Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selasa, 27 Mei 2014

RIVALITAS JENDERAL SOEMITRO DAN JENDERAL ALI MOERTOPO. SERTA MANUVER PERSAINGAN POLITIK MEREKA PADA PERISTIWA MALARI


Asvi Warman Adam
Malari 1974 dan Sisi Gelap Sejarah

KEKERASAN di Indonesia hanya dapat dirasakan, tidak untuk diungkap tuntas. Berita di koran hanya mengungkap fakta yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal "Peristiwa Malari", tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan, suasana Kota Jakarta masih mencekam.


PERISTIWA Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.

Ada analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo. Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini, meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000), dapat disebut permainan "jenderal kalajengking" (scorpion general).

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto menghentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono "didubeskan", diganti Yoga Sugama.

Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.

Selanjutnya, ia amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria "pernah jadi ajudan Presiden". Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.

Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.

Malari sebagai wacana

Dalam buku Otobiografi Soeharto (terbit tahun 1989), kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung. Padahal, mengenai "petrus" (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang di situ.

Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak 1973. Yoga Sugama ada di New York saat kerusuhan 15 Januari 1974. Lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta, menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala BAKIN.

Menurut Yoga, ceramah dan demonstrasi di kampus-kampus mematangkan situasi, bermuara pada penentangan kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya, diskusi di UI Jakarta (13-16/8/1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan "Petisi 24 Oktober".

Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Dalam buku-buku Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Soemitro mengungkapkan, Ali Moertopo dan Soedjono Humardani "membina" orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam radikal ini sering berulang pada era Orde Baru.

Dalam kasus Malari, lewat organisasi itu dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu-antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola-dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166).

Sebaliknya, "dokumen Ramadi" mengungkap rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus, "Ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh". Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Soedjono Humardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam "dokumen" itu tentu mengacu Jenderal Soemitro.

Keterangan Soemitro dan Ali Moertopo masing-masing berbeda, bahkan bertentangan. Mana yang benar, Soemitro atau Ali Moertopo?

Kita melihat pelaku kerusuhan di lapangan dibekuk aparat, tetapi siapa aktor intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan meninggal secara misterius dalam status tahanan.

Sebagian sejarah Orde Baru, termasuk peristiwa Malari 1974, memang masih gelap.

Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris.

Sumber: Kompas, Kamis, 16 Januari 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar