NTERUPSI LEGENDARIS BRIGJEN TNI IBRAHIM SALEH
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014,
ia memuji Prabowo Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh
hati rakyat dalam menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak
lewat televisi. Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur
Prabowo untuk banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya
dikerjakan dan diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang
ada di tanah air.
ibrahim_salehSiapa tak kenal dengan Jenderal fenomenal Ibrahim Saleh? Ia
pernah menggegerkan Sidang Umum MPR 1988 lalu. Saat itu, Kamis, 9 Maret
1988, rapat paripurna baru saja secara aklamasi mengangkat kembali
Jenderal (Purn) Soeharto sebagai presiden RI untuk masa bakti kelima,
1988-1993.
Padahal pimpinan sidang Kharis Suhud berancang-ancang hendak menutup
sidang pagi itu. Tapi sekonyong-konyong, Brigadir Jenderal Ibrahim
Saleh, yang duduk di deretan kursi fraksi ABRI, berlari menuju podium
sambil berteriak: “Pak Ketua….Interupsi.”
Tanpa menunggu jawaban dari pimpinan sidang, Ibrahim berdiri di atas
mimbar. Ia lalu membacakan secarik kertas yang telah disiapkannya.
“Assalamualaikum…Majelis telah sepakat dan secara aklamasi meminta
Soeharto untuk memangku kembali jabatan presiden untuk masa jabatan
1983-1988…eh 1988-1992 eh……” ujarnya terengah-engah.
“Kami telah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa pencalonan wakil
presiden tidak fair…” Kontan saja sebagian anggota majelis
berteriak-teriak,”Turun…turuuunn..” Ibrahim memang mempertanyakan
pencalonan Sudharmono sebagai wapres dengan dalih identitasnya
meragukan.
Suasana pun geger.
Pangab Jenderal Try Sutrisno dan Pangkopkamtib Jenderal Benny Moerdani
bergegas menuju meja pimpinan sidang. Mereka tampak berbicara dengan
Kharis Suhud sambil menunjuk ke arah mimbar tempat Ibrahim melakukan
interupsi. Belakangan, Ketua F-ABRI, Mayjen Harsudiyono Hartas,
mengajaknya turun mimbar. Hartas kaget atas ulah Ibrahim, lalu meminta
maaf pada pimpinan sidang.
Keruan saja berita media massa langsung membidik Ibrahim. Ia sampai
dianggap tengah menderita stress berat, bahkan gila, karena ulahnya itu.
Tuduhan itu sama sekali tidak benar. Keinginan untuk menginterupsi itu
datang dari diri saya sendiri. Jenderal L.B Moerdani sama sekali tidak
memberi perintah apa pun pada saya.
Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Menurut Brigjen (Purn) Ibrahim Saleh yang tetap fit di usia hampir tujuh
puluh tahun ini dalam pertemuan ketiga jalur keluarga besar Golkar
tanggal 28 Februari 1988, untuk pertama kalinya nama Sudharmono
disebut-sebut sebagai calon wakil presiden. Ketika itu ia bertanya pada
Soegiarto, Kassospol ABRI saat itu. “Gie, kamu tahu siapa Sudharmono
ini?”
Saat itu samar-samar Ibrahim ingat sebuah peristiwa yang terjadi di
tahun 1964, ketika masih berdinas di Kodam Diponegoro dan berpangkat
letnan dua. Sewaktu ia pulang ke Semarang dari Solo, dan melewati
Boyolali, otobus yang ditumpangi terjebak kemacetan. Rupanya penyebab
kemacetan itu karena PKI sedang berpawai.
Sesampainya di Semarang, Ibrahim mendapat informasi dari Kolonel
Soediro, Kasdam Diponegoro saat itu, bahwa yang mengadakan arak-arakan
di Boyolali itu adalah Sudharmono. Jadi, ketika 28 Februari itu
Sudharmono disebut sebagai calon wapres, Ibrahim belum yakin, dan masih
bertanya-tanya, apakah Sudharmono ini orang yang sama dengan yang
terlibat pawai tahun 1964?
Ketika ada pertemuan keluarga besar Golkar pada 29 Februari, Ibrahim
mulai mendengar pencalonan Sudharmono sebagai wapres. Pada 1 Maret 1988,
malam harinya, Ibrahim rasa-rasan dengan Soegiarto tentang siapa calon
wapres dari ABRI? Masa mau mendukung orang yang riwayat hidupnya kita
nggak tahu. Tadinya Ibrahim dkk. berniat mendukung Try, tetapi dia
merasa sungkan.
Akhirnya, pada 2 Maret, saat berlangsung rapat fraksi ABRI, kembali ia
bertanya kepada Pak Try sebagai pimpinan sidang tentang riwayat hidup
Sudharmono ini. Tapi jawabannya mengambang. Dan akhirnya, ABRI
memutuskan mendukung Soeharto sebagai presiden dan Sudharmono sebagai
wakil presiden.
Maka, Ibrahim pun lalu memberanikan diri menginterupsi sidang umum yang saat itu dipimpin Kharis Suhud pada 9 Maret.
Dalam UUD 45, presiden dan wapres dipilih dengan suara terbanyak.
Artinya, sah jika pemilihan itu dilakukan dengan voting. Tetapi mengapa
pemilihan presiden selama Orde Baru dilakukan dengan musyawarah untuk
mufakat. Jadi jelas terjadi penyimpangan penafsiran. Setelah interupsi
biasanya sidang diskors dulu.
Ketika jeda itu berlangsung lobi-lobi. Walaupun kecil, kemungkinan
terjadinya perubahan hasil sidang ada. Saat itu, akibat interupsi yang
Ibrahim lakukan, hampir terjadi voting. Tetapi anehnya setelah itu
pencalonan Naro sebagai wapres, dicabut oleh PPP. Sehingga Sudharmono
terpilih menjadi wapres sebagai calon tunggal.
Bagaimana sosok Ibrahim Saleh saat ini? Pria kelahiran 22 Rajab 1357 H
(10/8/1939) di Dusun TanahAbang,Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara
Enim, Prabumulih, Sumatera Selatan ini menikah dengan Rukiawati, gadis
sekampungnya. Setelah peristiwa interupsi itu, Ibrahim pensiun dari
sebagai anggota Legislatif F-TNI/Polri pada 1993.
Kini, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan sosial,
seperti pengurus koperasi khusus pedagang kaki lima, panti asuhan anak
yatim piatu, maupun sesekali menjadi da’i yang berkhotbah di masjid.
Alasannya, menjadi apa pun kita, tidaklah terlalu penting. “Yang lebih
penting bagaimana kita bisa mengabdi pada Allah,” katanya di sela acara
Ulang Tahun Yayasan Lumbung Rakyat yang ke-10 pada Sabtu (18/10/2008)
sore di Posko TAP, Gg.Berdikari No.27, Jl.Lawang Gintung, Kel.Batutulis,
Bogor.
Mengenai siapa calon Presiden Republik 2009-2014, ia memuji Prabowo
Subiyanto yang diamati cukup membumi dan menyentuh hati rakyat dalam
menyampaikan pesan-pesan yang menyentuh rakyat banyak lewat televisi.
Menurutnya tingkah laku serta niat dan keinginan luhur Prabowo untuk
banyak berdharma bhakti kepada rakyat Indonesia sebaiknya dikerjakan dan
diamalkan dalam kehidupan nyata para pemimpin bangsa yang ada di tanah
air.
Label: suaratokoh.com
sumber: http://*networkedblogs.com/f1k9R
Wawancara Ibrahim Saleh, Tempo 1998
"Interupsi Itu Diizinkan dan Dijamin Tatib MPR-RI"
Ibrahim Saleh Belum lagi perhelatan akbar Sidang Umum MPR 1998 digelar,
Harmoko Ketua Umum MPR/DPR menjamin: tak bakal ada anggota dewan yang
nyelonong menginterupsi. Apalagi dari Fraksi Karya Pembangunan.
Padahal, menurut "bintang interupsi" yang menghebohkan SU MPR 1988,
Brigjen Purn. Ibrahim Saleh, Harmoko seharusnya berterima kasih kalau
ada anggota dewan yang berani interupsi. Sebab mungkin ada banyak
persoalan yang tidak tersentuh dalam rapat-rapat ditingkat komisi.
Secara konstitusional, Ibrahim mengingatkan bahwa tindakan interupsi itu
justru bisa dibenarkan. "Karena diatur dan diakui dalam Tatib MPR,"
katanya. Mengapa Ibrahim nekad menginterupsi pencalonan Sudharmono pada
Sidang Umum MPR 1988 lalu? Benarkah saat itu di sedang stress berat?
Adakah peranan Jenderal Purn. L.B. Moerdani di balik interupsinya itu?
Ikuti wawancara Iwan Setiawan dan Purwani Diyah Prabandari di rumah
Ibrahim Saleh (lihat: Profil Ibrahim), di kawasan Lawang Gintung, Bogor,
Jawa Barat, Selasa, 24 Februari 1988. Berikut petikannya.
Mengapa Anda melakukan interupsi dalam SU MPR 1988 dulu?
Banyak orang yang menganggap tindakan saya saat itu nggak sopan, bahkan
ada yang bilang saya gila. Tetapi yang membuat saya nekad untuk
menginterupsi adalah, saya merasa bahwa apa yang akan saya sampaikan itu
adalah sesuatu yang penting dan menyangkut masa depan bangsa. Saya cuma
berharap agar sidang mau mendengar dan mempertimbangkan pendapat saya
sebelum memutuskan masalah penting tersebut.
Apa sih "sesuatu" yang Anda anggap penting itu?
Persoalan yang saya interupsi ketika itu adalah bersih tidaknya riwayat
hidup Sudharmono sebagai calon wakil presiden. Dan persoalan itu saya
anggap sangat penting. Yang saya khawatirkan adalah bagaimana nasib
Indonesia di masa depan, jika negara ini dipimpin oleh orang yang nggak
bersih.
Benarkah tuduhan bahwa interupsi yang Anda lakukan itu atas perintah L.B Moerdani?
Tuduhan itu sama sekali tidak benar. Keinginan untuk menginterupsi itu
datang dari diri saya sendiri. Jenderal L.B Moerdani sama sekali tidak
memberi perintah apa pun pada saya.
Ada juga yang mengatakan bahwa Anda gila atau stress berat?
Ha...ha...ha... nggak, saya nggak gila. Saya ingat betul. Sebelum
selesai saya menginterupsi, saya keburu diminta turun. Lantas saya
diperiksa oleh dokter Budi, hasilnya tekanan darah saya normal, dengan
tekanan 120/80.
Bagaimana cara efektif mengurangi kemungkinan interupsi dalam sidang umum?
Sebetulnya yang terbaik adalah membuka semua permasalahan yang ada
ketika rapat fraksi berlangsung. Jika demikian, akan mengurangi
kemungkinan munculnya interupsi di saat sidang umum. Yang terjadi selama
ini, sidang fraksi tak pernah secara terbuka membahas masalah - masalah
yang penting, pimpinan cenderung membahasnya secara sepintas saja.
Akibatnya, muncul ketidakpuasan anggota fraksi, sehingga seringkali
memunculkan keinginan menginterupsi saat sidang umum.
Apakah interupsi Anda atas pencalonan Sudharmono karena terbentur rapat fraksi yang tak membahas tuntas permasalahan Anda?
Dalam pertemuan ketiga jalur keluarga besar Golkar tanggal 28 Februari
1988, untuk pertama kalinya nama Sudharmono disebut -sebut sebagai calon
wakil presiden. Ketika itu saya bertanya pada Soegiarto, Kassospol ABRI
saat itu. Gie, kamu tahu siapa Sudharmono ini? Saat itu samar-samar
saya ingat sebuah peristiwa yang terjadi di tahun 1964, ketika masih
berdinas di Kodam Diponegoro dan berpangkat letnan dua.
Sewaktu saya pulang ke Semarang dari Solo, dan melewati Boyolali, bis
yang saya naiki terjebak kemacetan. Rupanya penyebab kemacetan itu
karena PKI sedang berpawai. Sesampainya di Semarang, saya mendapat
informasi dari Kolonel Soediro, Kasdam Diponegoro saat itu, bahwa yang
mengadakan arak-arakan di Boyolali itu adalah Sudharmono. Jadi, ketika
28 Februari itu Sudharmono disebut sebagai calon wapres, saya belum
yakin, dan masih bertanya-tanya, apakah Sudharmono ini orang yang sama
dengan yang terlibat pawai tahun 1964?
Ketika ada pertemuan keluarga besar Golkar pada 29 Februari, saya mulai
mendengar pencalonan Sudharmono sebagai wapres. Pada 1 Maret 1988, malam
harinya, saya rasa-rasan dengan Soegiarto tentang siapa calon wapres
dari ABRI? Masa mau mendukung orang yang riwayat hidupnya kita nggak
tahu. Tadinya kami berniat mendukung Try, tetapi dia merasa sungkan.
Akhirnya, pada 2 Maret, saat berlangsung rapat fraksi ABRI, saya kembali
bertanya kepada Pak Try sebagai pimpinan sidang tentang riwayat hidup
Sudharmono ini. Tapi jawabannya mengambang. Dan akhirnya, ABRI
memutuskan mendukung Soeharto sebagai presiden dan Sudharmono sebagai
wakil presiden. Maka, saya pun lalu memberanikan diri menginterupsi
sidang umum yang saat itu dipimpin Kharis Suhud pada 9 Maret.
Apakah interupsi oleh satu orang semacam itu bisa mengubah hasil sidang?
Setelah interupsi biasanya sidang diskors dulu. Ketika jeda itu
berlangsung lobi-lobi. Walaupun kecil, kemungkinan terjadinya perubahan
hasil sidang ada. Saat itu, akibat interupsi yang saya lakukan, hampir
terjadi voting. Tetapi anehnya setelah itu pencalonan Naro sebagai
wapres, dicabut oleh PPP. Sehingga Sudharmono terpilih menjadi wapres
sebagai calon tunggal.
Menurut Anda mengapa pemerintah selalu berusaha menghindari voting?
Ini juga aneh. Dalam UUD 45, presiden dan wapres dipilih dengan suara
terbanyak. Artinya, sah jika pemilihan itu dilakukan dengan voting.
Tetapi pemilihan presiden selama Orde Baru dilakukan dengan musyawarah
untuk mufakat. Jadi jelas terjadi penyimpangan penafsiran.
Harmoko menjamin tak ada anggota Golkar yang akan melakukan interupsi dalam SU MPR nanti. Bagaimana ini?
Menurut saya, pernyataan Harmoko itu justru aneh. Bagaimana jika dalam
rapat komisi maupun sidang umum, ada permasalahan penting yang tidak
tersentuh, apakah anggota dewan tidak boleh melakukan interupsi?
Seharusnya Harmoko justru berterima kasih atas interupsi itu. Bagaimana
jika kasus seperti kebakaran hutan, kerusuhan Ujungpandang atau di
Banjarmasin tidak dibahas. Menurut saya, hal-hal semacam ini patut
diinterupsi.
Apakah pencegahan interupsi itu sebagai upaya untuk mengindari voting?
Ya. Aneh jika sistem negara yang kita anut adalah negara demokratis,
tetapi seorang wakil rakyat, yang tugasnya memang menyalurkan aspirasi
rakyat, dicegah untuk bicara.
Benarkah pencegahan interupsi ini bertujuan "melancarkan" jalan Habibie untuk meraih kursi wapres?
Seharusnya setiap anggota dewan diberi kebebasan untuk bicara. Jika
benar ini semua adalah upaya untuk menggolkan Habibie, seharusnya inilah
saatnya Habibie membuktikan bahwa ia memang punya kualitas untuk jadi
presiden, biarkan lawan politiknya mengkritik, jangan justru menutup
kritik itu.
Mungkin pemerintah khawatir Habibie akan kalah bersaing dengan Emil Salim sebagai wapres, jika interupsi diizinkan?
Saya pikir sudah seharusnya persaingan seperti itu dilakukan secara
terbuka. Saya akui dua orang itu memang hebat. Tetapi saya juga yakin
bahwa Habibie bakal menang. Karena waktu yang tersisa bagi Emil Salim
tinggal sedikit. Selain itu Habibie juga lebih dekat dengan Pak Harto.
Sebenarnya adakah aturan yang melarang anggota dewan melakukan interupsi?
Justru sebaliknya. Ada aturan yang mengatur bagaimana seorang anggota
dewan menyampaikan interupsi dalam sidang. Jadi interupsi itu diizinkan
dan dijamin dengan Tata Tertib MPR RI pasal 69.
Anda setuju dengan pendapat bahwa melakukan interupsi dalam sidang,
sebenarnya justru mematikan demokrasi, karena dianggap memaksakan
kehendak?
Pendapat itu jelas nggak benar. Bahkan jika ada seorang anggota dewan
yang berani menyuarakan kebenaran lewat interupsi dan kemudian
di-recall, seharusnya anggota dewan lainnya membela, jangan seolah-olah
nggak mau tahu.
IS/PDP
SEPUTAR MANUVER POLITIK MILITER ZAMAN ORBA DALAM PEMILIHAN WAPRES Oleh: P. Hasudungan Sirait
Semakin dekat Pemilu, kian ramai pula bursa calon wakil presiden.
Sementara bursa presiden sepi. Beberapa nama kini mulai disebut-sebut
sebagai calon wapres. Termasuk Try Sutrisno, Habibie, Ginandjar
Kartasasmita, Moerdiono, Hartono dan, yang terbaru, Buya Hasan Metareum.
Adalah pernyataan Ketua Fraksi ABRI Letjen Suparman Achmad yang memicu
munculnya nama-nama ini. Memang Suparman hanya menyebut bahwa ABRI sudah
mengantungi nama calon untuk wapres mendatang. Tapi itu sudah cukup
untuk merangsang orang mengelus jago. Tak peduli lagi kalau Kepala Staf
Sospol ABRI Letjen Syarwan Hamid kemudian meluruskan pernyataan Suparman
dengan menyebut Mabes ABRI belum menetapkan calon.
Ada penyebabnya sehingga banyak kalangan yang tetap percaya pada ucapan
Ketua F-ABRI tadi. Yaitu manuver yang dilakukan F-ABRI dalam bursa
serupa lima tahun silam. Waktu itu dalam Sidang Umum (SU) MPR, Ketua
F-ABRI Harsudiono Hartas mendahului fraksi lain dalam mengajukan jago
dari kubu militer yaitu Try Sutrisno. Langkah seperti ini di luar
kebiasaan F-ABRI. Tapi terobosan ini bak gayung bersambut. Fraksi lain
juga setuju. Maka jadilah Try yang terpilih. Bukan Wapres lama
Sudharmono yang kabarnya sejak semula tak didukung ABRI.
Manuver tak lazim yang dilakukan Hartas dkk. itu kemudian mengundang
berbagai penafsiran. Pengamat seperti Adam Schwarz misalnya melihatnya
sebagai langkah yang diambil agar jangan sampai Sudharmono terpilih lagi
atau supaya bukan Habibie yang gol. Konon interupsi Brigjen Ibrahim
Saleh dalam SU MPR 1988 juga merupakan bagian dari skenario menjegal
mantan Mensesneg tersebut. Ibrahim Saleh dalam interupsinya ketika itu
menyebut tak ada masalah soal calon presiden. Tapi kalau soal wapres
masih diragukan. Waktu itu kandidat tinggal Sudharmono seorang, sebab
Naro sudah mundur beberapa jam menjelang pemilihan. Memang akhirnya
Sudharmono tetap terpilih.
Sikap F-ABRI yang agak agresif dalam dua SU MPR terakhir cukup menjadi
isyarat bagi kalangan tertentu untuk menyimpulkan bahwa militer memang
serius dalam memajukan jagonya. Maka ketika Suparman Achmad mengatakan
ABRI sudah mengantongi nama calonnya, banyak orang yang
mempersepsikannya sebagai sebuah kesungguhan. Kalau memang demikian,
siapa gerangan jagoan ABRI? Hingga sekarang belum jelas. Tapi niscaya
berlatar belakang militer. Besar kemungkinan ada dalam daftar di atas.
Di sana yang tak berlatar belakang militer hanya Habibie dan Buya
Metareum.
Secara konsepsional, yaitu menurut UUD ‘45, baik presiden maupun
wakilnya dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Meski demikian,
preferensi presiden tampaknya cukup berperan dalam pemilihan orang kedua
di pemerintahan. Ini bisa dilihat khususnya dalam era Orde Baru. Kalau
di zaman Orde Lama, pemilihan kedua proklamator menjadi orang pertama
dan kedua di negeri ini spontan saja. Kala itu pada sesi kedua sidang
pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sehari setelah
kemerdekaan, anggota Oto Iskandardinata menyebut nama Soekarno. Hadirin
bertepuk sorak. Demikian juga waktu nama Hatta ia ucapkan. Seperti
diketahui, dalam Orla, presiden dan wapres hanyalah Soekarno dan Hatta.
Di zaman Orde Baru, entah kebetulan atau tidak, yang jadi wapres adalah
mereka yang secara pribadi dekat dengan Pak Harto. Tapi tampaknya bukan
kebetulan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah bagian dari triumvirat
(bersama Soeharto dan Adam Malik) yang menjadi ujung tombak pembangunan
nasional di masa awal Orde Baru. Adam Malik kemudian menggantikan Sri
Sultan sebagai wapres. Selanjutnya yang terpilih adalah Umar
Wirahadikusumah, orang Siliwangi yang menjadi Pandam V Jaya sewaktu Pak
Harto menjadi Pangkostrad. Kedua mereka bahu-membahu dalam menumpas PKI
menyusul perisitiwa G30S. Umar kemudian menggantikan Pak Harto sebagai
Pangkostrad. Setelah Umar, Giliran Sudharmono yang mendampingi Kepala
Negara. Sewaktu Pak Harto menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera tahun
1966, Sudharmono sudah dipercaya sebagai Sekretaris Presidim Kabinet.
Seperti Umar, penunjukan mantan Ketua Golkar ini memang agak
mengejutkan. Pemilihan Umar yang waktu itu Ketua BPK, menjadi surprise
sebab ia tidaklah sepopuler pendahulunya, Sri Sultan dan Adam Malik.
Tapi seperti disebut tadi, ia diketahui merupakan sekutu lama Pak Harto.
Sebagai Ketua Golkar yang berhasil, Sudharmono cukup tenar. Apalagi
jika mengingat keberhasilannya sebagai king maker (yang berperan besar
dalam mempromosikan karir seseorang-red) baik waktu di Sekneg maupun
tatkala di Golkar.
Wapres yang terakhir, Try Sutrisno, adalah mantan ajudan Presiden yang
kemudian dipercaya menjadi Pangdan V Jaya. Adalah Try yang kemudian
menggantikan rekannya, Benny Murdani, sebagai Pangab.
Kalau melihat kedekatan hubungan pribadi yang demikian maka akan
sulitlah untuk mengatakan bahwa wapres di masa Orde Baru merupakan
pilihan MPR semata. Preferensi Presiden pun menentukan di sana. Dan itu
mungkin, jika melihat struktur keanggotaan MPR yang lebih separo
anggotanya bukanlah hasil pemilihan. Sebenarnya tidak terlalu masalah
kalau wapres bukan pilihan murni MPR. Sebab bagaimanapun seorang kepala
negara seyogyanya didampingi oleh seseorang yang klop dengan dia. Maka,
untuk pemilihan wapres mendatang pun besar kemungkinan Presiden masih
menentukan.
Mereka yang pernah menjadi wakil Pak Harto ini umumnya dikenal sebagai
pribadi hebat. Sri Sultan misalnya merupakan figur yang disegani baik
oleh sipil maupun militer. Dedikasinya yang luar biasa serta kearifannya
membuat dia dihormati. Sewaktu mengurusi perekonomian nasional, dia
telah membuktikan kemampuannya sebagai pelobi tangguh bank dunia, IMF,
atau IGGI.
Adam Malik merupakan salah seorang pentolan kelompok pemuda revolusioner
yang kemudian menculik Soekarno-Hatta. Ia turut mendirikan LKBN Antara
dan menjadi seorang jurnalis terkemuka. Setelah menjadi Menlu yang
sukses memulihkan kekuatan diplomasi Indonesia, ia dipercaya menjadi
wapres. Dengan demikian ia merupakan sipil berjabatan tertinggi di zaman
Orde Baru.
Meski namanya kurang terkenal sebelum jadi wapres, Umar merupakan
seorang militer tangguh yang turut mengharumkan nama Siliwangi. Puncak
karirnya sebagai militer adalah ketika ditunjuk menjadi KASAD tahun
1969. Kemudian ia ditugasi memimpin BPK sebelum jadi orang kedua.
Sudharmono bisa saja kurang populer di kalangan militer meski latar
belakangnya sendiri adalah oditur militer. Namun sebagai organisatoris
dia diakui jempolan. Di tangannyalah Sekneg berubah menjadi wahana yang
sangat berpengaruh. Konsolidasi Golkar paling mantap pun berlangsung
sewaktu ia pimpin. Satu hal lagi, ia melahirkan sejumlah kader yang di
antaranya kelak menjadi anggota kabibet terkemuka. Yaitu Moerdiono,
Ismail Saleh, Ginandjar, Akbar Tanjung, Siswono, dan Sarwono. Sukarton
(alm.) dan Soni Harsono termasuk anak didiknya.
Adapun Try Sutrisno termasuk generasi muda ABRI yang paling menonjol.
Sebelum menjadi wapres, lulusan Atekad semapat menjadi Pangdam IV
(Sriwijaya), Pangdam V (Jaya), KSAD, dan Pangab.
Namun demikian, segenap kehebatan ini ternyata tak cukup membuat mereka
bisa lebih kemilau setelah menjadi wapres. Peran yang cenderung
seremoniallah yang mereka mainkan sebagai orang nomor dua. Secerdik apa
pun si bung Kecil Adam Malik, misalnya, ternyata ilmu ‘semua bisa
diatur’ yang ia miliki tak cukup ampuh untuk ia terapkan ketika menjadi
wapres. Ada yang bilang bahwa ironis, posisi wapres telah ‘membunuh’
karir politik Adam Malik yang gemilang. Maka seperti pendahulunya, Sri
Sultan, ia pun menyatakan tak mau dipilih lagi.
Kalau demikian apakah jabatan wapres masih menarik? Yang optimis
mengatakan masih. Alasannya karena peluang untuk menjadi nomor satu kini
semakin besar. Benarkah? ###
1997
RIVALITAS GOLKAR - MILITER DALAM MERAIH JABATAN WAPRES PADA DEKADE 80-ANPANJI UTAMA / PANJI NO.18 TH. II 18 AGUSTUS 1999
Perseteruan Orang Dekat Soeharto
Hubungan Masa Lalu: Hubungan persahabatan yang dijalin selama belasan
tahun menjadi renggang ketika salah seorang dari mereka dicalonkan
sebagai wakil presiden. Inilah kisah masa lalu mereka berdua.
Sudah lama sebenarnya Leonardus Benjamin `Benny' Moerdani dan
Sudharmono jadi kawan akrab. Pertama kali Benny kenal dengan
Sudharmono sekitar tahun 1951 di Bandung. Saat itu ia menjadi siswa
Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat. Sedangkan Sudharmono waktu
itu adalah perwira pimpinan (battalion's adjutant). Hubungan itu kian
dekat saat Benny pulang dari Seoul, Korea Selatan, tahun 1974.
"Kedekatan itu berlangsung lantaran tugas kami banyak berhubungan,"
kata Benny suatu ketika.
Mungkin betul apa yang dikatakan Benny. Selepas menjabat konsul
jenderal RI di Korea, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 2 Oktober
1932, itu langsung dipercaya sebagai asintel Hankam/Kopkamtib.
Sementara saat itu Sudharmono menjabat mensesneg. "Karena jabatan
serta tugas itulah, maka hubungan saya dengan Pak Dhar, baik dalam
kaitan kerja maupun secara pribadi, menjadi semakin erat," kata Benny
Moerdani seperti ditulis dalam buku Kesan dan Kenangan dari Teman: 70
Tahun H. Sudharmono, S.H. Puncak keeratan hubungan mereka terjadi saat
Benny menjadi panglima ABRI dan Sudharmono jadi mensesneg selain ketua
umum Golkar.
Namun, namanya juga manusia, hubungan pertemanan yang dicoba dijalin
secara mulus itu akhirnya bisa retak juga. Persoalannya pun sebetulnya
terkesan tidak rasional. Hanya gara-gara kepentingan politik, Benny
dengan Sudharmono harus beradu kepentingan.
Entah apa yang menjadi dasar, di penghujung jabatannya sebagai ketua
umum Golkar, beberapa orang pengurus DPP berkehendak mengegolkan
Sudharmono jadi orang nomor dua di Republik ini. Ketika itu Sarwono
dan Akbar Tandjunglah yang begitu bersemangat mengupayakan Sudharmono
jadi calon wakil presiden periode 1988-1993. Tekad mereka makin kuat
setelah mendapat sinyal dari Presiden Soeharto.
Sebenarnya, pria kelahiran Gresik, 12 Maret 1927, itu kurang berkenan
dengan pencalonan tersebut. Bukan apa-apa, Sudharmono merasa dirinya
tidak layak untuk menjabat posisi itu. Dalam otobiografi Sudharmono,
S.H.: Pengalaman dalam Masa Pengabdian, disebutkan Sudharmono bersikap
keras kepada Sarwono dan Akbar Tandjung. Dua orang inilah yang bertemu
dengan Sudharmono di Sekretariat Negara pada 25 Februari 1988 untuk
membicarakan masalah pencalonan sebagai wapres. "Pada saat itu reaksi
saya ialah sebaiknya Fraksi Karya Pembangunan mengadakan konsultasi
dengan ketua Dewan Pembina. Kalau mungkin bersama-sama dengan Fraksi
Utusan Daerah dan Fraksi ABRI," tulis Sudharmono.
Rupanya, pencalonan itu secara tidak langsung diketahui oleh Pak
Harto. Cuma, waktu itu Soeharto tidak secara tegas menunjuk hidung.
Waktu itu Soeharto cuma mengisyaratkan syarat-syarat untuk calon wakil
presiden. Pertama, dia haruslah seorang yang teguh pendiriannya atas
Pancasila dan UUD 1945. Kedua, menunjukkan kapabilitasnya, memiliki
prestasi dan integritas yang tinggi. Ketiga, dapat diterima oleh
masyarakat. Keempat, mendapat dukungan sebagian besar anggota fraksi.
Menurut Sarwono dan Akbar waktu itu, keempat syarat tersebut ada pada
diri Sudharmono. Kloplah sudah.
Tiga hari kemudian digelarlah rapat tiga fraksi, yaitu FKP, FUD dan
FABRI, di Mabes ABRI. Benny Moerdani selaku Pangkopkamtib bertindak
sebagai tuan rumah. Saat itu hadir juga pangab baru, Try Sutrisno.
Selain itu, pimpinan tiap-tiap fraksi tentu saja hadir. Demikian juga
Ketua Umum Golkar dan Pimpinan Korpri Soepardjo Roestam. Trifraksi
ketika itu sudah berkonsultasi kepada Soeharto ihwal calon yang akan
dipilih sebagai pendampingnya.
Dalam rapat tersebut terjadi situasi yang agak "aneh". Saat itu,
Cosmas Batubara, salah seorang anggota FKP, menanyakan kepada pimpinan
rapat, siapa calon tiga jalur untuk wakil presiden mendatang. Ini
dijawab Benny. Menurut Benny, FABRI sampai waktu itu belum mengambil
keputusan. Alasannya, dia baru saja kembali dari luar negeri dan belum
sempat berkonsultasi dengan Pak Harto.
Jawaban ini terang saja menimbulkan tanda tanya. Padahal ketiga fraksi
ketika berkonsultasi dengan Pak Harto telah menyatakan kesamaan
pandangannya untuk mencalonkan Pak Dhar. Timbul pertanyaan, ada apa
dengan Benny?
Dalam hubungan dengan pencalonan Sudharmono oleh ABRI, Sudharmono
mendengar kabar kurang sedap. "Keputusan ABRI untuk mencalonkan saya
itu diambil setelah diadakan rapat maraton di kantor Pak Benny di
Tebet (kantor intel)," tulis Sudharmono dalam buku Pengalaman dalam
Masa Pengabdian. Dalam rapat itu, lanjutnya, Benny awalnya keberatan
jika ABRI mencalonkan Sudharmono sebagai wakil presiden. Alasan yang
dia kemukakan sendiri tidak jelas. Baru setelah terjadi perdebatan
yang hangat antara peserta rapat--terdiri atas jenderal-jenderal
pimpinan ABRI, termasuk Benny, Try Sutrisno, Sugiharto (kepala staf
sosial politik ABRI), Harsudiono Hartas (asisten kassospol)--akhirnya
diambil keputusan untuk mendukung Sudharmono. Rupanya, yang menentukan
keputusan itu tidak lain karena Soeharto memang menjagokan Sudharmono.
Karena itu, dengan berat hati Benny terpaksa harus loyal atas
"keputusan" Soeharto tersebut.
Benny sendiri tampaknya kurang respek terhadap pencalonan Sudharmono.
Soalnya bukan apa-apa. Awalnya, nama Benny memang disebut-sebut
sebagai salah seorang kandidat wakil presiden. Tetapi soal ini ditolak
oleh Benny. "Bagus kalau demikian,...kalau saya masih menjadi ketua
Partai ABRI. Tetapi sejak dua jam yang lalu, ketua partai sudah bukan
di tangan saya lagi, melainkan Try..." tulis Benny dalam biografi
Benny Moerdani Profil Prajurit Negarawan.
Rupanya, Benny mengusulkan nama Try Sutrisno sebagai wapres. Try
sendiri belum genap dua jam sebelumnya menerima tanggung jawab sebagai
panglima ABRI. Tampaknya dia malah belum sempat menyadari sepenuhnya
terhadap isyarat yang diberikan Benny itu. Benny sudah berupaya agar
nama Try digelindingkan sebagai kandidat dari ABRI.
Namun apa lacur? Benny tetap saja Benny. Kehendak untuk berkuasa
tampaknya masih ada. Gagal dalam proses pencalonan di tingkat fraksi,
dia mencoba bermain dalam proses pemilihan di tingkat Sidang Umum MPR.
Saat pemilihan wapres berlangsung, muncul kejanggalan yang tidak
terduga. Semula, Sudharmono sudah bulat mendapatkan dukungan
trifraksi, tapi secara tak diduga Ketua PPP Jaelani Naro bagai jagoan
mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Kemudian, muncullah Ibrahim
Saleh dari FABRI yang tiba-tiba melakukan interupsi. Dia mengucapkan
pidato yang tidak jelas. Intinya, tidak setuju calon wakil presiden
yang sudah diproses. Naro baru mundur pada detik-detik akhir
pemilihan, setelah dilobi oleh Awaloedin Djamin. Namun belakangan,
menurut pengakuan bekas seorang pimpinan FPP, pencalonan Naro memang
mendapat dukungan dari Benny. Begitu pula kasus Ibrahim Saleh adalah
bagian dari skenario untuk memprotes pencalonan Sudharmono.
Benny berkilah. "Apa pun yang diucapkan anggota FABRI yang maju ke
depan tadi itu tidak mencerminkan pendapat resmi fraksi... jelas
dilakukan oleh perorangan," katanya. Bantahan ini untuk menepis
anggapan bahwa peristiwa itu merupakan skenario yang diatur Fraksi
ABRI karena mereka sejak awal tidak setuju Sudharmono sebagai wapres.
Konflik Politik. Benarkah itu awal konflik Benny-Sudharmono? Bukan.
Perseteruan Benny dengan Sudharmono sudah lama terjadi. Saat
Sudharmono memangku jabatan ketua umum Golkar (1983-1988), memang
santer isu bahwa ABRI tidak setuju dengan program kaderisasi,
kemandirian Golkar, dan juga tidak menyetujui Golkar akan memperoleh
suara yang terlalu besar dalam pemilu. "Tetapi mengenai hal itu saya
tidak pernah mendengar dari Benny, baik dalam pertemuan maupun di luar
pertemuan," kata Sudharmono dalam otobiografinya, Pengalaman dalam
Masa Pengabdian.
Hal senada juga dikemukakan Harsudiono Hartas. Menurut dia,
perseteruan Benny dengan Sudharmono itu berawal dari penggunaan
tentara oleh Golkar. "Perseteruannya cuma begitu. Dulu saya pernah
mbalelo kan? Karena apa, jangan mendikte dong, karena ini kan
demokrasi. Tapi itu kan perseteruan sementara," katanya. Menurut
Hartas, Benny bersikap seperti itu agar Golkar jangan menguasai ABRI.
"ABRI itu kan milik rakyat. Mengapa ABRI berjuang untuk mendapat kursi
di DPR. Itu hakikatnya untuk mempertahankan semangat proklamasi,"
katanya.
Pernyataan ini dibantah oleh Sarwono. Justru sebaliknya, kata Sarwono,
saat itu ABRI berusaha mengobok-obok Golkar. Caranya? "Hampir semua
ketua DPD I dan II itu orang-orang militer. Dewan Pembina dan militer
tidak mau Golkar itu berkembang. Kalau berkembang bisa membahayakan
posisi presiden," kata Sarwono Kusumaatmadja.
Sudharmono sendiri mengakui, antara dia dan Benny pernah terjadi
sedikit beda pendapat mengenai soal operasional. Itu terjadi ketika
Golkar menyetujui diadakannya kiprah pemuda dengan menyelenggarakan
kirab AMPI dari Surabaya ke Jakarta, menjelang masa kampanye Pemilu
1987. Meskipun semua persiapan--termasuk perizinan--sudah diperoleh,
dalam pelaksanaannya ada beberapa pejabat militer daerah yang tidak
menyetujui kegiatan AMPI dengan berbagai alasan. "Namun, setelah saya
mengadakan pembicaraan langsung dengan Pak Benny dan menjelaskan
persoalannya, akhirnya dapat dicapai saling pengertian, dan kirab AMPI
dapat dilaksanakan sesuai rencana," katanya.
Sudharmono sebetulnya tahu jika dirinya dihadapkan secara kontradiktif
dengan Benny. Perbedaan itu, seperti dituduhkan beberapa pihak,
malahan menjurus ke rivalitas. "Saya sendiri tidak pernah percaya atas
isu-isu demikian," kata Sudharmono. Alasannya, karena selama dia
bergaul dengan Benny, dia tidak pernah melihat yang seperti itu.
"Kalau ada orang yang mencoba memanas-manasi saya mengenai Pak Benny,
saya selalu mengatakan hal itu sebagai usaha adu domba."
Persoalannya, siapakah yang mampu mengadu mereka? Banyak yang percaya:
Soeharto.
Dudi Rahman dan Budiyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar