hidupnya. Bukan hanya menjadikan lembaga intelijen berkembang secara profesional, tapi juga juga membangun persenjataan yang lebih modern, pendidikan, latihan dan kerja sama dengan negara lain di bidang pertahanan.

Dia figur berkepribadian kuat, memiliki profesionalitas militer yang sangat kental, sedikit bicara, tegas, dan tidak bertele-tele jika berbicara. Bahkan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Mayjen TNI Sudrajat menilai LB Moerdani sebagai jenderal legendaris yang setara dengan Panglima Besar TKR/TNI Sudirman, Nasution, dan Simatupang.

Menurut Sudrajat, selain punya karisma luar biasa, Beliau bisa membawa bangsa ini kepada suasana stabil, saling memahami, dan di tengah-tengah itu memformulasikan nilai-nilai demokrasi.

Anggota Dewan Kehormatan Harry Tjan Silalahi menilai LB Moerdani sebagai Pahlawan Nasional
pahlawan, patriot sejati Indonesia. Sebab, ia selalu berjuang dan melaksanakan tugasnya untuk negeri ini melampaui apa yang diwajibkan. "Kita menamakannya Patriot 24 Karat," tuturnya kepada Kompas (30/8/2004)

Sofjan Wanandi berpendapat, LB Moerdani termasuk sosok militer yang berani mengkritik Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto, tetapi tetap menunjukkan loyalitasnya. "Dia juga menjadi korban ketika mulai tidak disukai Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto," ucapnya.

Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001) Abdurrahman Wahid (Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001) Gus Dur) menilai mendiang sebagai seorang prajurit yang berdedikasi tinggi dan tidak pernah memikirkan hal lain, selain negara dan kesatuannya.

"Beliau seorang ksatria," kata Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001) Gus Dur sebagaimana ditulis dalam pengantar biografi LB Moerdani.

Namun, Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001) Gus Dur juga menulis, ternyata seorang LB Moerdani yang sedemikian perkasa masih mau diperintah untuk menjalankan kebijakan "petrus"(penembakan misterius). Kebijakan tersebut dijadikan semacam terapi kejut oleh pemerintahan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto untuk mengurangi angka kejahatan.

"Muka Beliau setelah membaca tulisan saya seperti berubah jadi 'merah-biru'. Tapi kemudian Beliau mengatakan, 'Baik, dimuat'. Saya kemudian mendatanginya dan mengatakan, 'Saya paling senang berurusan dengan seorang ksatria'," ujar Gus Dur tentang itu.

Sosok Benny juga terbilang kontroversial. Selain banyak yang mengenangnya sebagai prajurit sejati, gagah dan prajurit negarawan, juga ada pihak yang mengenangnya dalam sosok lain.

Dia memang seorang jenderal yang meninggalkan banyak jejak semasa Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Orde Baru masih gagah perkasa. Pada masanya menjabat Panglima ABRI, dialah jenderal yang banyak disebut paling berpengaruh setelah Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Pak Harto. Wajah sangarnya sering hadir di banyak peristiwa yang menonjol. Bahkan setelah Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Orde Baru tumbang, bayang-bayangnya masih banyak dalam pembicaraan politik.

Kebersamaannya dengan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Pak Harto dimulai pada saat perebutan Irian Barat. Pada perang yang dikomandani Mayor Jenderal Soeharto itu, Mayor Benny yang memimpin Operasi Naga berhasil memimpin penyusupan.

Setelah itu, 1967-1974 Benny bertugas di luar negeri (Kuala Lumpur dan Seoul) sebagai diplomat. Di era akhir 1960-an hingga awal 1970-an itu, nama yang membayangi Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Pak Harto adalah mendiang Jenderal Ali Moertopo, yang juga salah satu mentor Benny di bidang intelijen.

Kemudian Benny diangkat sebagai pimpinan Satgas Intelijen Kopkamtib (1974). Kemudian menjabat asisten intelijen Hankam, dan kepala pusat Badan Intelijen Strategis (Bais) yang didirikannya. Hingga meraih posisi puncak menjabat Panglima ABRI sekaligus Panglima Kopkamtib sampai 1988.

Pada saat Benny menjabat Pangab itulah, terjadi Peristiwa Priok 1984. Benny kerap dianggap sebagai orang yang sengaja memojokkan golongan tertentu. Namun, Benny membantahnya di hadapan para kiai Ponpes Lirboyo, Kediri, "Saya ingin menegaskan, umat Islam Indonesia tidak dipojokkan. Dan tidak akan pernah dipojokkan."

Kesetiaannya sebagai pembantu Presiden untuk menjaga "stabilitas nasional" memang tidak hanya menggetarkan kalangan Aktivis muslim. Banyak separatis dan gerilyawan, seperti orang Timtim umumnya yang agamanya Katolik, juga mendapat tindakan tegas pada masa itu.

Namun kesetiaannya kepada Pak Harto tidak harus membungkuk-bungkuk seperti kebanyakan tokoh lain. Benny, konon, malah punya keberanian mengingatkan Pak Harto agar putra-putri dikendalikan. Walaupun hal itu harus berakibat hubungannya dengan sang jenderal besar tersebut merengggang.

Apalagi, seperti ditulis Kivlan Zen, Benny dianggap berambisi menduduki kursi wakil presiden pada Sidang Umum MPR 1988. Berakibat Pak Harto marah dan memberhentikan Benny dari Jabatan Panglima ABRI beberapa hari sebelum SU MPR dimulai. Sehingga Benny pun kehilangan kendali terhadap Fraksi ABRI di DPR/MPR. Hal ini disikapi Brigjen Ibrahim Saleh, dengan interupsi menolak Sudharmono sebagai Wapres. Brigjen Ibrahim Saleh pun dipecat. Pada masa itu, interupsi dianggap suatu keberanian luar biasa yang dianggap penguasa ibarat ledakan bom dalam suasana 'stablilitas nasional' yang tenang.

 Sumber : Majalah TEMPO, edisi 4-10 Februari 2008 E-TI


Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/78-militer-dan-intelijen-sejati?start=1
Copyright © tokohindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar